Dalam menganalisis tata kelola pertanahan melalui pembentukan sui generis Bank Tanah, penting untuk mempertimbangkan dua aspek utama: kepentingan publik versus kepentingan investor.
Menemukan titik keseimbangan di antara dua kepentingan tersebut, bukan perkara yang ringan. Artikel ini, dengan segala keterbatasannya, mencoba untuk berkontribusi dalam upaya pencarian tersebut.
Kerumitan tata kelola pertanahan berlipat-lipat ketika senarai fakta menunjukkan statistik ketimpangan kepemilikan lahan terus melebar tanpa adanya kepastian institusional sebagai jalan keluar. Konflik yang berulang.
Rasio Gini pertanahan tidak bergerak kemana-mana selama puluhaan tahun!
Tentang senarai fakta ketimpangan lahan, kompasianer dapat mengunjungi artikel saya sebelumnya di:
Ketimpangan Lahan di Indonesia
Ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia, baik di kota dan desa, merupakan masalah yang cukup kompleks dan memprihatinkan, dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Sebuah persoalan laten.
Tahun 1973, BPS mencatat angka ketimpangan lahan yakni 0,55. Empat dekade kemudian atau pada 2013, angka ketimpangan lahan tidak jauh berubah sebesar 0,68 (Kompas.id, 14/1/2024; kpa.or.id, 15/1/2024).
Statistik tersebut ternyata juga tidak jauh berbeda dengan temuan BPN di tahun 2022, level rasio Gini pertanahan berada di kisaran 0,58.
Puncak ketimpangan lahan terjadi pada tahun 2003 dimana ketimpangan kepemilikan lahan sebesar 0,72 persen. Artinya hanya 1 persen rakyat yang menguasai 72 persen sumber daya lahan (Kompas.com, 2023).
Sebagai catatan tembahan, menurut Sensus Pertanian Nasional 2013, sekira 55,33 persen atau setara dengan 14,25 juta rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem yang menguasai kurang dari 0,5 hektar tanah (Kompas.id, 2024).
Masih pada laporan yang sama, di tahun 2023, jumlah petani gurem bukannya menurun tapi justru meningkat tajam menjadi 60,84 persen atau 16,89 juta. Naik sebanyak 2,64 juta.
Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat urban?
Laporan dari Bank Dunia dan Bappenas pada 2017 mencatat bahwa 3 juta keluarga di Indonesia masih kesulitan untuk memperoleh tanah atau rumah yang layak, sementara spekulan properti dan investor besar menguasai sebagian besar tanah yang tersedia di kawasan perkotaan.
Hal ini menyebabkan munculnya fenomena perumahan eksklusif yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas, sementara perumahan untuk rakyat atau subsidi perumahan masih sangat terbatas.
Banyak di antara mereka yang tinggal di kawasan kumuh dengan status tanah yang tidak jelas atau illegal, sehingga tidak dapat memanfaatkan tanah secara optimal.
Di sisi yang lainnya, menurut Data Survei Pertanahan dan Penguasaan Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2020, sektor perkebunan besar dan perusahaan tambang menguasai lebih dari 50 juta hektar tanah di Indonesia.
Permasalahan ketimpangan lahan semakin berlapis dengan adanya Fenomena land grabbing (penguasaan tanah secara ilegal atau tidak adil) di Indonesia, terutama yang melibatkan perusahaan besar.
Laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada tahun 2019 mencatat bahwa sejak 1998, lebih dari 10 juta hektar tanah di Indonesia telah dikuasai secara ilegal oleh perusahaan besar, baik itu untuk tujuan perkebunan kelapa sawit, tambang, maupun pembangunan infrastruktur.
Praktik ini seringkali dibarengi dengan penggusuran terhadap masyarakat adat atau petani lokal yang sudah bertani di tanah tersebut selama bertahun-tahun.
Lahan Tidur yang Belum Digarap Secara Optimal
Salah satu tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah tingginya jumlah lahan tidur (idle land) yang tidak tergarap secara optimal.
Lahan tidur ini mencakup tanah yang tidak dimanfaatkan untuk produksi pertanian, perkebunan, atau kegiatan ekonomi lainnya, meskipun secara potensial lahan tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Fenomena ini berpotensi merugikan ekonomi nasional karena menghambat pemanfaatan optimal dari sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.Â
BPN mencatat sekira 24 juta hektar tanah yang tidak terkelola dengan baik atau bahkan idle land (lahan tidur) yang tidak dimanfaatkan.
Lahan tidur ini tersebar di berbagai sektor, termasuk pertanian, perkebunan, dan area yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pemukiman atau industri.
Menurut BPN, lahan tidur tersebut sebagian besar berada di luar kawasan hutan dan dapat dipergunakan untuk kegiatan ekonomi produktif seperti pertanian, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian.
Data Kementerian Pertanian, sekitar 1,2 juta hektar lahan pertanian di Indonesia berada dalam kondisi tidak produktif, akibat dari penggunaan yang kurang efisien atau tidak adanya investasi dalam pengelolaannya.
Penggarapan lahan-lahan kosong yang besar semacam itu memang dibutuhkan investasi yang tidak kecil. Peran investor menjadi strategis pada aspek ini.
Jumlah lahan kosong yang tidak tergarap secara optimal di Indonesia sangat besar, dengan berbagai sektor yang dapat memanfaatkannya, termasuk pertanian, perkebunan, perumahan, dan infrastruktur.
Sayangnya, hambatan administratif, ketidakjelasan kepemilikan tanah, serta kurangnya perencanaan yang efektif sering kali menyebabkan banyak lahan tidur yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi nasional.
Jika dikelola dengan baik, lahan-lahan tersebut berpotensi meningkatkan produktivitas sektor pertanian, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan negara.
Oleh karena itu, reformasi pengelolaan tanah yang lebih baik dan efisien harus menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Badan Bank Tanah, Upaya Menemukan Keseimbangan antara Kepentingan Publik dan Investor
Berlipat-lipatnya permasalahan di sektor pertanahan, maka institusionalisasi baru dalam pembentukan badan khusus (sui generis) menjadi sebuah pilihan yang (sementara) realistis.
Badan Bank Tanah (BBT) dapat dilihat sebagai instrumen pemerintah untuk mengatur pasar tanah agar tidak dikuasai oleh kepentingan swasta yang bisa merugikan masyarakat.
Tantangan utama dalam pembentukan BBT adalah bagaimana menemukan titik keseimbangan antara kepentingan publik (yakni keadilan sosial, pemerataan akses tanah bagi rakyat, dan pengurangan kemiskinan) dengan kepentingan investor (yakni efisiensi ekonomi, daya tarik investasi, dan pengembangan sektor swasta).
BBT harus memegang teguh prinsip non-profit, ini menunjukkan komitmennya terhadap kepentingan publik, di mana semua pendapatan digunakan kembali untuk operasional lembaga tanpa membagikan keuntungan kepada individu atau kelompok tertentu.
Di sisi lain, keberadaan BBT juga tidak bisa dipisahkan dari kepentingan investor. Dalam upaya menarik investasi, BBT harus mampu menyediakan lahan dengan cepat dan efisien.
Oleh karena itu, penting bagi BBT untuk menyeimbangkan kedua kepentingan ini agar tidak terjadi ketidakadilan dalam distribusi sumber daya.
Strategi Mencapai Titik Keseimbangan
Untuk menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kepentingan publik dan investor dalam praktik Bank Tanah, beberapa strategi dapat diterapkan:
1. Pengaturan Akses yang Terstruktur dan Terbuka
Badan Bank Tanah perlu memiliki mekanisme yang jelas dalam hal siapa yang berhak mendapatkan akses terhadap tanah yang dikelola, baik itu untuk kepentingan publik atau sektor swasta.Â
Hal ini termasuk adanya sistem pemberian tanah yang transparan dan berbasis kebutuhan rakyat, seperti alokasi tanah untuk perumahan rakyat atau sektor pertanian kecil.
Penggunaan sistem e-Government atau platform digital untuk mempublikasikan informasi tanah, prosedur distribusi, dan laporan penggunaan tanah secara terbuka kepada publik. Merupakan langkah yang sangat baik.
2. Prioritaskan Redistribusi untuk Rakyat Miskin
Kebijakan redistribusi tanah yang lebih pro-kerakyatan harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memastikan bahwa tanah yang dikelola oleh BBT dapat dialokasikan untuk rakyat miskin, petani, atau kelompok yang memiliki akses terbatas terhadap tanah.
Namun, tidak kalah penting adalah memberikan fasilitas pelatihan dan pemberdayaan untuk masyarakat dalam pengelolaan tanah yang telah didistribusikan.
3. Berikan Insentif bagi Investasi yang Berkelanjutan
Agar investor tertarik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan tanah yang dikelola oleh BBT, mereka perlu diberikan insentif yang dapat mendukung keberlanjutan ekonomi dan sosial.Â
Ini bisa berupa insentif fiskal atau kebijakan yang mendorong pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
4. Keterlibatan Publik dan Perlindungan Hak Masyarakat serta Lingkungan
Salah satu strategi yang penting adalah keterlibatan aktif masyarakat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan terkait alokasi dan penggunaan tanah.Â
BBT perlu melaksanakan musyawarah dengan masyarakat atau forum konsultasi publik untuk mendiskusikan rencana penggunaan tanah, terutama jika tanah tersebut akan digunakan untuk proyek besar yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar.
Selain itu, perlindungan hak atas tanah harus menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan tanah oleh BBT. Negara harus memastikan bahwa kebijakan redistribusi tanah tidak melanggar hak-hak masyarakat adat atau kelompok rentan lainnya.Â
Selain itu, pertimbangan dampak lingkungan harus menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan tanah.
5. Penguatan Kerjasama Publik-Swasta (Public-Private Partnership)
Public-Private Partnership (PPP) atau kemitraan antara sektor publik dan sektor swasta merupakan strategi yang dapat memaksimalkan potensi pengelolaan tanah yang lebih efisien dan berkelanjutan.Â
Melalui model ini, BBT dapat bekerja sama dengan investor swasta dalam hal pembangunan infrastruktur atau proyek perumahan yang memiliki dampak sosial langsung, sambil memastikan bahwa kepentingan publik tetap terlindungi.
Dalam praktiknya, strategi ini dapat mencakup pembagian risiko dan keuntungan yang adil, serta pengawasan yang ketat agar proyek yang dilakukan tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga memberikan manfaat nyata kepada masyarakat, terutama dalam hal penyediaan perumahan, lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi lokal.
Penutup
Ikhtiar menemukan titik keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan investor bukan perkara yang ringan. Ini merupakan tantangan yang memerlukan pendekatan yang holistik dan multi-dimensional.
Dengan mengintegrasikan berbagai pendekatan strategik ini, Badan Bank Tanah diharapkan dapat memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan keseimbangan yang menguntungkan bagi semua pihak, baik itu masyarakat, investor, maupun pemerintah, dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Keberhasilan Badan Bank Tanah tergantung pada kemampuannya dalam menjalankan tugasnya secara patriotik, transparan, profesional dan akuntabel. Lebih dari itu, biarkan sejarah yang akan membuktikannya. Semoga.*
Keyword:Â Badan Bank Tanah
Referensi:
https://www.kpa.or.id/2024/01/15/sembilan-tahun-berjalan-capaian-reforma-agraria-masih-timpang/
Kementerian ATR/BPN (2020), "Laporan Statistik Pertanahan Indonesia"
Komnas HAM (2019), "Laporan Tahunan Konflik Agraria di Indonesia"
Bank Dunia (2018), "Urbanization and Inequality in Indonesia"
WALHI (2019), "Laporan Land Grabbing di Indonesia"
Badan Pusat Statistik (BPS) (2020), "Statistik Pertanahan Indonesia 2020"
LIPI (2017), "Analisis Indeks Gini Kepemilikan Tanah di Indonesia"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI