Sejak 2015 hingga 2022, Kementerian Keuangan menggelontorkan dana desa sebesar Rp468,9 triliun. Pada periode yang sama, sudah terjadi 851 kasus korupsi di desa yang melibatkan 973 tersangka (KPK, 2023).
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat.
Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.
Modusnya beragam. Mulai dari penggelembungan dana (markup), anggaran untuk urusan pribadi, proyek fiktif, tidak sesuai volume kegiatan, penggelapan, hingga laporan palsu.
Pemburu rente atau rent-seeking merupakan perilaku individu atau kelompok yang mencari keuntungan ekonomi dengan cara memanipulasi aturan, kebijakan, alokasi anggaran negara, dan kongkalikong dengan korporasi jahat telah menjadi isu yang signifikan dan terus berulang.
Sebelum kita melanjutkan diskusinya, saya mengajak kompasianer untuk membaca tulisan di bawah ini:
Dengan demikian, kita dapat menarik solusi secara lebih holistik.
Senarai kasus pemburu rente
12 Januari 2022. Yunita Aryani, Kades Muara Payang OKU Selatan divonis lima tahun penjara karena korupsi dana desa sebesar Rp699 juta (Apriani, 2022).
11 Agustus 2022. Kejaksaan Negeri Manggarai, NTT menahan Kepala Desa Bangka Lao, Kecamatan Ruteng, GSK. Korupsi pengelolaan alokasi pendapatan dan belanja desa TA. 2017-2019 sebesar Rp544 juta (Jahang, 2022).
28 Desember 2024 Polres Lombok Tengah menetapkan tujuh tersangka terkait korupsi dana bantuan sosial. Dua diantaranya kepala desa. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp226 juta (tribratanews.ntb.polri.go.id, 2025).
September 2024, di Tulungagung, seorang kepala desa bernama Suratman dijatuhi hukuman penjara karena korupsi dana desa Rp721 juta. Modusnya proyek fiktif dan penyalahgunaan tanah kas desa. Kasus ini melibatkan penyidikan terhadap 40 saksi (Masyhari, 2024)
Teranyar. Enam kepala desa di Sumatra Utara diduga menggunakan dana desa untuk bermain judi daring, dengan jumlah transfer berkisar antara Rp50 juta hingga Rp260 juta per orang.
Total penyelewengan yang teridentifikasi mencapai lebih dari Rp40 miliar dari alokasi dana desa yang diterima (Feisal, 2025).
Kasus penyelewengan dana desa untuk judi daring oleh kepala desa menambah senarai panjang kasus pemburu rente di desa.
Perilaku tak beradab ini merupakan contoh buruk dalam implementasi kebijakan pengelolaan dana desa yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Penyelewengan dana yang terjadi menimbulkan beragam pertanyaan serius terkait efektivitas dan integritas tata kelola pemerintahan desa, serta mekanisme pengawasan yang lemah.
Sebagai salah satu instrumen kebijakan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penggunaan dana desa harusnya menjamin alokasi yang tepat sasaran.
Namun, kasus semacam ini menunjukkan bahwa ada celah besar dalam sistem pengelolaan dana yang perlu segera diperbaiki.
Sebagaimana diketahui, dana desa merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014Â tentang Desa, dana desa digunakan untuk mendukung pembangunan desa dalam berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun, maraknya praktik pemburu rente ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana desa masih sangat minim dan rentan terhadap penyalahgunaan.
Persoalan Pengawasan dan Transparansi
Dalam menganalisis maraknya pemburu rente di desa-desa, kita dapat melihat adanya kelemahan dalam berbagai aspek kebijakan publik yang terkait dengan dana desa.
Salah satu aspek yang paling menonjol adalah masalah accountability (akuntabilitas) dan transparency (transparansi) dalam pengelolaan dana desa.
Public Choice Theory, mengajarkan bahwa pengambil keputusan (dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya) sering kali memiliki kecenderungan untuk bertindak demi kepentingan pribadi mereka daripada untuk kesejahteraan publik.
Konsep ini dapat menjelaskan mengapa seorang kepala desa yang seharusnya mengelola dana untuk pembangunan desa justru menggunakannya untuk kepentingan pribadi, seperti berjudi.
Selain itu, menurut teori Principal-Agent, yang mengacu pada hubungan antara pemberi mandat (principal) dan yang diberi mandat (agent), dalam hal ini pemerintah pusat sebagai principal dan kepala desa sebagai agent, seringkali terjadi ketidakselarasan antara tujuan principal dengan tindakan agent.
Meskipun ada regulasi yang jelas mengenai penggunaan dana desa, kepala desa yang memiliki kontrol langsung terhadap dana tersebut bisa saja melakukan penyalahgunaan jika tidak ada pengawasan yang memadai dari pihak yang lebih tinggi.
Kurangnya transparansi dalam proses alokasi dan penggunaan dana desa semakin memperburuk situasi ini.
Menurut laporan KPK, ketidakjelasan dalam pelaporan penggunaan dana desa menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya praktik pemburu rente.
Pengawasan yang lemah dari masyarakat dan lembaga terkait juga berperan besar dalam memungkinkan penyalahgunaan tersebut terjadi tanpa terdeteksi.
Pengaruh Budaya Organisasi Desa terhadap Penyelewengan
Selain faktor kelemahan kebijakan, faktor budaya organisasi di tingkat desa juga perlu mendapat perhatian.
Dalam banyak kasus, kepala desa seringkali dianggap sebagai "otoritas tunggal" dalam pengelolaan dana desa, yang dapat menyebabkan kecenderungan untuk mengabaikan pengawasan dari masyarakat dan lembaga lain.
Hal ini mengarah pada terjadinya perilaku rent-seeking dan korupsi dalam pengelolaan dana desa.
Teori New Institutionalism dalam kajian kebijakan publik memberikan perspektif mengenai pentingnya peran institusi, norma, dan budaya dalam pengambilan keputusan.
Dalam konteks ini, budaya organisasi di tingkat desa yang belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas memungkinkan praktik penyelewengan berjalan tanpa kendala yang berarti.
Oleh karena itu, memperbaiki budaya dan norma di tingkat desa menjadi salah satu kunci untuk mencegah terjadinya penyelewengan dana desa di masa mendatang.
Rekomendasi Kebijakan dan Solusi
1. Perkuat Pengawasan dan Transparansi:Â Pemerintah perlu memperkuat mekanisme pengawasan terhadap penggunaan dana desa. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk memastikan adanya pelaporan yang transparan dan akurat mengenai penggunaan dana desa. Sistem pelaporan online yang dapat diakses oleh masyarakat dan lembaga pengawas akan membantu mencegah penyelewengan.
2. Peningkatan Kapasitas Kepala Desa: Pelatihan dan pendidikan bagi kepala desa mengenai prinsip-prinsip tata kelola yang baik (Good Governance) dan pengelolaan keuangan yang akuntabel sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Dengan meningkatkan kapasitas kepala desa, diharapkan mereka dapat memahami dengan lebih baik tentang tanggung jawab mereka terhadap rakyat.
3. Penguatan TPP:Â Peran Tenaga Pendamping Desa (TPP) bukan hanya sebagai fasilitator administratif, yang tenggelam ke dalam lautan kertas dan dokumen. TPP harus membantu desa merumuskan kebijakan yang melawan praktik ekonomi yang tidak adil, seperti penguasaan tanah oleh pemilik besar atau praktik rentenir yang menjerat petani.
4. Perkuat Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Desa:Â Masyarakat desa perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan penggunaan dana desa. Pembentukan badan pengawas desa yang independen dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pengawasan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan akuntabilitas dan mencegah korupsi.
5. Sanksi yang Tegas:Â Implementasi sanksi yang lebih tegas terhadap kepala desa yang terbukti melakukan penyelewengan dana desa perlu diperketat. Sanksi hukum yang jelas dan berat akan memberikan efek jera dan mencegah praktik-praktik serupa di masa depan.
Kesimpulan
Penyelewengan dana desa dan praktik pemburu rente oleh kepala desa merupakan fenomena yang mencerminkan masalah mendalam dalam kebijakan pengelolaan dana desa, terutama dalam hal pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas.
Melalui pendekatan teori kebijakan publik, kita dapat melihat bahwa lemahnya pengawasan dan sistem kontrol yang ada memungkinkan praktik ini terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah penyelewengan serupa, perlu ada perbaikan serius dan mendalam pada sistem pengelolaan dana desa, dengan memperkuat partisipasi, pengawasan, transparansi, dan pendidikan bagi pengelola dana desa.
Hanya dengan langkah-langkah tersebut pembangunan desa yang adil, inklusif, dan berkelanjutan dapat tercapai.*
Referensi:
Apriani, dwi. (12 Januari 2022). Widhoroso, Ed. https://mediaindonesia.com/nusantara/463929/selewengkan-dana-desa-rp699-juta-mantan-kades-divonis-5-tahun-penjara. Mediaindonesia.com.
Jahang, Benediktus Sridin Sulu. (11 Agustus 2022). Agus Setiawan, Ed. https://www.antaranews.com/berita/3052261/kejaksaan-negeri-manggarai-tahan-kades-korupsi-dana-desa-rp544-juta. Antaranews.com.
Masyhari, Nanang (19 September 2024). https://beritajatim.com/korupsi-dana-desa-rp721-juta-kades-di-tulungagung-masuk-bui. Beritajatim.com.
Sujarwoko, Destyan H. (15 Januari 2025). Vicki Febrianto, Ed. https://jatim.antaranews.com/berita/870342/kejaksaan-serahkan-kasus-dugaan-korupsi-oknum-kades-tulungagung. Antaranews.com.
Feisal, Rio. (20 Januari 2025). Hisar Sitanggang, Ed. https://www.antaranews.com/berita/4595090/ppatk-sedang-dalami-dugaan-penyelewengan-dana-desa-untuk-judol. Antaranews.com.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI