Mohon tunggu...
Cerpen

Hujan Melodi

19 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 20 Maret 2017   16:00 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Melodi, jika kita mendengar kata ini pasti akan terbayang deretan nada yang membentuk suatu irama yang tersusun rapi. Tapi bukan untuk yang satu ini, dia adalah alasanku untuk hidup. Benar, Melodi adalah nama seorang perempuan yang telah menjadi temanku sejak kecil. Dia selalu menemaniku setelah perginya kedua orang tuaku di sebuah kecelakaan saat aku masih berumur tujuh tahun. Wanita yang seumuran denganku ini tinggal bersama kedua orang tuanya, pak Oktarian dan bu Febby. Sayangnya, kedua orang tua Melodi meninggal saat ia duduk di bangku SMA tiga tahun silam. Sekarang aku yang akan bertanggung jawab penuh atas dirinya.” Tulisku di buku harian sembari menunggu Melodi yang sedang piket kelas.

“Dan, sudah selesai. Ayo jalan pulang.” Melodi keluar dari kelasnya dengan tangan yang kotor bekas tinta.

Waktu terasa berhenti, angin berhembus semilir, daun berterbangan melewati arah pandangku ke Melodi saat aku memandangnya. Serasa seperti dalam sinetron.

“Baiklah” balasku sembari menutup buku harianku. “Lama sekali kau piketnya? Sampai berlumut aku menunggu.”

“Hihi, sudah ayo jalan, keburu hujan” Ia mengangkat tas berwarna hitam dengan garis putih melingkari setiap jahitan tasnya. “Banyak bicara kamu ya.” Tangan bekas tintanya dioleskan ke wajah dan merucut di ujung mulutku sampai ada banyak bekas tinta memenuhi wajahku.

“Hei!! Asem lah!!” ujarku setelah menerima tinta dari tangannya. “Nih balasan dariku.” Aku memegang tangannya dan aku balas ke wajahnya sembari bercanda dan tertawa.

Inilah kehidupanku, kehidupan seorang mahasiswa yatim piatu yang hidup sebatang kara. Semenjak kedua orang tuaku meninggal, Melodi sering menemaniku menjalani aktivitasku sehari-hari. Biaya makan dan lain-lain aku dapat dari hasil memenangkan lomba musik instrumen biola. Walau terkadang orang tua Melodi juga menyedekahkan beberapa hartanya untukku. Semenjak orang tua Melodi meninggal, kami benar-benar dituntut untuk hidup mandiri.

Namaku Dana, aku bukanlah orang yang suka banyak bergaul, sama seperti Melodi. Aku hampir tidak memiliki teman, hanya Melodi menurutku. Bukan karena aku anak pendiam atau apapun, tapi karena aku takut kehilangan mereka. Aku sudah cukup merasakan kehilangan yang mendalam, terutama kedua orang tuaku dan kedua orang tua Melodi yang juga mengasuhku. Dari semua yang ada di dunia ini, hanya Melodi dan biola sepeninggal ayahlah yang menemani keseharianku. Bicara soal biola, aku adalah seorang pemain biola. Alat musik warisan dari ayah ini membuatku penasaran untuk memainkannya, sehingga aku mempelajarinya saat aku masih berumur tujuh tahun. Sudah banyak piagam, medali, dan piala yang aku dapatkan dari kejuaraan alat musik. Bukan bermaksud sombong, tapi semuanya aku mendapat juara satu.

Malam telah tiba, malam ini adalah malam minggu. Waktu yang pas untuk beristirahat dan berhenti memikirkan tugas kampus yang tiada jedanya.

“Besok adalah hari minggu, apa sebaiknya aku jalan-jalan ya?” kataku setelah meneguk segelas air putih.

“Kring, kring, kring.” Terdengar suara nada pesan keluar di handphoneku. Tertulis di situ “Melodi”

“Aku bosan. Maukah kau jalan denganku besok? Aku ingin pergi ke ladang rumput di bukit dekat pasar. Sekalian traktir aku ya? Hihihi.”

“Baru saja ingin berencana untuk pergi dengannya, ehh ternyata malah sudah dia ajak duluan.” Kataku dalam hati sambil tersenyum.

“Baiklah, aku tunggu di taman pukul 06.15 pagi. Ingat jangan sampai bikin aku berlumut lagi.” Balasku sambil tertawa sendiri dalam dapur.

Sambil menunggu balasan dari Melodi, aku berjalan ke kamar untuk berbaring di kasur. Kasurku terasa sangat empuk setelah menghadapi keseharian mahasiswa yang dipenuhi dengan tugas. Aku mencoba menutup mata agar tubuhku bisa rileks.

Aku menatap langit-langit kamarku dan tersenyum

“Jadi tidak sabar menunggu besok.” Kataku sambil memejamkan mata

Semua menjadi gelap, kegelapan ini membantuku mempercepat waktu. Tanpa terasa ada cahaya terang yang menghapus semua kegelapan ini, dan itu adalah sinar matahari pagi yang ternyata lebih dulu bangun.

Aku terhentak kaget dan langsung melihat jam. Ternyata sudah pukul 06.30 pagi.

“Bah, sial aku terlambat.” Kataku sambil tergesa-gesa beranjak dari kasur hingga aku terpeleset dan kepalaku membentur meja.

Shit!!” Ujarku kesal karena kecelakaan ini. Terasa ada benjolan di pelipis kanaku. Semoga ini bukan pertanda kalau hari ini adalah hari sialku.

Aku secepatnya mengambil pakaian, tas, dompet, dan handphoneku. Setelah semua siap, aku langsung berangkat menuju taman yang telah kita sepakati.

Hari ini cuacanya cerah, matahari bersinar terang, burung berkicau sana-sini, banyak awan putih menghiasi langit, dan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Aku rasa hari ini akan menjadi hari yang cukup menyenangkan bagiku.

Akhirnya aku sampai di taman yang telah kami berdua tentukan. Aku menarik nafas panjang dan mencoba memikirkan apa yang sebaiknya aku katakan pada Melodi.

“Hmm, apa yang harus aku bahas dengannya ya? Aku tidak mau hari ini menjadi hari yang membosankan baginya.” Gumamku sendirian duduk di tengah taman dibawah tempat teduh yang sejuk.

Aku mencoba berfikir keras untuk mendapatkan ide bahasan hari ini.

“Kamu kemarin ngapain aja? Ahh tidak. Kamu sudah sarapan? Ahh tidak. Kamu cantik sekali hari ini. Ahh tidak juga. Aduh bingung.” Aku bergumam tak jelas sambil menunggu datangnya Melodi.

“Kenapa aku gugup ya? Ini kan cuma jalan-jalan biasa.” Ujarku dengan nada tinggi pada diriku sendiri. Entah kenapa hatiku tidak bisa berbohong kalau ini tidak akan menjadi jalan-jalan yang biasa.

Lama sekali aku menunggu, sudah jam 08.00 rupanya. Aku penasaran kenapa Melodi terlambat. Aku mencoba melihat handphone yang ada di tasku.

“Hai!” Melodi mengagetkanku dari belakang dengan menepukkan tangannya di pundakku saat aku mencoba meraih handphoneku.

“Ihh, bikin kaget saja. Kenapa kau terlambat?” kataku dengan nada agak meninggi.

“Hah, aku terlambat? Kau yang datang lebih awal, kemarin malam kan aku balas bahwa aku bisanya jam 08.00? Apa kau tidak membacanya?” Melodi kaget dan tertawa akan hal itu “Lagian apa yang terjadi dengan benjolan di kepalamu itu?” Dia menertawakanku dan menyentuh benjolan itu.

“Aww, sakit.” Responku spontan menutupi benjolan itu agar tidak disentuh oleh Melodi.

“Coba kau lihat pesan di handphonemu.”

Aku meraih handphoneku dalam tas. Aku membuka password handphoneku dan muncul notifikasi pesan dari Melodi.

Aku hanya bisa cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepalaku.

“Sebenarnya aku tertidur sebelum chatmu sampai di handphoneku. Saat aku bangun, jam menunjukkan pukul 06.30 pagi, jadi aku terburu-buru beranjak dari tempat tidur tanpa sempat membuka handphone karena aku kira aku terlambat datang. Sampai-sampai aku terpeleset dan kepalaku terbentur meja.” Wajahku memerah karena malu telah bertingkah konyol.

“Bah, itu bukan salahmu Dana. Lagian tidak ada yang menyangka bahwa hal ini akan terjadi.” Melodi terlihat menahan tertawanya dan mengacak-acak rambutku yang sudah rapi.

“Hey!! Aku bukan anak kecil ya?!” aku salah tingkah dan malah berlaku konyol di depan Melodi

“Sudahlah sudah, lebih baik kita segera berangkat sebelum matahari menyengat kulitku dan berubah menjadi coklat seperti kulitmu itu.” Dengan masih menahan tertawa, dia mencoba menjailiku dengan berbagai ejekannya.

“&*%##@$#^*&^$” aku hanya bisa menggerutu akan hal ini.

Kami memutuskan untuk segera berjalan menuju tempat yang kami tuju, yaitu ladang rumput di bukit dekat pasar. Cuaca hari ini sangat mendukung, matahari bersinar menghangati kota setengah desa yang kecil ini. Selain itu, banyak burung yang terbang dan berkicau menemani perjalanan kami menuju bukit. Awan putih yang ada di langit membisik kepadaku bahwa hari ini akan cerah seterusnya. Jadi aku tidak ragu untuk berlama-lama dengan Melodi.

Kami berjalan melewati beberapa minimarket dan pasar. Saat ada promo es krim terpajang di salah satu minimarket, saat itulah uang dalam dompetku dikuras oleh Melodi. Tapi aku senang, walau uangku hilang, yang penting tali hubungan kami berkembang.

Sampailah kami di tempat yang kami tuju. Terdapat satu pohon besar tepat di atas bukit yang dipenuhi rumput yang hijau berkilau karena pancaran sinar matahari. Kami memutuskan untuk duduk berteduh di bawah pohon yang besar itu. Sungguh sejuk berteduh di bawah pohon yang besar ini. Ditambah lagi memakan es krim yang totalnya ada satu lusin dibeli Melodi. Sedih, tapi senang.

“Dan, lihat!” dia menunjukkan cincin yang bagiku terlihat biasa saja.

“Nemu di mana?” balasku dengan nada cuek.

“Enak saja nemu! (dengan sedikit ada jeda dengan menghela nafas dan ekspresi wajah berubah) Ini adalah peninggalan keluargaku.” Seketika suasana berubah menjadi hening dan agak tidak enak rasanya aku telah melukai perasaan Melodi.

“(dengan agak kaku aku mencoba meminta maaf) Maafkan aku.” Aku merasa bersalah atas hal ini.

“Tidak apa-apa, aku juga membawa ini.” Dia menunjukkan dua foto, yang pertama fotonya, dan kedua foto kedua orang tuanya. “Aku merasa ada yang aneh dengan dua foto ini, entah kenapa wajahku seakan-akan tidak mirip dengan mereka berdua”

“Mungkin hanya perasaanmu saja. Coba sini aku lihat.” Aku meraih kedua foto itu dari tangan Melodi.

Memang terlihat jelas di foto itu bahwa tidak ada kemiripan antara Melodi dan mereka berdua.

“Apa mereka bukan orang tuaku yang sebenarnya ya?” Melodi bergumam pelan sambil menatap awan putih yang ada di langit.

“Hush!! Jangan berkata begitu, apa kamu yakin kata-katamu itu tidak akan melukai mereka berdua yang sudah bahagia berada di surga?” hentakku kepada Melodi.

“Bukan bermaksud begitu, aku hanya ingin menceritakan apa yang sebenarnya aku pendam selama ini. Soalnya pernah aku bermimpi tentang seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan cantik. Mereka berdua sudah memiliki benih dalam perut sang ibu. Namun saat sang ibu mau melahirkan sang ayah malah pergi dengan wanita selingkuhannya.” Cerita ini menyentuh perasaanku. Jelas terpampang di muka Melodi bahwa ia beranggapan bahwa benih yang ada di dalam perut sang ibu adalah dirinya.

“Sudahlah (aku mengelus-elus punggungnya). Jika memang hal itu yang terjadi, pasti ada alasan mengapa Tuhan merencanakan semua ini. Pasti ada hikmah yang terpendam dalam peristiwa ini. Entah ini akan menjadi sebuah kebahagiaan yang manis, maupun sebuah kesedihan yang dapat diambil makna dari semua ini.” Kataku bijak sambil berusaha menenangkan hari Melodi.

“Nih buat kamu.” Aku ambilkan es krim yang Melodi beli tadi saat di perjalanan kemari.

“Makasih Dan. Walau demikian, setidaknya masih ada kamu.”

Waktu terasa berhenti, detak jantungku terasa, angin meniup rambut Melodi dan membuatku terpesona akan penampilannya, dan kata-katanya barusan bagaikan pengumuman bahwa aku mendapat golden tiket untuk memasuki suatu bangunan bertuliskan kata “Bahagia”.

Aku tersenyum manis kepadanya dan mencoba mengacak-acak kecil rambut Melodi.

“Iya Mel.” Aku memberanikan diri untuk membalas kata-kata Melodi walau wajahku memerah.

Kami menikmati es krim yang sudah kami ganti dengan sebagian uangku di minimarket tadi. Rasanya hidup di dunia ini membahagiakan. Semua kesedihan yang memenuhi hariku terasa berhenti sejenak dan diganti dengan kebahagiaan yang tiada tara.

Melodi berdiri dengan gayanya yang seperti anak kecil yang hiperaktif

“Hahh?” kata Melodi dengan wajah seperti melihat hantu. Tiba-tiba Melodi kehilangan keseimbangan dan jatuh tergeletak.

Suasana bahagia berubah menjadi suasana sedih yang memilukan. Aku tahu Tuhan merencanakan semuanya dengan baik, tapi menurutku bukan seperti ini yang baik. Kebahagiaanku yang sementara langsung diganti dengan kekhawatiranku kepada kondisi Melodi yang belum pasti keadaannya.

Setelah sekian lama aku tidak menemui suasana ini, suasana dimana banyak orang berjalan kesana-kesini terlihat khawatir dengan kondisi keluarga dan sahabatnya yang sedang dirawat. Ya, inilah suasana rumah sakit. Terakhir kali aku datang ke rumah sakit adalah saat orang tuaku dirawat kritis, dan sekarang aku kembali merasakannya.

Dokter keluar dari ruang rawat Melodi

“Bagaimana keadaan Melodi, dok?” tanyaku dengan muka seperti kehilangan alasan untuk hidup.

“Keadaan Melodi sedang tidak baik, dia divonis terkena penyakit gagal sumsum tulang belakang yang menyebabkannya kehilangan keseimbangan untuk waktu tertentu. Biarkan dia beristirahat terlebih dahulu, jangan bangunkan dia.” Kata dokter dengan nada rendah seperti sedang turut berduka dengan kondisi Melodi.

“Baiklah dok.” Jawabku singkat karena tidak tahu harus bertanya apa lagi.

“Jagalah dia. Aku tahu ini pasti sangat berat bagimu dan baginya. Aku juga tahu kalau dia pasti sedang sangat membutuhkanmu. Kita akan segera melakukan operasi.”

“Operasi? Saya sedang tidak memiliki dana dok.”

“Maaf, tapi itulah cara agar dia tetap bisa bertahan. Kami akan mengadakan operasi sekitar 3 sampai 5 hari lagi tergantung pada situasi Melodi.”

“Tapi?” aku seperti tidak terima dengan perkataan dokter tersebut. “Baiklah saya akan mencari dana dengan segenap kemampuan saya. Saya ingin Melodi selamat berapapun biaya yang dibutuhkan.”

“Akan kami usahakan semaksimal mungkin, untuk sisanya berdoalah kepada Tuhan. Permisi.” Dokter itu pergi meninggalkanku untuk merawat pasien yang lainnya.

Aku berjalan masuk dan melihat Melodi sedang duduk dengan air mata yang mengalir di pipinya.

“Aku mendengar semua percakapanmu dengan dokter itu.” Ujar Melodi dengan nada putus harapan

“Jangan khawatir Mel, aku akan mencarikan dana sebanyak mungkin agar kamu bisa sembuh.” Jawabku kepadanya berharap agar dia tenang.

Melodi hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa.

“Percayalah padaku, kita akan berhasil melewati cobaan ini.” Ucapku sambil memegang erat tangan kanannya.

Wajah Melodi yang selalu riang dan ceria sekarang berubah menjadi wajah putus harapan.

“Ada kejuaraan para violinist di negara tetangga. Jika aku memenangkan kejuaraan itu, aku bisa melunasi biaya untuk operasimu.” Aku meneteskan air mata, aku tahu sebagai seorang pria menangis adalah hal yang memalukan. Tapi aku merasa takut akan kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku. Aku sudah pernah kehilangan orang yang berarti. Inilah ketakutanku untuk memiliki seorang teman, aku takut mereka pergi.

“Bawalah ini menuju kejuaraan itu.” Ia memberikan cincin spesialnya dan memasangnya di jari manis kananku

“Baiklah, aku akan memenangkan kompetisi itu.” Aku mengusap air mata yang ada di kedua pipi Melodi.

“Terimakasih Dan.” Dengan nada seperti orang yang kembali menemukan semangat hidupnya, ia berterimakasih kepadaku dan mengusap balas air mata yang ada di pipiku. Walau sedikit kebesaran, aku nyaman memakai cincin Melodi yang spesial ini.

Aku berangkat pada hari dimana semua harapan untuk membawa kembali kesehatan Melodi muncul. Hanya dengan modal paspor, dompet, beberapa potong pakaian, dan biola ayahku, aku berangkat ke tempat dimana harapan itu bisa dipetik. Ya, lokasi dimana kompetisi diadakan. Untuk pertama kalinya aku berangkat sampai ke luar negeri untuk mengikuti kompetisi musik. Walau sedikit gugup, tapi aku yakin akan berhasil menggapai apa yang aku inginkan.

Tanpa rasa ragu, saat namaku dipanggil untuk menuju ke panggung, aku berjalan dengan percaya diri dan berharap hari ini akan berjalan lancar. Lagipula aku membawa cincin spesial Melodi. Aku mulai menapakkan langkah pertamaku saat masuk ke panggung.

“Ini dia, aku akan bersinar di sini.” Kataku dalam hati saat berjalan di atas panggung.

Terlihat ada 3 juri yang siap memberiku keputusan untuk menjadi yang terbaik atau bukan.

“Ting . . Ting . . Ting” cincin Melodi yang kebesaran di tanganku terjatuh secara tiba-tiba.

Shit!!” kataku pelan sambil mengambil cincin yang jatuh tepat ditengah panggung dan langsung memakainya lagi.

Aku kira dengan jatuhnya cincin Melodi, ini akan menjadi pertanda kesialanku hari ini. Namun ternyata bukan, justru penampilanku sangat memukau dan berhasil membuat semua penonton dan juri berdiri serta memberikan tepuk tangan. Setelah memberi hormat tanda penampilan selesai, terdengar ada suara bel tanda istirahat sebelum penampilan selanjutnya dimulai.

Aku berjalan di lorong dan menuju tempat istirahat.

“Nak Dana!!” ada yang meneriaki namaku, aku menoleh ke belakang dan terlihat seorang bapak yang merupakan salah satu juri tadi.

“Datanglah mendekat.” Ucapnya dari kejauhan. Aku penasaran ada apa, sehingga aku putuskan untuk mendekat.

“Ada apa pak?” tanyaku penasaran.

“Aku ingin melihat cincinmu yang jatuh tadi.” Aku menjulurkan tanganku kepada bapak tersebut

“Dimana Melodi?” tanya bapak tersebut. Spontan aku kaget dengan pertanyaan bapak juri itu.

“Bapak siapa?” tanyaku kepada juri itu.

“Nama bapak Jefri. Bapak adalah ayah asli dari Melodi. Kamu pasti orang yang berharga bagi Melodi”

“Asli? Apa maksudnya?” dengan kebingungan aku bertanya pada pak Jefri.

“Baiklah, mungkin inilah saatnya kamu mengetahui semuanya. (sedikit menghela nafas) Sebenarnya dulu saya menikah dengan seorang perempuan bernama Chelsea.”

Aku memotong kalimat bapak itu, “Tapi ibu Melodi bukan bernama Chelsea, melainkan Febby, dan nama ayahnya adalah Oktarian.”

“Jadi begitu, (terdiam sesaat)”

“Jadi apa maksudnya?” tanyaku makin penasaran

“Biar bapak luruskan semuanya. Dulu, bapak menikah dengan Chelsea. Saat Ibu Melodi mengandungnya, bapak pergi dengan selingkuhan bapak menuju negara ini. Sejujurnya bapak menyesal telah meninggalkan Chelsea dan calon anakku Melodi. Bapak benar-benar bodoh telah melakukan hal ini. Terlebih lagi, selingkuhan bapak telah pergi juga meninggalkan bapak, seperti yang bapak lakukan terhadap istri bapak, Chelsea. Bapak ingin kembali menuju Chelsea tapi mungkin ini akan menjadi ide yang buruk. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk hidup sendirian di negara ini.” Bapak itu mengatakan hal ini dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tapi nama ibu Melodi adalah Febby.”

“Apakah Febby mirip dengan Melodi?” tanya bapak itu kepadaku. Aku teringat saat aku bersama Melodi di bukit. Benar, tidak ada kemiripan antara Melodi dengan kedua orang tuanya yang aku kenal.

“Chelsea pasti sudah menitipkan anaknya kepada orang lain. Ini adalah foto Chelsea.” Ditunjukkan kepadaku foto seorang perempuan muda yang wajahnya mirip sekali dengan Melodi. Setelah aku perhatikan baik-baik, mata dan pola wajah pak Jefri juga mirip dengan Melodi.

“Kurang ajar (aku memukul wajah bapak itu keras-keras dengan air mata yang keluar dari mataku). Berani sekali bapak membawa penderitaan bagi Melodi. Sekarang ia divonis mengidap penyakit gagal sumsum tulang belakang. Saya mengikuti kompetisi ini untuk mencari uang sebagai dana ia operasi. Operasinya akan segera dilaksanakan karena kondisinya sedang kritis.” Aku berteriak keras dengan air mata yang memancar keluar dari mataku.

“(dengan juga meneteskan air mata) Bapak pantas menerima hal ini. Tapi bapak mohon kepada nak Dana, antarkan bapak kepada Melodi.” Pak Jefri memohon dengan wajah yang terisi oleh harapan untuk bertemu anaknya yang telah ia tinggalkan.

“Baiklah.” Aku mengusap kedua air mataku dan dengan berat hati aku menerima permohonan Pak Jefri

“Terimakasih nak Dana.” Bapak itu berterimakasih dengan wajah senang dan penuh harapan agar bisa kembali lagi ke anak kandungnya.

“Sama-sama pak.”

Semua yang aku rencanakan telah berjalan sesuai rencana, yang paling aku senangi adalah aku berhasil menjadi juara pertama dalam kompetisi itu. Akhirnya dengan jerih payahku, aku berhasil membawa uang sebagai dana untuk operasinya. Uang ini sangat banyak, bahkan lebih dari biaya untuk operasi Melodi.

“Uang ini memenuhi dompetku. Setelah operasi Melodi, apa saja ya yang akan aku lakukan dengan uang sebanyak ini?” aku bergumam di dalam pesawat bersama pak Jefri yang ingin bertemu anaknya

“Mungkin kamu bisa menikahi Melodi.” Kata pak Jefri dengan wajah dan nada tulus

“Hee?? Aku belum siap.” Dengan menahan senyum dan pura-pura menolak aku berkata demikian.

“Kamu anak yang baik nak Dana, walau belum menikah saja kamu sudah rela berkorban demi Melodi.” Bapak itu merayuku untuk segera menikahi Melodi

“Emm (aku berfikir sejenak), mungkin bapak benar, entah kenapa seakan-akan Melodi adalah alasanku untuk hidup.” Kataku dengan wajah agak merenung dan dengan wajah yang seakan-akan merindukan Melodi yang beberapa hari ini tidak bertemu.

“Nah itu yang bapak inginkan.” Pak Jefri langsung menjabat tanganku dengan tertawa seakan-akan ia berhasil membujukku untuk menikahi anaknya.

Aku tersenyum dan menahan tertawa melihat tingkah bapaknya Melodi ini.

“Apa tidak ada pesan dari Melodi, calon menantuku?” kata pak Jefri.

“Benar kan dia senang karena berhasil membujukku. Dasar!! Sudah panggil aku calon menantu aja” kataku dalam hati

“Eemm belum pak. Sepertinya dia sedang beristirahat di ruangannya.” Kataku dengan ekspresi mata agak jengkel.

“Semoga dia baik-baik saja.” Ucapnya dengan wajah penuh harapan.

“Amiin.” Aku berdoa dengan sungguh-sungguh untuk kesembuhan Melodi.

Tibalah kami di bandara pukul 08.00 pagi. Entah mengapa hari yang membahagiakan bagiku ini malah turun hujan yang lumayan deras. Tidak biasa di kota yang setengah desa ini turun hujan yang sangat lebat, berangin, dan bahkan banyak petir yang menyambar. Walau hujan deras, kami berdua akan tetap segera menuju ruang perawatan Melodi.

Di perjalan menuju rumah sakit, aku selalu terbayang-bayang wajah dan ekspresi Melodi yang akan senang melihat aku berhasil membawa dana untuk dia operasi. Di tengah perjalanan, aku melihat ada kucing hitam dengan mata warna biru yang begitu menarik perhatianku. Di kota setengah desa ini mempercayai bahwa bila ada kucing yang demikian terlihat maka akan ada hal spesial dan istimewa akan terjadi. Aku semakin semangat untuk bertemu Melodi.

Setelah sampai di rumah sakit, aku berlari ingin bertemu Melodi, entah kenapa hatiku sangat gembira dan ingin sekali bertemu dengannya. Saat aku memasuki rumah sakit, karena terlalu bersemangat aku sampai menabrak beberapa suster yang mengantarkan mayat yang sudah siap untuk dikebumikan. Tanpa banyak berkata, aku langsung meminta maaf dan lanjut berlari menuju ruangan Melodi. Aku melihat dokter yang aku janjikan akan aku cari dana untuk operasi Melodi 3 hari yang lalu. Lantas aku langsung menemuinya.

“Dokter, aku membawa dana operasi untuk Melodi.” Kataku dengan agak berteriak karena aku sangat gembira.

“. . . “ dokter terdiam dan terlihat seperti mengambil sesuatu dari sakunya.

“Ini surat dari Melodi.” Ujar dokter itu.

“Nak Dana!!” ayah Melodi berteriak dan lari dari belakangku, dia begitu lambat. “Surat apa itu?”

“Silahkan dibaca, permisi.” Dokter tersebut pergi meninggalkan aku, ayah Melodi, dan surat yang diberikan dokter itu dari Melodi.

“Ayo dibuka nak!!” kata ayah Melodi.

“Nanti saja, aku ingin segera bertemu Melodi.” Ujarku kepada ayah Melodi.

Aku berlari menuju ruangannya dan akhirnya sampai tepat di depan ruangan rawat Melodi. Tanganku bergetar, jantungku berdetak kencang, dan keringat mengalir dari tubuhku. Dengan menghela nafas panjang, aku memberanikan diri untuk membuka pintu itu.

“Hai Melodi, apa ka... bar?” aku terkejut. Tidak ada Melodi di dalam. Hanya ada seorang suster yang merapikan tempat tidur Melodi.

Aku tersenyum kepada suster dan bertanya, “Sus, Melodi dimana?” tanyaku kepada suster dengan spekulasi Melodi sedang dioperasi.

“Melodi telah meninggal, dia baru saja dikirim ke pemakaman untuk dimakamkan.”

Dengan senyumku yang masih lebar, air mata memancar secara tiba-tiba dari mataku.

“Melodi!!” terdengar suara ayah Melodi yang sedang berlari.

“Nak Dana, dimana dia?” tanya ayah Melodi dengan polosnya yang tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

Aku tidak menghiraukan ayah Melodi dan langsung berlari menuju pemakaman dimana Melodi dikebumikan. Hujan begitu deras, bahkan rintikan air hujan ini terasa sakit saat menyentuh kulitku. Dengan air mata yang bercampur air hujan membasahi mukaku, aku berlari dengan kencang menuju makam Melodi. Terlihat ada tenda yang dibangun untuk mempermudah proses pemakaman Melodi. Aku mempercepat lariku di tengah hujan dan angin yang berhembus kencang. Tepat saat aku datang, tanah telah menjadi jarak antara aku dan Melodi.

Aku membuka suratnya di bawah tenda pemakamannya.

“Dana, aku sangat bangga kepadamu. Saat kamu membaca surat ini, pasti kamu sudah berhasil membawa semua kebahagiaan bersamamu untuk menemuiku. Aku percaya bahwa kamu pasti tidak pernah mengira hal ini akan terjadi. Aku mengenalmu lebih dari siapapun. Aku juga tahu bahwa ada kabar gembira yang akan datang bersamamu. Tapi, maafkan aku. Aku sudah berangkat mendahuluimu. Maafkan aku yang telah membuatmu merasakan kehilangan yang benar-benar kamu benci seperti kehilangan kedua orang tuamu saat kamu berumur tujuh tahun. Aku harap, Tuhan memberikan waktu yang spesial untuk kita menghabiskan waktu. Namun, sepertinya Tuhan memiliki rencana yang lebih baik daripada doaku. Mungkin memang bukan takdir kita untuk bersama. Jadi jangan menyalahkan takdir. Berjanjilah padaku, untuk tidak menangis. Laki-laki harus kuat, tidak boleh kalah dengan perempuan. Aku mencintaimu lebih dari siapapun. Salam hangat, Melodi.”

“Apa kau bodoh?(aku menahan senyum dengan air mata di pipiku) Dunia ini saja menangis karena kehilanganmu. Aku tidak mungkin bisa membendung air mata ini.” Kataku sambil menggenggam cincin yang diberikan Melodi kepadaku sambil menghela nafas panjang.

Aku menangis di depan makam Melodi, menangis seperti derasnya hujan ini. Hujan Melodi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun