Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014Â tentang Desa, dana desa digunakan untuk mendukung pembangunan desa dalam berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun, maraknya praktik pemburu rente ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana desa masih sangat minim dan rentan terhadap penyalahgunaan.
Persoalan Pengawasan dan Transparansi
Dalam menganalisis maraknya pemburu rente di desa-desa, kita dapat melihat adanya kelemahan dalam berbagai aspek kebijakan publik yang terkait dengan dana desa.
Salah satu aspek yang paling menonjol adalah masalah accountability (akuntabilitas) dan transparency (transparansi) dalam pengelolaan dana desa.
Public Choice Theory, mengajarkan bahwa pengambil keputusan (dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya) sering kali memiliki kecenderungan untuk bertindak demi kepentingan pribadi mereka daripada untuk kesejahteraan publik.
Konsep ini dapat menjelaskan mengapa seorang kepala desa yang seharusnya mengelola dana untuk pembangunan desa justru menggunakannya untuk kepentingan pribadi, seperti berjudi.
Selain itu, menurut teori Principal-Agent, yang mengacu pada hubungan antara pemberi mandat (principal) dan yang diberi mandat (agent), dalam hal ini pemerintah pusat sebagai principal dan kepala desa sebagai agent, seringkali terjadi ketidakselarasan antara tujuan principal dengan tindakan agent.
Meskipun ada regulasi yang jelas mengenai penggunaan dana desa, kepala desa yang memiliki kontrol langsung terhadap dana tersebut bisa saja melakukan penyalahgunaan jika tidak ada pengawasan yang memadai dari pihak yang lebih tinggi.
Kurangnya transparansi dalam proses alokasi dan penggunaan dana desa semakin memperburuk situasi ini.