Mohon tunggu...
Tri Rahayu ( Mbak Lily)
Tri Rahayu ( Mbak Lily) Mohon Tunggu... Freelancer - Frelance writer

Penulis lepas, konten creator

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Robohnya Atap Tua Ruang Kelas di Madrasah

6 Januari 2025   19:55 Diperbarui: 6 Januari 2025   19:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Assalamu alaikum."


Tok.....tok.....tok.


"Buk, buka pintunya. Bapak lupa tadi tidak membawa kunci." Pak Gunarto mengetuk pintu depan rumah berulang kali.


Ibu Saraswati dengan tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu utama sembari membawa lap makan. Bu Saraswati sedang memasak saat Pak Gunarto pergi ke masjid.


Pak Gunarto lantas masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan sajadah yang biasa di pakai ke masjid ke hanger yang biasa digunakan untuk menggantung sajadah. Setelah itu, ia melepas baju koko warna putih juga meletakkan kopiah pada gantungan baju.


"Buk, Dina jadi ikut ke kantor tidak? Kalau hari ini Ibu ada acara, Dina sama Sasti nanti di rumah sendiri. Apa Bapak ajak Dina saja ya?"


Bu Saraswati mendadak bimbang. Ia tidak yakin kalau Dina ikut ke sekolah tidak akan mengganggu pekerjaan dan kesibukan suaminya.


"Dina bangun! Mau ikut Bapak ke sekolah kan? Hari ini ibu ada acara Darma Wanita. Jadi kamu ikut Bapak ya!" Ibu Saraswati menepuk-nepuk pundak Dina yang masih tidur lelap dengan perlahan.


Berulang kali Dina di bangunkan namun anak itu tidak kunjung bangun juga. Bu Saraswati berusaha sekali lagi untuk membangunkan sang putri sulung.


"Dina, bangun! Katanya mau ikut ke kantor Bapak!"


Dina mengucek matanya. Anak itu turun dari tempat tidurnya kemudian berjalan ke kamar mandi. Hampir dua puluh menit Dina mandi. Setelah selesai mandi, Dina beranjak ke kamarnya. Ia mengambil mukena setelah memakai baju.


Pagi itu, Dina memakai gaun lengan pendek berwarna kuning keemasan. Gaun itu terlihat pas di tubuh Dina meskipun kalau di lihat dari dekat, jelas sekali sedikit kesempitan. Bu Saraswati mengambil kedua tali gaun pada pinggang Dina lantas mengikatnya ke belakang.


"Ibu, Dina pakai bedak ini juga?"


Bu Saraswati lantas membalurkan bedak bayi ke wajah Dina lalu membuka tutup minyak kayu putih dan mengusapkan ke perut Dina.


"Ibu, kalau Dina ikut ke kantor Bapak berarti nggak bisa bareng sama Sasti ke Darma wanita?"


"Kamu ikut Bapak saja ya!" Kata Bu Saraswati membujuk sang putri sulung.
Dina mengambil sarapan yang sudah di siapkan Bu Saraswati di meja makan. Sepiring nasi dan telur mata sapi. Dina makan dengan lahap sekali. Meskipun mereka bukanlah keluarga yang sangat kaya, namun keluarga Pak Gunarto dan Bu Saraswati terbilang cukup harmonis dan tak kekurangan materi. Kedua anak mereka tumbuh dengan sehat dan aktif.

 Dina belajar di TK Nol Besar, usianya enam tahun. Sedangkan adiknya Sasti berusia 4 tahun. Pak Gunarto tidak memasukkan Sasti ke PAUD. Mereka tak terlalu memaksakan anak mereka untuk belajar dini. Setiap harinya Bu Saraswati menemani Sasti bermain di pusat komplek bermain anak di dekat Balai RW komplek perumahan. Pak Gunarto tinggal di komplek itu dengan mencicil KPR. Banyak tetangga komplek juga mencicil rumah mereka dengan sistem KPR.


Pak Gunarto pagi itu mengenakan kemeja batiknya juga bawahan celana panjang warna hitam. Ia tengah mengambil helm dan jaket kulit.


"Dina ayo kita berangkat sekarang!" Pak Gunarto sedang memanaskan mesin motor. Sasti yang mendengar suara motor lantas berlari keluar melewati garasi motor. Anak itu melihat kakaknya yang melangkah naik ke motor.


"Mbak Dina, aku ikut!" Teriak Sasti. Anak itu mengucek matanya lalu menghentakkan kakinya ke lantai. Sasti mendekat pada kakaknya lalu menowel tangan kanan kakaknya.


"Sasti ikut ya Mbak. Mbak mau kemana?" Tangis Sasti semakin menjadi. Pak Gunarto lantas mematikan mesin motor.


"Mbak Sasti mau ikut Bapak ke kantor!" Kata Pak Gunarto." Sekarang Sasti mandi! Habis itu ikut ibu arisan Darma Wanita di dekat kantor Bapak."


Anak itu tidak serta merta tersenyum karena penjelasan Pak Gunarto melainkan menggigit jempolnya. Bu Saraswati dengan sigap menggendong Sasti. Ia lalu membawa Sasti masuk ke dalam.


Akhirnya Pak Gunarto pun meninggalkan rumah. Deru motor tak terdengar lagi. Bu Saraswati kembali ke luar rumah. Ada beberapa tetangga yang sedang bergerombol di seberang rumah karena mereka sibuk belanja di pedagang sayur keliling.


"Bu, kok diajak ke kantor sih putrinya? Apa di sekolah nggak bakal menganggu pekerjaan Pak Gunarto?" Kata Bu Siwi sambil mencebikkan bibirnya. Wanita itu menghitung jumlah uang kembalian dari pedagang sayur.


"Kurang seribu, Mas." Kata Bu Siwi sembari menodongkan tangannya ke arah pedagang sayur yang sudah berumur itu.
Bu Saraswati menggelengkan kepalanya melihat kejadian itu.


"Bu Siwi, mungkin lupa. Tadi seribunya di pakai untuk membayar Kue Cucur." Bu Arswendi mengingatkan. Tetangga sebelah rumah Bu Saraswati memang terkenal sebagai pribadi yang obyektif tak pandang bulu dalam bertetangga.


Bu Siwi lantas pergi melenggang tanpa berpamitan sama sekali pada beberapa tetangga yang berkerumun itu.


Sesampainya di madrasah, Pak Gunarto segera memarkirkan motornya. Ia menggandeng Dina menuju ruang kantor.
Mereka berjalan menuju ruang guru. Di dalam ruang guru, beberapa rekan Pak Gunarto menyapa dan mengajak Dina berjabat tangan.


"Duduk di sini sampai Bapak selesai mengajar ya!"


Dina hanya mengangguk. Pak Gunarto membawa buku diktat dan satu kotak kapur tulis.


"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Pak Gunarto membuka pelajaran di kelas. Ruang kelas di madrasah itu memang tak terlalu luas. Temboknya masihlah layak, namun atapnya yang terbuat dari kepang bambu terlihat lusuh bahkan sedikit peyot di beberapa tempat.


Pak Gunarto memberikan tugas pada anak-anak lantas berkeliling ke ruang kelas. Ia menatap ke langit-langit atap tua itu.


Sebagai pendidik, tentu saja tak cukup rasa prihatin saja. Pak Gunarto sudah berupaya mengajukan proposal pembangunan gedung sekolah. Namun, semua menunggu keputusan dinas terkait. Pak Gunarto pun berjalan keliling kelas kembali.


"Amran, kenapa tidak mengerjakan tugas?"


Amran yang ditanya pun hanya diam. Ia tak berani memandang wajah Pak Gunarto.


Pak Gunarto lantas mendekat pada Amran. Anak itu rupanya tidak memiliki pensil. Pak Gunarto lantas kembali ke kantor dan mengambil pensil di ruang guru.


"Dina ikut Bapak saja. Ayo!"


Dina yang sedang melipat origami lantas turun. Ia tetap membawa origaminya. Hati Dina tentu berbunga-bunga. Ia bisa keluar dari ruang guru. Sebab, di kantor ia tak berani melihat-lihat keadaan sekeliling kantor apalagi berkeliling ruangan dengan berjalan kaki meninggalkan kursi yang biasa di tempati Pak Gunarto. Ia juga tak berani meminjam apapun pada guru yang sedang membuat laporan dan tugas di ruang guru.


Pak Gunarto membuka pintu kelas. Lantas Dina masuk dan duduk di sebelah kursi guru. Dina melipat origaminya lagi. Ia melihat ke depan. Siswa-siswi yang berseragam sekolah serius mengerjakan tugas.


Gong berbunyi, pertanda jam pelajaran selesai sekaligus tiba saat istirahat.


"Jangan lupa di kerjakan PRnya anak-anak! Minggu depan PR kalian akan di masukkan ke daftar nilai."


"Ya, Pak Guru!" Jawab para murid serempak.


Anak-anak kelas tiga meninggalkan kelas. Kelas telah usai dan para murid berhamburan ke luar kelas. Ada yang langsung bermain bersama teman-temannya. Ada yang pergi ke kantin sekolah, dan ada pula yang berjalan ke luar pintu gerbang sekolah untuk membeli jajanan.


"Bapak, ini pelajarannya sudah selesai?" Tanya Dina dengan polosnya. Pak Gunarto hanya memiliki satu jam pelajaran di satu kelas saja. Itu sebabnya Pak Gunarto mengajak Dina. Kelas dengan tingkat  lebih tinggi, yaitu kelas lima dan enam masih melakukan proses belajar mengajar. Siswa masih mengerjakan tugas di kelas.


Pak Gunarto mengangguk. Lantas ia menggandeng Dina untuk keluar ruangan kelas. Pak Gunarto menoleh ke belakang kelasnya.


Di ruang guru, para guru sedang berkumpul untuk rapat. Pak Gunarto yang mengajak Dina meminta sang putri untuk duduk di luar ruang guru.


"Bapak mau rapat dulu sebentar. Setelah ini kita pulang, ya."


Dina hanya mengangguk, padahal ia ingin sekali berkeliling sekolah di temani oleh Pak Gunarto. Tentu saja Dina kecewa sekali. Ia memilih ikut Pak Gunarto karena ingin melihat sekolah tempat Pak Gunarto mengajar sekaligus mengais rezeki.
Pupus sudah harapan Dina. Anak itu tiba-tiba saja berlari dan kembali ke ruang kelas tampat Pak Gunarto mengajar. Dina melihat ke atap yang terbuat dari kepang bambu yang mulai lapuk di sana-sini.

 Anak itu hanya bisa memandangi ruang kelas kosong itu dengan penuh kekecewaan. Dina merasa atap sekolah kelas itu sangat berbeda dengan atap di rumahnya. Anak itu pun duduk di kursi guru, yang letaknya di sebelah sebuah almari besar.


Pak Gunarto pun segera mendatangi ruang rapat yang ada di sebelah ruang guru. Seluruh guru bahkan Pak Hamzah---kepala sekolah sudah berkumpul. Mereka membahas proposal renovasi sekolah yang di tolak dinas terkait karena rincian anggarannya kurang di buat rigid.


Pak kepala sekolah menginstruksikan pada bendahara sekolah agar memperbaiki proposal anggaran renovasi sekolah itu.


Awan gelap muncul tiba-tiba. Hujan turun dengan deras dan gemuruh petir bersahutan. Angin besar pun membuat suara pintu berdentum. Dalam sekejap mata, angin besar merobohkan atap ruang tempat Pak Gunarto terakhir mengajar. Bersyukur kelas telah selesai dan anak-anak sudah pulang.


Brukkkkkkkk.


Atap ruang kelas itu roboh. Bapak kepala sekolah yang mendengar suara itu seketika menghentikan rapat. Seluruh guru pun ikut keluar meninggalkan ruang rapat. Sementara itu, siswa di kelas lima dan enam yang sedang belajar pun berhamburan keluar.


Pak Gunarto adalah orang yang pertama kali masuk ke ruang kelas itu. Ia berlari dengan tergesa dengan nafas memburu.

 Atap ruang kelas roboh menimpa beberapa kursi dan juga bangku. Beberapa kursi bahkan ikut patah karena ada dua titik roboh di tengah kelas.


"Anak saya Pak, tadi masuk di ruangan ini." Sesal Pak Gunarto. Ia terburu-buru mendatangi rapat dan tidak membujuk Dina untuk kembali ke ruang guru. Wajah Pak Gunarto pias seketika. Tubuhnya mendadak lunglai.


Tak lama kemudian, petugas SAR datang membantu mengevakuasi ruang kelas itu dengan alat berat. Ruang kelas itu tak beratap lagi. Pak Hamzah bersama tim SAR menyisir ruang kelas. Tim SAR  mendekat ke arah almari besar yang keadaannya masih utuh. Hanya almari itu yang belum mereka periksa. Almari itu tampak kokoh, bahannya terbuat dari kayu jati, warnanya coklat, serat dan juga pliturnya masih terlihat mengkilap. Plitur dari almari itu masih bagus, sepertinya almari itu belum terlalu lama di datangkan ke sekolah.


Kriet......


Salah seorang Tim SAR membuka almari perlahan. Almari itu tertutup rapat, meskipun begitu ada celah kecil untuk lubang udara sehingga Tim SAR tidak kesulitan untuk membuka almari itu.


"Ini anak yang di cari Pak? Ketemu!" Teriak salah seorang anggota tim SAR yang masih muda bernama Wandi.


Pak Gunarto bersama Pak Hamzah lantas mendatangi Wandi. Wandi membuka lebih lebar daun pintu almari dengan linggis. Pak Gunarto melihat Dina meringkuk di dalam almari itu.


"Bapak, Dina takut!" Kata Dina sambil mennagis tergugu.


Pak Gunarto lantas mengulurkan tangannya. "Ayo keluar! Ini sudah aman!" Kata Pak Gunarto perlahan membujuk Dina.


Dina pun dengan tangan gemetar meraih tangan Pak Gunarto. Dina menatap langit-langit ruang kelas madrasah yang sudah tak beratap lagi. Kini pemandangan yang ada adalah langit biru dan gumpalan awan, mendung sudah menyingkir dan hujan pun sudah reda.


Pak Gunarto membawa Dina pulang setelah ijin pada Pak Hamzah. Di tengah,perjalanan, tiba-tiba saja Pak Gunarto membelokkan kendaraannya."Kita mampir dulu ke warung ya!" Pak Gunarto lantas menghentikan motornya di warung soto langganan Bu Saraswati yang terletak tak jauh dari rumah. Mereka lantas masuk ke warung. Pak Gunarto memesankan dua mangkuk soto.


Pak Gunarto meninggalkan Dina sejenak. Ia meminta pelayan warung makan untuk menemani Dina sebentar. Pak Gunarto mengambil sesuatu di jok motor. Lalu, ia pun kembali masuk ke warung.


"Terimakasih Mas!" Ucap Pak Gunarto pada pelayan warung.


Pak Gunarto meletakkan buku gambar dan juga crayon baru untuk Dina.


"Maafin Bapak ya! Bapak lupa bilang kalau kemarin dua minggu lalu sudah membelikan crayon buat Dina dan boneka buat Sasti."


Dina pun meletakkan sendoknya. Ia ganti meraih buku gambar yang di bawakan Pak Gunarto.


"Selamat ulang tahun. Besok kapan-kapan kita ke sekolah lagi Din, lihat madrasah yang di renovasi. Kata Pak kepala, karena atapnya roboh. Atapnya akan di ganti yang baru. Sekolah mau di renovasi total."


Sepanjang perjalanan pulang, Dina tersenyum sumringah. Mereka sampai rumah sore hari. Dina pun di buat takjub setelah masuk ke rumahnya. Bu Saraswati sudah menyiapkan nasi tumpeng kecil. Seluruh anggota keluarga besar pun berkumpul untuk merayakan ulang tahun Dina.  Mulai Eyang Putri Dina juga tiga orang bibi dan sepupu Dina.


Sambil menangis, Dina meraih tangan adiknya lalu memeluk adiknya. Dina masih teringat kejadian di sekolah yang begitu mengejutkannya. Ia tiba-tiba melihat angin datang. Dina dan Sasti selalu menonton kartun bersama. Mereka sering menonten Frozen berdua. Mereka juga main petak umpet berdua di dalam rumah. Dina pun jadi ingat kejadian dimana ia pernah memarahi Sasti karena ia sudah capek mencari adiknya saat main petak umpet namun tidak ketemu. Ternyata Sasti sembunyi di almari besar tempat penyimpanan baju. Dari kejadian itu, Dina berinisiatif untuk berlari menyelamatkan diri saat tiba-tiba atap di ruang kelas madrasah itu mendadak roboh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun