Mohon tunggu...
Rafif dan Rafi
Rafif dan Rafi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Generasi muda Indonesia

Masih pemula dalam membuat artikel. Generasi muda yang mencoba melek dengan situasi terkini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Sikap yang Harus Hilang dari Bangsa Kita

28 Februari 2022   19:00 Diperbarui: 28 Februari 2022   19:25 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini adalah sebuah opini.

Di sini penulis tidak mengklaim sebagai pendapat yang benar. Penulis mengajak kota semua untuk mengintrospeksi kesalahan dan kekurangan kita masing-masing.

Bangsa kita telah merdeka selama lebih dari paruh abad. Beragam dinamika telah dilalui dan setiap periodenya menyimpan sejarah tersendiri. Saat ini bangsa kita dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan yang rumit.

Jika belum membaca artikel sebelumnya, silakan klik link berikut.

***

Salam damai!

Perdamaian adalah impian semua orang dan semua bangsa. Perdamaian dapat terwujud apabila setiap insan bersedia saling memahami dan mensyukuri keberagaman yang ada. Namun apa yang menjadi fenomena saat ini belumlah dapat mewujudkan kedamaian dan ketenteraman. Ada beberapa sikap yang mungkin justru tidak mencerminkan bangsa yang beradab. 

Oleh karena itu berikut ini opini tentang beberapa sikap yang harus mulai ditinggalkan bangsa kita versi penulis :

1. Budaya Konsumtif

Kita mengakui bahwa sampai saat ini masih mengandalkan kebiasaan membeli, memakai dan membuang sesuatu. Tidak jarang hal tersebut dapat menyebabkan produksi sampah semakin besar. Ini harus kita akui, akui, akui dan akui.

Kita sering kali mendengar atau membaca tentang pentingnya mengelola sampah, pentingnya menjaga lingkungan, bumi kita harus lestari dan konsep-konsep sejenis. Namun belum banyak yang bisa kita lakukan untuk menerapkan hal tersebut. Jika sekiranya mampu tergerak untuk menghasilkan produk sendiri (terutama yang ramah lingkungan) maka inilah yang disebut dengan inovasi. Inovasi harus muncul dan membawa perubahan besar bagi bangsa kita. Jika kita mampu mengawal perkembangan produksi mandiri dengan baik maka budaya konsumtif perlahan akan mulai terkendali.

Kita juga masih mengandalkan barang luar sementara produksi dalam negeri belum dikembangkan luas.

Kebiasaan beli, pakai dan buang (ekonomi linear) dapat digantikan dengan konsep daur ulang (ekonomi sirkular) yang ramah lingkungan. Meski demikian terdapat beberapa jenis sampah yang tidak dapat digunakan ulang secara langsung, memerlukan proses yang rumit atau pun tidak boleh dipakai ulang (semacam sampah B3 dan residu).

2. Egosentrisme

Setiap pribadi memiliki id, ego dan superego.  Id berawal dari keinginan akan sesuatu, kemudian ketika ada kesempatan ego mendorong kita untuk memenuhi id tersebut. Jika dilakukan, muncullah superego.

Ketika bicara tentang egosentrisme, ego berarti "tentang diri sendiri" dan sentris berarti "pusat atau tengah" serta diberi akhiran -isme yang berarti "paham atau sistem kepercayaan".  Menurut KBBI, egosentrisme adalah sifat dan kelakuan yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala hal.

Sikap mengendalikan ego merupakan suatu hal yang mungkin sulit dilakukan. Sering kali ego kita mendorong  untuk mewujudkan suatu keinginan yang dapat dipengaruhi emosi. Sering kali batin kita didesak untuk melakukan tindakan yang belum tentu tepat, benar dan cermat. Sering kali ego kita tidak memandang realitas dan kesanggupan dalam melakukan sesuatu.

Masih menelusuri KBBI, penulis menemukan istilah "egois" dan "egoisme". Egoisme secara psikologis berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada kesejahteraan orang lain. Padahal dalam konteks sosial individu tidak bisa hidup tanpa orang lain, walau mandiri sekali pun. Sementara itu egois berarti orang yang selalu mementingkan diri sendiri dan dalam filsafat berarti penganut egoisme (dengan definisi filsafat).

Ego yang terlalu tinggi mengakibatkan kita sulit menerima saran dan kritik dari orang lain. Selain itu ia juga mengakibatkan kita belum menemukan atau menerima kebenaran yang terkadang "berselisih" dengan hasrat sendiri. Maka dari itu, terkadang kita harus bersabar, menahan ego, mengendalikannya dan bersedia menerima orang lain sebelum akhirnya memutuskan sesuatu sendiri. Hal ini karena yang memutuskan menerima atau menyanggah sesuatu yang kita terima adalah diri kita sendiri dengan berbagai pertimbangan yang ada.

Jangan bersikap egoistis 

3. Mencari Kesalahan Orang Lain

Penulis pernah membaca dalil tentang mencari kesalahan orang lain (bersumber dari Al-Quran dan Hadis). Penulis juga teringat suatu ungkapan, setelah ditelusuri dan dicari-cari terdapat sebuah artikel dari Kompasiana.com terbitan 2011  yang kira-kira ungkapannya hampir mirip. Inti dari pencarian tersebut adalah :

Mencari Kesalahan Orang Lain

Berdasarkan apa yang penulis baca, kira-kira kesimpulannya adalah ketika ada seseorang yang melakukan banyak sekali kebaikan, kebaikan-kebaikan tersebut sering kali diabaikan dalam sesaat atau dibiarkan saja. Namun ketika pada suatu hari ada kesalahan yang dilakukan orang tersebut, justru itulah yang disorot khalayak ramai.

Kalau ada yang mengatakan itu memalukan, silakan :)

Tabiat kita sebagai manusia kurang lebih seperti itu, terutama di awal-awal mengenal orang lain. Sering kali ketika menemukan kekurangan orang lain kita melupakan hal-hal positif yang pernah kita kenali. Ketika kita terpengaruh bisikan-bisikan sesat, kita mencela, menghujat, berpaling dari orang tersebut. Di media sosial, hal ini juga sering terjadi (tidak perlu disebutkan kasus-kasus apa saja yang dimaksud).

Jelas tabiat tersebut merugikan kita. Jika kebiasaan mencari-cari kesalahan orang lain, kita lupa bahwa bukankah pada awalnya tidak mengenal orang tersebut sama sekali? Hujatan demi hujatan yang dialamatkan tidak dapat mengubah pribadi yang bersangkutan untuk menyadari kesalahannya, mungkin saja malah merasa tertekan atas kesalahan tersebut. Jika bukan dengan nasihat dan motivasi agar dapat memperbaiki kesalahan, apakah orang tersebut dapat berubah sesuai yang kita mau?

Jangan lupa, bahwa diri sendiri pun punya banyak kekurangan yang mungkin akan diperlakukan serupa jika terbongkar.

4. Literasi yang Tidak Utuh

Penyakit ini sedang mendemam di negeri kita. Mengapa? Karena sering kali ketika membaca, mendengar, menyimak, menonton atau menyaksikan sesuatu kita tidak mencernanya bulat-bulat. Sifat-sifat seperti tergesa-gesa, kurang cermat, rasa ingin cepat menyebabkan, salah memahami sesuatu, tidak memverifikasi (tabayun) dan klarifikasi, kurang paham dan kawan-kawannya mengakibatkan sesuatu yang harusnya dapat diselesaikan dengan baik malah menjadi kontroversi.

Semua orang dapat terjangkit penyakit ini.

Padahal sudah ada jargon "saring terlebih dahulu sebelum sharing" yang diterbitkan guna mengatasi literasi yang tidak utuh tersebut. Tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu mengakibatkan permasalahan lebih kompleks lagi. Mulai dari misinformasi, kritikan, perdebatan, kecaman, beredarnya hoaks, sindir-menyindir, balas berbalas, klarifikasi hingga ribut satu negeri. Keributan tersebut akan sulit hilang walau pun telah diklarifikasi, kecuali jika berbagai pihak bersedia memaafkan dan berdamai.

Catatan penting :

Dalam literasi ada pemahaman secara literal (teks) dan konteks. Suatu teks dapat diambil dari konteks dan suatu konteks dapat menjadi pertimbangan dalam memahami teks. Keduanya mesti sejalan.

5. Polarisasi dan Disintegrasi

Tentang polarisasi tidak penulis bahas lebih lanjut karena pengetahuan akan hal tersebut masih sedikit.

Tentang disintegrasi juga telah penulis bahas sebagian di sini.

