Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Badan Bank Tanah: Kepentingan Publik atau Investor?

26 Januari 2025   21:34 Diperbarui: 26 Januari 2025   21:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar versus kompetisi neon sign (Foto: pngtree.com)

Puncak ketimpangan lahan terjadi pada tahun 2003 dimana ketimpangan kepemilikan lahan sebesar 0,72 persen. Artinya hanya 1 persen rakyat yang menguasai 72 persen sumber daya lahan (Kompas.com, 2023).

Sebagai catatan tembahan, menurut Sensus Pertanian Nasional 2013, sekira 55,33 persen atau setara dengan 14,25 juta rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem yang menguasai kurang dari 0,5 hektar tanah (Kompas.id, 2024).

Masih pada laporan yang sama, di tahun 2023, jumlah petani gurem bukannya menurun tapi justru meningkat tajam menjadi 60,84 persen atau 16,89 juta. Naik sebanyak 2,64 juta.

Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat urban?

Laporan dari Bank Dunia dan Bappenas pada 2017 mencatat bahwa 3 juta keluarga di Indonesia masih kesulitan untuk memperoleh tanah atau rumah yang layak, sementara spekulan properti dan investor besar menguasai sebagian besar tanah yang tersedia di kawasan perkotaan.

Hal ini menyebabkan munculnya fenomena perumahan eksklusif yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas, sementara perumahan untuk rakyat atau subsidi perumahan masih sangat terbatas.

Banyak di antara mereka yang tinggal di kawasan kumuh dengan status tanah yang tidak jelas atau illegal, sehingga tidak dapat memanfaatkan tanah secara optimal.

Di sisi yang lainnya, menurut Data Survei Pertanahan dan Penguasaan Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2020, sektor perkebunan besar dan perusahaan tambang menguasai lebih dari 50 juta hektar tanah di Indonesia.

Permasalahan ketimpangan lahan semakin berlapis dengan adanya Fenomena land grabbing (penguasaan tanah secara ilegal atau tidak adil) di Indonesia, terutama yang melibatkan perusahaan besar.

Laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada tahun 2019 mencatat bahwa sejak 1998, lebih dari 10 juta hektar tanah di Indonesia telah dikuasai secara ilegal oleh perusahaan besar, baik itu untuk tujuan perkebunan kelapa sawit, tambang, maupun pembangunan infrastruktur.

Praktik ini seringkali dibarengi dengan penggusuran terhadap masyarakat adat atau petani lokal yang sudah bertani di tanah tersebut selama bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun