Mohon tunggu...
Raden Justin Dhia Ingram
Raden Justin Dhia Ingram Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Menulis Penelitian Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Realita Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesia

21 Desember 2022   14:00 Diperbarui: 21 Desember 2022   14:08 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

REALITA PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 

DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Pengertian hak asasi manusia pertama kali dipaparkan oleh John Locke sebagai hak yang melekat sejak kita lahir yang secara kodrati tidak dapat diganggu gugat karena akan selalu melekat pada diri manusia. John Locke mencetuskan bahwa manusia memiliki tiga hak yang mutlak dan tidak akan bisa dihapus, yaitu kehidupan, kebebasan, dan kemakmuran. Manusia mempunyai tiga jenis hak asasi, yaitu antara lain adalah hak untuk hidup, hak untuk merdeka dan bebas, serta hak atas kepemilikan terhadap sesuatu. 

Hak asasi manusia pertama kali lahir dalam sebuah peraturan tertulis yang dibuat pada tahun 1215 pada masa pemerintahan Raja John II di Inggris dalam bentuk Magna Carta yang diyakini sebagai cikal  bakal dari hak asasi manusia itu sendiri.  Seiring dengan perkembangan zaman, pembahasan tentang apa saja yang termasuk hak asasi manusia semakin meluas sesuai dengan kebutuhan tiap negara juga. Contohnya, Deklarasi Perancis 1789 yang hadir setelah peristiwa Revolusi Perancis untuk menghapus pemerintahan yang bersifat monarki absolut dan menafikkan kesejahteraan rakyat.

 Merujuk pada hukum Internasional pada zaman modern, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merilis Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1947. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa setiap negara wajib memberi jaminan sosial dan hak hak untuk warga negaranya sebagai anggota masyarakat yang bermartabat melalui pendekatan usaha nasional maupun perjanjian internasional. Dengan kata lain, negara wajib melindungi hak asasi manusia warganegaranya serta menjaminnya. 

 Pelanggaran hak asasi manusia sudah kian terjadi seiring dengan perkembangan zaman, meskipun definisi dari pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Contohnya, pada zaman dahulu hukuman mati dilakukan dengan cara memenggal kepala terdakwa dan peristiwa tersebut terbuka untuk disaksikan secara publik, sementara sekarang hal itu dianggap tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Adapun klasifikasi dari pelanggaran HAM itu sendiri yaitu pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

 Pelanggaran hak asasi manusia berat atau pelanggaran HAM berat meliputi dua hal, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan tidak manusiawi yang bertujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan suatu kelompok, baik itu kelompok agama, kelompok ras, kelompok politik, dan lain-lain. Kejahatan genosida menurut Undang Undang dapat berupa pembunuhan, penyebab penderitaan fisik, pemaksaan, dan lain - lain. 

Sebagian besar kasus kejahatan genosida yang pernah terjadi di Indonesia terjadi sebelum Indonesia merdeka, seperti Peristiwa Pembantaian Westerling pada tahun 1947 atau genosida pembangunan Jalan Raya Pos (Pantura) pada tahun 1808-1811. Ada pun kasus kejahatan genosida yang terjadi setelah kemerdekaan yaitu kasus pembantaian kepada orang orang yang dituduh sebagai komunis pada tahun1965-1966 dan memakan 500.000 korban jiwa.

Pelanggaran hak asasi manusia berat kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang bentuknya dapat berupa pembunuhan, perbudakan, pemusnahan, pengusiran paksa, perampasan kemerdekaan/kebebasan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang, dan kejahatan apartheid. 

Contoh kasus pelanggaran HAM berat kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus misteri pembunuhan Munir Said Thalib sebagai seorang aktivis pejuang HAM yang terbunuh akibat racun arsenik di tubuhnya ketika ia sedang berada di pesawat dalam perjalanannya menuju Amsterdam di pesawat.Pembunuhan ini tetap menjadi misteri dan tidak terselesaikan siapa pembunuhnya.

 Kasus Munir mencapai masa kadaluwarsa setelah 18 tahun lewat, yaitu pada tahun 2022. Setahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 2021, banyak pihak yang mendesak agar kasus Munir Said Thalib ditetapkan menjadi kasus pelanggaran HAM berat, bukan semata mata tindak pidana pembunuhan biasa. Padahal, kasus hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat tidak boleh mencapai masa kadaluarsa atau dihentikan karena dianggap sudah kadaluarsa.

Pelanggaran HAM berat di tanah air Indonesia tidak hanya terjadi dalam kasus pembunuhan Munir saja, tetapi banyak sekali kasus - kasus yang belum terselesaikan dengan layak, diantaranya adalah Peristiwa Rumoh Geudong Aceh pada tahun 1998 yang merupakan tindakan penyiksaan dari aparat Tentara Nasional Indonesia kepada masyarakat Aceh, dimana Komnas HAM juga mengindikasi pelanggaran HAM seperti kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, bahkan penghilangan paksa. Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, dan lain - lain.

Oleh karena itu, perlu dikaji kembali apakah penanganan negara secara realita dalam mengatasi kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia berat sudah dilakukan sebagaimana mestinya, dan penulis memutuskan untuk mengkajinya melalui tulisan karya ilmiah yang berjudul "Realita Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia."

TINJAUAN PUSTAKA

 

Secara luas, pelanggaran hak asasi manusia terjadi ketika tindakan penyelewengan dilakukan oleh negara (atau non-negara) dalam menyalahgunakan, mengabaikan, atau menyangkal hak asasi manusia. Harus dipahami bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, suku, bahasa, agama, atau status lainnya. 

Hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup dan kebebasan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk bekerja dan pendidikan, dan banyak lagi. Setiap orang berhak atas hak-hak ini, tanpa diskriminasi. Berikutnya, Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi ketika negara atau perseorangan melanggar bagian mana pun dari perjanjian UDHR atau hukum hak asasi manusia atau hukum humaniter internasional lainnya. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, pelanggaran hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 39 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjuk Dewan Keamanan PBB sebagai satu-satunya pengadilan yang dapat menentukan pelanggaran hak asasi manusia PBB tertinggi dan berlaku secara global.

 Pelanggaran hak asasi manusia dipantau oleh komite PBB, lembaga nasional dan pemerintah. Selain itu juga oleh banyak organisasi non-pemerintah independen, seperti Amnesty International, Federasi Internasional Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch, Organisasi Dunia Menentang Penyiksaan, Freedom House, Kebebasan Berekspresi Internasional Pertukaran dan Anti-Perbudakan Internasional. 

Organisasi-organisasi ini mengumpulkan bukti dan dokumentasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan menerapkan tekanan untuk menegakkan hukum hak asasi manusia. Perang agresi, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida, adalah pelanggaran hukum humaniter Internasional dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius. Dalam upaya untuk menghapus pelanggaran hak asasi manusia, membangun kesadaran dan memprotes perlakuan tidak manusiawi sering kali menyebabkan seruan untuk bertindak dan terkadang memperbaiki kondisi. 

Dewan Keamanan PBB telah menengahi dengan pasukan penjaga perdamaian, dan negara-negara lain dan perjanjian (NATO) telah campur tangan dalam situasi untuk melindungi hak asasi manusia. Tanggung jawab Negara Internasional atas pelanggaran hak asasi manusia.

Indonesia adalah negara hukum, di mana semua masalah yang timbul harus dan hanya dapat sebenar-benarnya diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku, termasuk penyelesaian kasus-kasus berat hak asasi manusia. Dalam ruang yang khusus dan sempit, pelanggaran berat hak asasi manusia dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kejahatan yang bernuansa khusus, yaitu penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang berada dalam ruang konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah itu sendiri.

Dalam Jurnal Dinamika Hukum (2022), Hendro Dewanto menjelaskan bahwa Kejahatan ini mengandung unsur "tindakan atau kebijakan negara" yang dalam sifat kejahatannya sendiri tergolong memiliki cakupan yang cukup luas dengan berbagai korban dan umumnya tidak peduli latar belakang korban bersangkutan, serta membutuhkan berkomitmen dan langkah serangan sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Lebih lanjutnya, Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 7 bahwa; Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi: 

 

2. Realita dan Penyelewengan Kasus HAM Berat di Indonesia

Tindak pidana pelanggaran HAM berat merujuk pada suatu bentuk kejahatan politik tertentu dengan nuansa tertentu: kekuasaan dalam arti pelaku bertindak dalam konteks pemerintahan, difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah, dan mengandung unsur kekuasaan. Secara khusus dapat disebut sebagai Tindakan "nasional" atau tindakan politik". 

Mengingat latar belakang dan keadaan tersebut, maka rumusan normatif UU Pengadilan HAM No. Nomor 26 Tahun 2000 seharusnya dapat mencakup segala kemungkinan pengaruh politik yang dapat mempengaruhi penegakan HAM. Salah satu upaya Indonesia untuk mengatasi masalah hak asasi manusia adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

 Secara historis, mandat Bab IX UU Pengadilan menghasilkan Pasal 104 Konvensi Hak Asasi Manusia. Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelesaian kasus HAM berat dimulai di pengadilan. Ini adalah ekspresi kepentingan negara terhadap rakyatnya sendiri. Negara mengakui perlunya lembaga-lembaga yang menjamin hak-hak individu. Jaminan ini diharapkan dapat membuat individu mengetahui batas-batas haknya dan menghormati hak orang lain. 

Sehingga tidak ada lagi yang disebut pelanggaran HAM berat di kemudian hari. Namun, jelas tidak semua upaya tersebut berjalan mulus. Praktik hukum di Indonesia saat ini memperjelas bahwa menegakkan gagasan negara hukum hanyalah soal bentuk ada dan tertuliskan atau hanya sebatas formalistas belaka.. Di satu sisi, anggota masyarakat memiliki kecenderungan yang berbeda dalam perilakunya, seringkali menyimpang dari berbagai peraturan negara. 

Hal ini ditandai dengan meningkatnya kriminalitas. Yang mengkhawatirkan, peningkatan kejahatan tidak hanya secara kuantitas dan kuantitas, tetapi juga kualitas dan intensitasnya. Kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis, dan melampaui kemanusiaan. Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan berita perampokan atau pembunuhan di mana para korban dilakukan secara brutal tanpa membedakan apakah mereka anak-anak atau perempuan, dan tubuh para korban dipotong-potong. Bukan hanya perkara pidana, Indonesia juga gagal melindungi Hak Asasi rakyat nya dalam kasus - kasus ini.

 

PEMBAHASAN

 

Sekalipun ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki masalah di masa lalu, mengabaikan pelanggaran HAM yang meluas tidak boleh menjadi pilihan. Dalam konteks ini, mencapai penyelesaian melalui sistem peradilan adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan budaya impunitas. Suatu bangsa yang mendambakan suatu pemerintahan demokratis yang menghormati dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia pertama-tama harus memenuhi persyaratan untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak-hak tersebut.

Tidak mungkin memisahkan pekerjaan yang telah dilakukan di masa lalu untuk melindungi hak asasi manusia di Indonesia dari konteks sosiopolitik negara yang lebih luas. Sangat penting bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan norma-norma demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku di seluruh dunia. 

Tidak ada yang namanya demokrasi yang tidak mengakui kebebasan sipil dan politik warganya. Tanpa pengakuan ini, demokrasi tidak mungkin. Ini mencontohkan semacam korelasi antara kemajuan masyarakat dan perlindungan hak asasi manusia. Akibatnya, dalam sistem pemerintahan yang demokratis, lahir pula berbagai perangkat hukum seperti peraturan perundang-undangan yang berasal dari peraturan perundang-undangan nasional dan yang meratifikasi sejumlah konvensi internasional. 

Instrumen hukum ini berbentuk undang-undang. Beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, menegaskan bahwa mereka menaruh perhatian untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia. 

Di antara peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia). kejam, tidak manusiawi, atau di bawah harkat martabat manusia). Konvensi Internasional Tahun 1965 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). 

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Pelanggaran HAM Berat dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat merupakan contoh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2002. Pelanggaran HAM berat menurut Amnesty adalah serangan terhadap hak asasi yang terjadi secara sistematis sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa, dan/atau kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya. 

Dikutip dari Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) dan Amnesty, ada empat jenis kejahatan berat yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Berikut adalah definisi pelanggaran hak asasi manusia berat menurut Amnesty International : 

 Pelanggaran HAM berat adalah sebuah serangan terhadap hak asasi manusia secara sistematis atau meluas yang menyebabkan korban jiwa, dan menimbulkan kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya. (Amnesty International, 2021).

 Kejahatan berat pertama adalah kejahatan genosida. Berdasarkan pada Statuta Roma, kejahatan genosida adalah segala jenis bentuk tindakan dengan tujuan untuk menghancurkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama, baik itu menghancurkan seluruhnya atau sebagiannya. 

Salah satu contoh kasus kejahatan genosida yang pernah terjadi dalam sejarah dunia adalah kejahatan genosida yang dilakukan oleh Nazi pada masa perang dunia kedua di bawah pimpinan Adolf Hitler dengan tujuan memusnahkan golongan agama Yahudi di wilayah Jerman. Di negara Indonesia sendiri, ada beberapa kasus kejahatan genosida yang sudah pernah terjadi, meskipun kejahatan genosida tersebut terjadi pada masa sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan, sehingga pelakunya bukan merupakan warga negara Indonesia.

 Kejahatan berat kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu sebuah bentuk tindakan yang bersifat menyerang dan meluas secara sistematis. Kejahatan terhadap manusia ditujukan kepada penduduk sipil manapun. Contoh dari kejahatan terhadap kemanusiaan antara lain adalah perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, dan lain sebagainya. Contoh kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia adalah kasus yang menimpa seorang aktivis yang bernama Munir pada 7 September 2004 lalu dalam perjalanannya di pesawat menuju Amsterdam.

Munir diracuni secara misterius dan kasusnya tidak pernah terselesaikan. Institut Forensik Belanda (NFI) menyatakan bahwa Munir meninggal dunia akibat racun arsenik di dalam tubuhnya. Arsenik itu ditemukan dalam tubuh Munir dengan jumlah dosis yang fatal.

 Kejahatan berat yang ketiga adalah kejahatan perang. Perang tersebut dapat berupa penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi seperti eksperimen biologis, atau penghancuran/perampasan properti yang dilakukan secara luas dan tidak dapat dibenarkan dalam perspektif militer atau merupakan perbuatan yang melawan hukum. 

Kejahatan berat yang keempat adalah kejahatan berupa agresi, yang dimana di dalam statuta disebutkan juga bahwa kejahatan agresi adalah sebuah bentuk kejahatan yang dimana ada terjadinya perencanaan, persiapan, inisiasi, atau eksekusi oleh seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam posisi yang efektif untuk melakukan pengambilan alih atas sesuatu atau untuk mengarahkan politik atau militer dari sebuah negara. Kejahatan berat agresi juga merupakan manifestasi dari pelanggaran Piagam PBB.

Di Indonesia, kejahatan berupa agresi pernah terjadi setelah kemerdekaan oleh pihak Belanda yang tidak terima akan kemerdekaan Indonesia. Agresi tersebut merupakan agresi militer yang dilakukan secara dua kali dan diselesaikan dengan perjanjian.

Pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Indonesia juga tidak jarang terjadi. Dari mulai pelanggaran HAM berat yang menimpa seorang individu seperti aktivis Munir, Marsinah, dan seterusnya, hingga pelanggaran HAM berat yang menimpa suatu kelompok besar seperti peristiwa G30S PKI atau pembunuhan - pembunuhan massal yang dilakukan oleh PKI. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ada beberapa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 2022, diantaranya adalah kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat yang terjadi di Bulan Januari. 

Para korban ditemukan saat rumah Bupati tersebut sedang digeledah dalam rangka Operasi Tangkap Tangan atau OTT yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Komnas HAM menyatakan bahwa ada minimal 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat terhadap para korban yang dikerangkeng. Adapun kasus pelanggaran HAM berat berupa penembakan terhadap seorang anggota polisi di rumah atasannya pada bulan Juli kemarin. 

Apabila diambil dari dua contoh kasus pelanggaran HAM berat di atas, kasus tersebut merupakan kasus yang diselesaikan dan diproses karena Komnas HAM sudah turun tangan dan pelaku juga mendapat pengadilan hukum seperti sebagaimana mestinya. 

Tetapi, di Indonesia juga banyak kasus pelanggaran HAM berat yang tidak terselesaikan. Komnas HAM RI menyatakan bahwa penting bagi masyarakat untuk senantiasa mengingatkan negara dan pemerintah akan kewajiban konstitusional dan tanggung jawab hukum serta kewajiban HAM internasional untuk memiliki akuntabilitas atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dan juga solusi reparasi yang efektif bagi korban - korban pelanggaran HAM berat. 

Menurut pernyataan dari Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik saat menjadi pembicara pada AICHR Consultation on the Right to an Effective Remedy in ASEAN, Session III: National Mechanisms to uphold the Rights to an Effective Remedy in the ASEAN Region: Challenges and Good Practices in Fulfilling the Rights of Victims bersama dua pembicara lain, Wakil Ketua LPSK Antonius PS. Wibowo, SH. MH., dan Executive Director CHRP Jacqueline De Guia, yaitu : 

 

"Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas dan berlarut-larut berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat," 

 

Dikutip dari sumber yang sama juga menyatakan bahwa berbagai tuntutan hukum telah dilakukan oleh pihak korban baik itu melalui mekanisme penyelesaian hukum perdata, penyelesaian administrasi maupun jalur hukum lainnya. Di antara dari mereka sudah berhasil memulihkan hak-haknya. Namun, dalam sejumlah putusan pengadilan, negara dan pemerintah juga tidak melakukan eksekusi terhadap putusan putusan pengadilan tersebut.

Berkaitan juga dengan perkembangan kasus pelanggaran HAM berat dan masa lalu, Kejaksaan Agung  telah membuat sebuah tim penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai, Provinsi Papua.  Tim tersebut terdiri dari 22 orang jaksa senior dan diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang sejauh ini telah bekerja dengan fokus kepada pencarian dan pengumpulan alat bukti pelanggaran hak asasi manusia. 

Adapun usaha atau upaya yang dilakukan Komnas  HAM yaitu Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM yang Berat (SKKPHAM), Pemetaan Hak Korban untuk Pemenuhan Hak Korban,  Komunikasi dan Koordinasi dengan Kementeri/Lembaga terkait, Koordinasi dengan Pemerintah Daerah, serta Kampanye dan Edukasi Publik. Komnas HAM juga pada saat ini sedang membuat Standar Norma dan Pengaturan yang berhubungan dengan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.

 Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, khususnya di daerah, telah sangat mencekik hati bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia di muka bumi pertiwi. Secara khusus, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia sangat parah. Masih ada peristiwa yang terjadi secara teratur, meskipun tidak jarang ada periode waktu yang terjadi penurunan jumlah pelanggaran HAM dan periode waktu yang terjadi peningkatan. jumlah pelanggaran tersebut. 

Sudah sewajarnya, ini menjadi bacaan tugas (humas) bagi bangsa Indonesia yang tegak, yang dilandasi oleh sila-sila yang digariskan dalam Pancasila, yang terangkum dalam lima kalimat yang khidmat. Negara Indonesia yang dalam hal ini adalah pemerintah yang mendapat mandat dari rakyat, yang mandatnya adalah untuk memajukan kesejahteraan dan perdamaian antar sesama warga negara, harus berupaya mencari solusi yang menyejukkan sisi kemanusiaan yang beradab dan memiliki kepribadian yang luhur guna menunaikan amanah. 

Kinerja seluruh elemen bangsa Indonesia dituntut untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi penegakan HAM, tentunya dengan solusi yang fleksibel, komprehensif, dan menyentuh hati nurani masyarakat itu sendiri. Padahal, untuk meredam hingga menghilangkan bentuk-bentuk pelanggaran HAM, ini bukan pekerjaan mudah dan serampangan. Melainkan pekerjaan yang membutuhkan kinerja dari seluruh elemen bangsa Indonesia.

Perlu diketahui bahwa cara penyelesaian masalah dengan kekerasan atau senjata tidak lagi berhasil dilakukan, terlepas dari siapa yang memulai proses yang menyebabkan keadaan tidak harmonis dalam masyarakat di mana pelanggaran hak asasi manusia terjadi. Ini adalah sesuatu yang harus diingat setiap orang. sarana pemukiman yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat tentunya; permukiman yang mengendapkan nilai-nilai kemanusiaan tentunya; penyelesaian yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara-cara yang lebih manusiawi, khususnya dengan memediasi diskusi damai antara pihak-pihak yang berkonflik. 

Karena cara penyelesaian damai lebih menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik, dan karena dapat mengurangi kerugian akibat konflik. Lebih praktis dan bijaksana untuk mencoba menyelesaikan perbedaan melalui negosiasi dan percakapan daripada menggunakan kekerasan. Di mana pun manusia diakui dan dihormati, maka hak asasinya sebagai manusia tidak akan melibatkan hak asasi manusia lainnya; sebaliknya, hak asasi manusia akan melibatkan hak asasi manusia yang mendasar. Oleh karena itu, para pengamat dan penyata lebih sering berada di garis depan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM secara damai dan bermartabat.

Jika pola pikir seseorang hanya berpijak pada standar hak asasi manusia suatu bangsa, maka standar penegakan hak asasi manusia Indonesia tidak mungkin ditegakkan. Hal ini disebabkan karena budaya, struktur sosial, dan agama suatu bangsa memiliki pengaruh terhadap penegakan dan penegakan cita-cita hak asasi manusia di berbagai wilayah negara. bangsa Indonesia, selama belum menyadari nilai-nilai pembelaan HAM, artinya selama masih ada, hanyalah sebuah platform.

 

KESIMPULAN

 

Pada akhirnya, harus dipahami bahwa hak asasi manusia, baik manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya segala sesuatu menjadi sesuatu yang melekat, ditekankan dalam Pancasila dari sila pertama sampai dengan sila kelima. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia bagi negara Indonesia telah ada sejak dahulu kala, namun baru belakangan ini diikrarkan dalam pedoman dasar negara ini, yaitu yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan tanggal lahirnya Deklarasi Hak Asasi Manusia untuk Bangsa Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Deklarasi Hak Asasi Manusia untuk Bangsa Indonesia ditulis jauh lebih awal daripada Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru ditulis pada tahun 1948. Konsep bahwa manusia diciptakan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dengan dua unsur, yaitu aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas, tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam Pancasila. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: (sosial). 

Akibatnya, kebebasan setiap individu dibatasi oleh hak asasi orang lain di sekitarnya. Sehubungan dengan itu, harus jelas bagi setiap orang bahwa mereka wajib mengakui dan menghormati hak asasi manusia orang lain. Kewajiban ini dibebankan kepada setiap lembaga, tanpa memandang tingkatannya, termasuk tetapi tidak terbatas pada negara dan pemerintah, khususnya di negara Indonesia. Oleh karena itu, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduk negara, tanpa memandang siapa mereka. 

Ir. Sukarno pernah menyatakan bahwa falsafah Pancasila berjiwa kekeluargaan karena pada awalnya disampaikan kepada masyarakat umum sebagai dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian akan ditetapkan. Hal itu terjadi karena falsafah Pancasila menjadi landasan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dan kehidupan manusia yang bertentangan dengan ajaran Pancasila, agar bangsa Indonesia diakui sebagai kehidupan yang berkeluarga. Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menghidupkan seluruh pasal-pasal dalam batang tubuh UUD, terutama yang berkaitan dengan persamaan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan hak atas pekerjaan yang layak. penghidupan, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan menurut agama dan kepercayaannya, serta hak memperoleh pendidikan dan pengajaran ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun