Mohon tunggu...
Rachma Widyaningsih
Rachma Widyaningsih Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Mencari hasil dari hobi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetanggaku Idolaku

3 Februari 2023   08:00 Diperbarui: 3 Februari 2023   07:59 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Rachma Widya

Citra turun dari motor ojek online yang mengantarnya sampai depan rumahnya yang terletak diperumahan elite kawasan kota besar.

“Kembaliannya, Neng… eh Non,” pengemudi motor ojek online itu memberikan beberapa lembar uang ribuan dengan gugup.

Saat itu Citra sedang sibuk memperhatikan aktivitas yang ada di samping rumahnya, sehingga dia tidak tertarik untuk menoleh ke pengemudi ojek online tersebut.

“Ambil saja kembaliannya buat Bapak,” sahut Citra sambil terus menatap ke arah rumah itu.

“Terima kasih, Non,” jawab pria itu, kemudian berlalu dari hadapan Citra.

Citra masih berdiri termangu menatap aktivitas di rumah yang sudah beberapa bulan ini kosong. Dia melihat beberapa orang sedang mengangkut barang dari sebuah truk besar ke dalam rumah.

‘Akan ada tetangga baru nih,’ batinnya.

“Mas, Mas!” Citra menepuk seorang pemuda yang sedang mengangkut sebuah kardus dan melintas di depannya. Pemuda itu berhenti dan menoleh ke arah Citra yang belum bisa melepaskan pandangan dari rumah tetangganya.

“Siapa yang baru pindah?” tanya Citra sedikit berbisik. Pemuda itu tersenyum meskipun Citra tidak memperhatikannya.

“Tanya sendiri saja, orangnya ada di dalam kok, Mbak,” sahut pemuda itu sambil terkekeh.

Mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan ‘Mbak’ oleh pemuda yang tidak dikenalnya, tiba-tiba Citra merasa kesal.

“Mbak… Mbak… Jangan panggil aku dengan panggilan ‘Mbak’!” tiba-tiba kerongkongannya tercekat saat menatap wajah pemuda itu. 

Ketampanan pemuda itu membuat pikirannya kosong sejenak dan terpaku menatapnya.

“Mbak! Eh maaf, Kak! Ada yang mau ditanyakan lagi? Kalau tidak ada, saya mau masuk membawa barang ini. Berat nih,” sahut pemuda itu.

Citra menggelengkan kepalanya.

Sejak pertemuannya dengan pemuda itu kemarin, Citra selalu teringat tentang dia. Namun, Citra selalu menepisnya dengan kasar.

‘Ya ampun, Citra! Tidak mungkin kalau kamu jatuh cinta sama tukang angkut barang seperti dia. Apa kata keluarga dan teman-teman?’ batin Citra sambil menggelengkan kepala, berharap bisa menepis pikirannya kepada pemuda itu.

Hari kedua.

Citra mendengar suara mobil besar yang menderu dengan keras yang mengganggu suara acara radio favoritnya. Citra ingin tahu asal suara tersebut, setelah mematikan radionya, dia mengintip dari jendela kamarnya di lantai 2. Ternyata, suara itu berasal dari mobil truk yang akan parkir di halaman rumah tetangganya.

“Loh, mereka belum selesai pindahan barang?” gumamnya.

Citra segera turun dari kamarnya dan keluar rumah. Dia mengintip rumah tetangganya melalui tembok pembatas rumah mereka. Diam-diam dia mencari sosok yang kemarin ditemuinya.

“Apa yang kamu lihat?” tanya seseorang pada Citra.

“Itu loh, ada tetangga baru. Tampaknya mereka belum selesai pindahan,” sahut Citra, tetapi tatapan matanya seperti sedang mencari sesuatu.

“Tapi, kamu seperti sedang mencari seseorang,” sahut suara itu.

Citra langsung menoleh ke arah suara itu ketika menyadari bahwa suara itu bukan milik anggota keluarganya. Dia melihat pemuda yang ditemuinya kemarin, pemuda yang dicarinya sejak tadi sewaktu mengintip dari balik tembok. Citra tertegun sejenak, jantungnya berdegup kencang saat melihat pemuda itu tersenyum. 

Citra tersadar dari lamunannya.

“Sana pergi! Kamu sudah masuk ke halaman orang tanpa izin! Kamu pasti akan dimarahi sama bos kamu jika waktunya bekerja malah bermain-main,” kata Citra sambil mendorong pemuda itu. Pemuda itu tersenyum karena Citra tidak benar-benar mendorongnya.

“Kamu juga mengintip ke rumah sebelah tanpa izin, kok,” sahut pemuda itu sambil tertawa dan berjalan keluar dari halaman rumah Citra.

Citra segera menutup pintu pagar dan menguncinya.

“Besok aku masih pindah-pindah barang loh, kamu bisa main kemari!” pemuda itu berseru sebelum Citra masuk ke dalam rumah.

Kemudian dia langsung masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Setelah menutup pintu, Citra malah tersenyum. Hatinya senang karena bisa bertemu pemuda itu lagi.

Hari ketiga.

Citra tampak terburu-buru saat jam sekolah selesai.

“Mau ke mana, Cit? Mengapa terburu-buru?” tanya Niken, teman sekelas Citra.

“Pulang,” jawab Citra singkat sambil memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.

“Tidak biasanya kamu terburu-buru. Apakah ada kencan?” Niken menggodanya, padahal dia tahu bahwa Citra belum punya pacar.

“Iya,” jawab Citra sambil mengalungkan tasnya dan bergegas keluar kelas meninggalkan Niken yang tertegun.

Sesampainya di kamar, Citra langsung mandi dan berganti pakaian. Citra juga berhias di depan cermin sambil mendengarkan siaran radio dari penyiar favoritnya.

“Masih bersama Roni, yang menemani lelahmu sepulang sekolah…” suara penyiar itu begitu merdu di telinga Citra. Setiap kali mendengar suara Roni, Citra merasa seperti terhipnotis dan merasa rindu pada sosok yang belum pernah ditemuinya.

“Wah, Roni sudah mulai siaran!” Citra segera menyelesaikan riasannya kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Citra menatap langit-langit sambil menikmati suara merdu Roni yang terdengar seperti sedang berbicara padanya, sehingga Citra senyum-senyum sendiri. Angan-angan Citra  melayang, dia membayangkan bahwa dirinya dapat bertemu dengan sosok Roni. Namun, saat membayangkan, tiba-tiba yang muncul adalah paras pemuda yang membantu angkutan barang pindahan yang ditemuinya kemarin.

Citra langsung terduduk di atas tempat tidurnya dengan wajah terkejut.

“Ya ampun! Mengapa aku jadi membayangkannya?” gumam Citra kesal bercampur malu.

Satu jam kemudian, tepat setelah siaran radio favorit yang dipandu oleh Roni usai, Citra mendengar lagi suara mobil besar yang menderu.

“Wah, benar yang dikatakan pemuda tersebut! Hari ini mereka datang lagi,” Citra bergegas turun dari tempat tidurnya dan menghampiri cermin. Citra memeriksa riasan tipisnya apakah masih tampak baik. Setelah memastikan riasannya masih tampak baik, Citra pun menghampiri jendela dan mengintipnya. Dia tidak mau turun lagi untuk melihatnya dari dekat karena takut ketahuan seperti kemarin.

Ketika membuka tirai jendela dan mengintipnya, ternyata pemuda itu sedang menatap jendela kamarnya dan melambai ke arah Citra. Citra segera menutup kembali tirai putih itu. Dia merasa sangat malu, wajahnya memanas saat ketahuan sedang mengintip. Akhirnya dia kembali ke atas tempat tidurnya dan bertahan untuk tidak mengintipnya lagi.

Hari keempat.

Seperti biasa, Citra bersiap lagi menunggu kedatangan mobil truk yang mengangkut barang ke rumah tetangganya. Kali ini dia bertekad untuk menemuinya langsung dan menanyakan namanya. Citra merencanakan semuanya di hari itu, tentang apa yang akan dia lakukan saat bertemu dengan pemuda itu lagi.

Bahkan Citra pun tidak dapat menikmati siaran yang dipandu oleh Roni karena hatinya terus berdebar menanti waktu yang akan terjadi. Citra sesekali tampak berlatih berbicara di depan cermin. Kemudian Citra kelelahan karena terus merasa tegang sepanjang penantiannya, dan dia pun tertidur.

Citra terbangun ketika dibangunkan oleh Mona, ibunya Citra, saat itu hari sudah petang. 

“Mengapa kamu tidur dengan riasan?” tanya Mona.

Bukannya menjawab, Citra malah hampir melompat ke arah jendela dan mengintip dari balik tirai, Mona menatapnya dengan heran.

“Mengapa kamu bertindak seperti itu?” tanya Mona.

“Mengapa Ibu baru membangunkan aku sekarang?” Citra balik bertanya.

“Memangnya ada apa? Apakah kamu punya janji dengan seseorang?” tanya Mona penuh selidik.

Merasa dicurigai, Citra merasa malu.

“Tidak, aku mau mendengarkan acara radio,” sahut Citra pelan.

Mona berjalan keluar dari kamar Citra. Sebelum Citra menutup kamar, Mona berbalik badan.

“Oh iya, cepat siap-siap ya. Kita diundang makan malam sama tetangga baru. Mau perkenalan katanya. Ayah dan Ibu menunggu di bawah ya. Ingat, jangan lama-lama!” ujar Mona.

“Makan malam?” Citra tertegun karena Mona tidak menjawabnya, tapi malah meninggalkannya. Citra merasa enggan untuk datang, tapi dia tahu bahwa ayah dan ibunya tidak akan membiarkannya menolak ajakan mereka. Jika menolak, maka Citra akan mendengar ayah dan ibunya berduet untuk memberinya ceramah. Akhirnya Citra mengalah dan bersiap-siap untuk pergi bersama kedua orangtuanya ke rumah pengundang mereka.

Setibanya di rumah tetangga baru mereka, Citra merasa tenang, karena bukan hanya keluarga mereka yang diundang ke rumah itu, tetangga lain pun tampak hadir disana. Keluarganya Citra adalah kelompok orang yang terakhir datang, karena ketika mereka datang, makan malam pun di mulai.

Citra terkejut saat melihat pemuda yang selalu ditemui saat truk besar itu datang, ternyata satu meja dengannya.

“Kamu kok …” ujar Citra sambil mengerutkan keningnya dan menunjuk ke arah pemuda tersebut. Seketika semua orang menoleh ke arah Citra. Citra tidak meneruskan kalimatnya, karena tiba-tiba Citra merasa tidak percaya diri di hadapan pemuda itu dan orang-orang yang menatap ke arahnya.

“Kamu kenal?” tanya Mona pada Citra. Citra menggelengkan kepala.

Akhirnya pemilik rumah memperkenalkan pemuda itu sebagai anak mereka kepada tamu-tamu yang hadir. Namanya Andra, mahasiswa yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Citra menunduk, dia merasa malu karena sudah salah sangka pada pemuda itu.

Setelah selesai makan malam, sebagian orang tua berkelompok dan berbincang, begitu pula dengan anak-anak mereka.

Andra menghampiri dan menggenggam tangan Citra, kemudian dia menghampiri orang tua Citra. Citra merasa terkejut dengan tindakan Andra yang tiba-tiba.

“Tante, Om, Andra minta izin untuk membawa Citra melihat ruang kerja Andra ya,” kata Andra dengan tersenyum ramah.

Andra membawa Citra ke ruang kerjanya dan menunjukkan foto-foto yang ada di dindingnya. Andra banyak cerita tentang dirinya, sementara Citra diam mendengarkan sambil menatap satu per satu foto di dinding.

“Kak Andra adalah seorang penyiar radio ya?” tanya Citra masih terus menyusuri foto-foto tersebut.

“Iya.”

“Radio apa?”

“Radio Bintang.”

“Oh, Radio Bintang,” sahut Citra sambil menoleh ke arah Andra sejenak. Kemudian dia berpaling lagi ke arah foto-foto itu untuk menghindari tatapan pemuda yang menggetarkan hatinya.

‘Mengapa dia tampak keren saat berdiri dan menatapku seperti itu,’ batin Citra.

“Hmm, pernah dengar?” Andra bergumam.

“Acara apa?” tanya Citra dengan berpura-pura acuh tak acuh.

“Musik Pulang Sekolah,” sahut Andra cepat.

Citra langsung menghentikan langkahnya, kemudian dia berbalik badan ke arah Andra.

“Kenal sama Roni dong?!” tanya Citra sambil tersenyum dan bersemangat.

Andra mengangguk dan tersenyum.

“Yang ada di foto itu, dia Roni,” kata Andra sambil menunjuk ke arah belakang Citra.

Citra segera menoleh ke arah foto itu.

“Yang ini?” tanya Citra pelan. Dia tampak kecewa dengan penampakan yang ada di depan matanya.

“Bukan, yang sebelahnya,” sahut Andra.

Citra menatap sosok yang dimaksud oleh Andra sejenak. Lalu menatap Andra dengan seksama.

“Kok mirip Kak Andra ya?!”

“Haha, kamu lucu sekali. Itu memang aku. Namaku Andra Syahroni, dan aku memakai nama belakang untuk nama panggung di radio,” Andra terkekeh menatap Citra yang termangu menatapnya.

Citra merasa beku saat itu. Dia tidak menyangka bahwa di depannya adalah sosok idola yang selama ini dia rindukan, dan meminjam bayangan Andra untuk menggantikan Roni yang belum pernah ditemui. Sekarang, semuanya ada di hadapannya dalam satu sosok yang indah di matanya.

Andra tersenyum padanya, membuat Citra semakin membeku. Dia benar-benar tidak menyangka, bahwa tetangga barunya adalah idolanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun