Anak itu tidak serta merta tersenyum karena penjelasan Pak Gunarto melainkan menggigit jempolnya. Bu Saraswati dengan sigap menggendong Sasti. Ia lalu membawa Sasti masuk ke dalam.
Akhirnya Pak Gunarto pun meninggalkan rumah. Deru motor tak terdengar lagi. Bu Saraswati kembali ke luar rumah. Ada beberapa tetangga yang sedang bergerombol di seberang rumah karena mereka sibuk belanja di pedagang sayur keliling.
"Bu, kok diajak ke kantor sih putrinya? Apa di sekolah nggak bakal menganggu pekerjaan Pak Gunarto?" Kata Bu Siwi sambil mencebikkan bibirnya. Wanita itu menghitung jumlah uang kembalian dari pedagang sayur.
"Kurang seribu, Mas." Kata Bu Siwi sembari menodongkan tangannya ke arah pedagang sayur yang sudah berumur itu.
Bu Saraswati menggelengkan kepalanya melihat kejadian itu.
"Bu Siwi, mungkin lupa. Tadi seribunya di pakai untuk membayar Kue Cucur." Bu Arswendi mengingatkan. Tetangga sebelah rumah Bu Saraswati memang terkenal sebagai pribadi yang obyektif tak pandang bulu dalam bertetangga.
Bu Siwi lantas pergi melenggang tanpa berpamitan sama sekali pada beberapa tetangga yang berkerumun itu.
Sesampainya di madrasah, Pak Gunarto segera memarkirkan motornya. Ia menggandeng Dina menuju ruang kantor.
Mereka berjalan menuju ruang guru. Di dalam ruang guru, beberapa rekan Pak Gunarto menyapa dan mengajak Dina berjabat tangan.
"Duduk di sini sampai Bapak selesai mengajar ya!"
Dina hanya mengangguk. Pak Gunarto membawa buku diktat dan satu kotak kapur tulis.
"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Pak Gunarto membuka pelajaran di kelas. Ruang kelas di madrasah itu memang tak terlalu luas. Temboknya masihlah layak, namun atapnya yang terbuat dari kepang bambu terlihat lusuh bahkan sedikit peyot di beberapa tempat.
Pak Gunarto memberikan tugas pada anak-anak lantas berkeliling ke ruang kelas. Ia menatap ke langit-langit atap tua itu.