Sayangnya, kondisi bangsa kita saat ini masih jauh dari kedamaian yang hakiki. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari biasa-biasa saja, namun pada konteks yang di luar sana keributannya terasa jelas. Entah karena apa perpecahan tersebut terjadi?

Bukankah kondisi yang majemuk justru harusnya dapat menjadi sarana persatuan?  Lalu .....

Mengapa kita tidak bersatu padu seutuhnya?

Mengapa masih terkungkung oleh pusaran pembedaan?

Mengapa perbedaan di antara kita pekat?

Konflik terjadi di mana-mana, baik karena faktor politis, ekonomi, sosial, agama dan lain-lain. Selain itu jika mengambil kacamata politik praktis hubungan pemerintahan dengan masyarakatnya merenggang, terlebih karena banyaknya kesalahan yang terjadi. Sikap seperti ini dapat menghambat kemajuan yang seharusnya mewujudkan tujuan nasional. Sikap seperti ini pula menyulitkan kita untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain.

6. Merasa Di Pihak yang Benar

Amit-amit kompetisi, siapa saja tentunya ingin berada di pihak yang benar. Masalahnya adalah pada suatu perdebatan atau yang sejenis semua pihak merasa pendapatnya benar. 

Siapa yang benar??

Kelompok A merasa mereka yang benar, kelompok B merasa mereka yang benar. Si C merasa pendapatnya yang benar. Si D tidak mau mengalah, katanya dia juga benar.

Kebenaran mutlak adanya di tangan Tuhan!

Kebenaran yang diambil manusia bersifat relatif. Boleh jadi suatu kelompok atau pendapat benar, boleh jadi juga salah. Jika menurut perspektif sendiri itu benar, belum tentu yang lain juga memandang benar.

Salah satu cara untuk menemukan kebenaran adalah menghadirkan solusi. Sesuatu harus dipertimbangkan baik dan buruknya tanpa mengedepankan ego yang tinggi. Kebenaran akan sulit ditemukan jika masih mengandalkan ego tersebut.

Jadi janganlah merasa di pihak yang benar karena petunjuk kebenaran adanya dari Tuhan. Sikap merasa diri paling benar, paling suci, paling unggul dan lain-lain membuahkan kesombongan, sedangkan bangsa yang unggul adalah bangsa yang warganya memiliki sifat rendah hati.

7. Mental Inlander

Mental Inlander sempat menjadi pembahasan di akhir 2021 lalu

Sering kali kita merasa bangsa lain di luar sana lebih maju, lebih baik, lebih unggul, lebih dan lebih. Sisi positif dari hal ini adalah dengan sifat tersebut kita bersedia belajar dari negara-negara lain baik budaya, sistem, teknologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Namun sisi negatifnya adalah kurangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang sebenarnya masih memiliki keunggulan tersendiri.

Mental seperti ini kurang cocok diterapkan jika ingin menjadi bangsa yang maju. Boleh belajar banyak hal dari negara lain namun seharusnya hal tersebut menjadi pemacu semangat untuk bangkit dan memajukan negara kita sendiri. Sumber daya manusia kita juga masih perlu di-upgrade. Penulis ingat ungkapan, "jangan sampai orang-orang hebat dari kita malah berhasil atau sukses di negara orang". Apalagi jika apa yang dihasilkan mereka malah tidak diakui di negeri sendiri. Sudah sepatutnya kita memberi apresiasi kepada para penggerak kemajuan zaman dan para pengukir prestasi dan buang mental tidak percaya diri sebagai bangsa yang sebenarnya bisa menjadi unggul.

Jangan hanya sibuk berkutat dengan membicarakan masalah di dalam negeri. Perlu ada pemikiran untuk "move on" dari sana dan bersedia bersatu memajukan negeri.

[Penulis menyarankan agar kita sama-sama mencari lebih banyak lagi tentang mental inlander]

Itulah secuil hal-hal yang perlu dihilangkan dari bangsa kita. Semoga kita mampu bersikap dewasa dalam menghadapi permasalahan yang kompleks. Marilah kita bersedia merenungi kekurangan dan kesalahan kita, tanpa mengedepankan perasaan dan  sikap yang melunturkan kebaikan. Kebenaran mutlak adanya di tangan Tuhan. Boleh jadi opini ini ada benarnya atau  salah, sehingga mohon dimaafkan.

Salam damai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun