“Dan, lihat!” dia menunjukkan cincin yang bagiku terlihat biasa saja.
“Nemu di mana?” balasku dengan nada cuek.
“Enak saja nemu! (dengan sedikit ada jeda dengan menghela nafas dan ekspresi wajah berubah) Ini adalah peninggalan keluargaku.” Seketika suasana berubah menjadi hening dan agak tidak enak rasanya aku telah melukai perasaan Melodi.
“(dengan agak kaku aku mencoba meminta maaf) Maafkan aku.” Aku merasa bersalah atas hal ini.
“Tidak apa-apa, aku juga membawa ini.” Dia menunjukkan dua foto, yang pertama fotonya, dan kedua foto kedua orang tuanya. “Aku merasa ada yang aneh dengan dua foto ini, entah kenapa wajahku seakan-akan tidak mirip dengan mereka berdua”
“Mungkin hanya perasaanmu saja. Coba sini aku lihat.” Aku meraih kedua foto itu dari tangan Melodi.
Memang terlihat jelas di foto itu bahwa tidak ada kemiripan antara Melodi dan mereka berdua.
“Apa mereka bukan orang tuaku yang sebenarnya ya?” Melodi bergumam pelan sambil menatap awan putih yang ada di langit.
“Hush!! Jangan berkata begitu, apa kamu yakin kata-katamu itu tidak akan melukai mereka berdua yang sudah bahagia berada di surga?” hentakku kepada Melodi.
“Bukan bermaksud begitu, aku hanya ingin menceritakan apa yang sebenarnya aku pendam selama ini. Soalnya pernah aku bermimpi tentang seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan cantik. Mereka berdua sudah memiliki benih dalam perut sang ibu. Namun saat sang ibu mau melahirkan sang ayah malah pergi dengan wanita selingkuhannya.” Cerita ini menyentuh perasaanku. Jelas terpampang di muka Melodi bahwa ia beranggapan bahwa benih yang ada di dalam perut sang ibu adalah dirinya.
“Sudahlah (aku mengelus-elus punggungnya). Jika memang hal itu yang terjadi, pasti ada alasan mengapa Tuhan merencanakan semua ini. Pasti ada hikmah yang terpendam dalam peristiwa ini. Entah ini akan menjadi sebuah kebahagiaan yang manis, maupun sebuah kesedihan yang dapat diambil makna dari semua ini.” Kataku bijak sambil berusaha menenangkan hari Melodi.