Sebagai pendidik, tentu saja tak cukup rasa prihatin saja. Pak Gunarto sudah berupaya mengajukan proposal pembangunan gedung sekolah. Namun, semua menunggu keputusan dinas terkait. Pak Gunarto pun berjalan keliling kelas kembali.
"Amran, kenapa tidak mengerjakan tugas?"
Amran yang ditanya pun hanya diam. Ia tak berani memandang wajah Pak Gunarto.
Pak Gunarto lantas mendekat pada Amran. Anak itu rupanya tidak memiliki pensil. Pak Gunarto lantas kembali ke kantor dan mengambil pensil di ruang guru.
"Dina ikut Bapak saja. Ayo!"
Dina yang sedang melipat origami lantas turun. Ia tetap membawa origaminya. Hati Dina tentu berbunga-bunga. Ia bisa keluar dari ruang guru. Sebab, di kantor ia tak berani melihat-lihat keadaan sekeliling kantor apalagi berkeliling ruangan dengan berjalan kaki meninggalkan kursi yang biasa di tempati Pak Gunarto. Ia juga tak berani meminjam apapun pada guru yang sedang membuat laporan dan tugas di ruang guru.
Pak Gunarto membuka pintu kelas. Lantas Dina masuk dan duduk di sebelah kursi guru. Dina melipat origaminya lagi. Ia melihat ke depan. Siswa-siswi yang berseragam sekolah serius mengerjakan tugas.
Gong berbunyi, pertanda jam pelajaran selesai sekaligus tiba saat istirahat.
"Jangan lupa di kerjakan PRnya anak-anak! Minggu depan PR kalian akan di masukkan ke daftar nilai."
"Ya, Pak Guru!" Jawab para murid serempak.
Anak-anak kelas tiga meninggalkan kelas. Kelas telah usai dan para murid berhamburan ke luar kelas. Ada yang langsung bermain bersama teman-temannya. Ada yang pergi ke kantin sekolah, dan ada pula yang berjalan ke luar pintu gerbang sekolah untuk membeli jajanan.