Mohon tunggu...
Syifa Adila Tsarwat Muzzaki
Syifa Adila Tsarwat Muzzaki Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Sedang banyak pikiran. Tunggu pemberitahuan lebih lanjut

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pulang untuk Pergi

12 Februari 2022   20:12 Diperbarui: 12 Februari 2022   20:18 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Masa sekolah adalah masa paling asyik bukan? Semua orang pasti punya cerita seru saat duduk di bangku sekolah. Apalagi masa SMA lekat dengan keseruan dan hal gila. Tapi cerita si ambis di masa SMA ini berbeda. Bagaikan roller coaster di wahana permainan.


“Oy makin cantik aja nih bos! Perawatan di emol mah beda ya.” Sapa Lili sambil berlari menghampiri Yuna.
“Apaansi Li! Pagi-pagi teriakannya udah kaya kenek angkot Blok M! Bising banget, kasian mana cempreng.”
“Heh macem-macem ya, kerjain tugas aku yang kemaren! Awas aja kalo ngga. Aku mau ke WC dulu. Kebelet tadi pagi mana sempet.” Pergi meninggalkan Yuna berjalan sendirian di koridor.


Begitulah kebiasaan Lili, mungkin juga sama dengan anak sekolah lainnya yang selalu menganggap enteng setiap tugas dan melemparkannya pada orang lain. Tapi tidak dengan Yuna, si paling ambis. Bagaimana tidak 24/7 waktunya dihabiskan bersama buku latihan dan soal-soal. Tapi tentu saja dengan itu akan membuahkan  hasil yang bombastis.
Yuna selalu langganan peringkat 1 sejak dalam kandungan. Tak heran Yuna mendapatkan julukan beasiswa abadi sampai saat ini.


“Pagi Yuna, masih pagi udah cemberut aja nih. Udah sarapan belum? Sarapan itu penting lho!” Belum selesai Kai menggoda Yuna, Yuna sudah melayangkan buku tepat ke wajah Kai.
“Diem monyong! Bacot terus ah!”
“Pedes amat kaya seblak ceker level dower.”
“Oh iya Kai ngomong-ngomong soal uang yang aku pinjem waktu itu, aku minta maaf ya belum bisa balikin. Tapi aku janji deh kalo udah ada langsung aku kasih ke kamu.”
“Gausah dipikirin. Mending pikirin kesehatan emak kamu! Duit mah gampang urusan belakangan.”


Belakangan ini konsentrasi Yuna terbagi, karena emak nya masuk rumah sakit karena kadar gula nya yang sangat tinggi dan tak kunjung turun. Sudah terhitung 2 hari emak Yuna mendekam di rumah sakit. Emak Yuna adalah orang tua tunggal untuk Yuna, karena ayahnya sudah lama meninggalkan Yuna, sejak Yuna masih berumur 3 tahun. Selama emak Yuna di rawat, keluarga Kai lah yang membantu biaya rumah sakit emak Yuna.


“Selamat pagi anak-anak.”
“Pagi buuuuuuu.” Satu kelas kompak membalas sapaan Bu Asri.
“Bagaimana kabarnya? Hari ini siapa yang tidak hadir?”
“Seperti biasa bu, Alvaska tidak masuk hari ini. Lagi-lagi tanpa keterangan yang jelas.” Jawab salah satu murid di kelas itu.
“Kemana lagi itu anak. Baiklah anak-anak kita lanjutkan materi hari ini, sebelumnya kumpulkan tugas minggu lalu yang ibu berikan. Seperti biasa yang tidak mengerjakan  silahkan untuk mengerjakannya diluar selama satu jam pelajaran.”


Tidak terasa pelajaran Bu Asri sudah berlangsung selama 2 jam lamanya. Di akhir jam pun Bu Asri teringat sesuatu.


”Hampir saja ibu lupa, Yuna dan Kai jam istirahat nanti temui ibu di ruang guru ya. Ada yang ingin ibu sampaikan pada kalian.”
“Baik bu.” Jawab Yuna dan Kai kompak.


Bel pun berbunyi menandakan waktu istirahat telah tiba. Hampir saja Yuna terlena jam istirahat dan melupakan pesan Bu Guru.


“Kai ayo kita ke ruangan Bu Asri sekarang. Sepertinya Bu Asri udah nungguin kita deh”
“Yah, ayo deh!” Kai kecewa harus menunda untuk menyantap bekalnya.
“Iyalah ntar aja makannya.” Tanpa basa-basi Yuna langsung menggeret Kai menuju ruang guru.

Di ruang guru


“Permisi Pak, saya Yuna kelas XII-10 jurusan MIPA, ingin bertemu dengan Bu Asri, apakah ada?”
“Oh silahkan, sudah tau mejanya kan?”
“Sudah pak, kalau begitu kami permisi. Terima kasih.”


Yuna dan Kai lantas segera menuju meja Bu Asri. Tidak begitu sulit. Mejanya terletak tepat di samping jendela, di pojok kiri meja ke 7 dari depan.


“Ah Yuna, Kai kemari.” Bu Asri melambaikan tangan, tampak sudah menyadari keberadaan mereka.
“Sebelumnya ada apa ya bu, sampai ibu memanggil kami?” Tanya Yuna penuh cemas
“Oh, jadi begini. Ibu sebagai wali kelas kalian memiliki tanggung jawab yang besar terhadap proses belajar anak didik ibu tanpa terkecuali. Terutama kamu, Yuna. Sebagai siswa berprestasi yang mendapat beasiswa penuh. Kamu juga Kai, penakluk beragam olimpiade tiap tahunnya. Ibu ingin menawarkan beasiswa perguruan tinggi, kebetulan itu almamater ibu dulu. Tapi ya tempatnya cukup jauh, di Solo. Sekarang kalian bicarakan dulu dengan keluarga, pikirkan baik-baik siapa tau kalian berkenan. Tidak ada salahnya kan jika dicoba. Nanti kalian bisa kabari ibu saja keputusannya bagaimana, tapi jangan terlalu lama ya. Ibu tidak memaksa, tapi ibu yakin kalian memiliki potensi yang besar.”


Untuk Kai mungkin kabar ini peluang besar untuknya. Tapi untuk Yuna mungkin ini adalah mimpi buruk.
Di tengah-tengah kondisi emak Yuna yang sedang terbaring lemah, entah sampai kapan. Hingga saat ini pun belum kunjung ada kabar baik dari pihak rumah sakit. Tapi di sisi lain, Yuna pun sangat ingin untuk mengambil beasiswa yang ditawarkan oleh Bu Asri. Tapi Yuna tidak mungkin meninggalkan emak untuk saat ini, apalagi sampai berkuliah jauh. Yuna khawatir akan kondisi emak.


Sepulang sekolah seperti biasa Yuna mengunjungi rumah sakit sambil menjinjing keresek berisi lontong kari ayam favorit emak. Yuna berharap hari ini kondisi emak mulai membaik dan berangsur pulih.


Sesampainya di kamar rawat emak, Yuna hanya melihat emak yang tampak pulas terbaring di ranjang VVIP itu. Tidak mau membangunkan emak, Yuna bergegas berganti pakaian serta lantas menyiapkan makan untuk emak, jika bangun nanti.


“Untung hari ini tidak ada tugas sekolah yang harus dikerjakan. Jadi bisa fokus menemani emak.” Ucap Yuna dalam hati.
“Yuna, udah lama disini? Kenapa ngga bangunin emak?” Suara emak yang parau terdengar memecah lamunan Yuna.
“Ah emak bikin kaget aja. Abisnya emak tidur pules banget Yuna jadi gak tega mau bangunin emak. Gimana kondisi emak sekarang? Udah enakan?” Sambil terus memijat tangan emak yang tampak keriput berkerut.
“Iya, emak udah rada enakan. Ngga begitu lemes kaya kemaren. Do’ain aja supaya gula darah emak cepet stabil ya.”
“Ah hampir aja lupa, Yuna bawain lontong kari ayam nih, makan dulu ya.” Yuna lantas bersiap untuk mendaratkan suapannya tepat di mulut emak.
“Oh iya, tadi di sekolah Yuna dan Kai di panggil Bu Asri, nawarin beasiswa untuk masuk perguruan tinggi. Tapi jauh, di Solo.”
“Ya bagus dong. Itu rezeki kamu dan Kai. Ambil aja, kesempatan gak dateng dua kali loh.” Wajah emak tampak sumringah setelah mendengar cerita Yuna.
“Iya sih mak, tapi nanti siapa yang bakal nemenin emak. Yuna ngga mungkin ninggalin emak kan.” Tampak setetes air hadir di sudut matanya.
“Tenang aja, emak pasti baik-baik aja. Pikirkan masa depanmu. Jangan sampai karna kondisi emak, menghalagi cita-cita yang kamu bangun.”
“Tapi emak harus janji sama Yuna, emak bakal sehat dan nemenin Yuna sampe Yuna sukses ya.”


Emak tidak menjawab, hanya tersenyum kecil dan sedikit menganggukan kepalanya. Emak pun menyodorkan tangannya tanda untuk menyudahi suapan yang diberikan Yuna.


Rutinitas Yuna tetap berjalan seperti hari-hari biasanya, sekolah dengan berat hati meninggalkan emak yang masih terbaring, kadang ketika Yuna berangkat emak masih pulas dengan tidurnya.


“Pagi cewe!” Sapa Kai penuh semangat memulai hari
“Ah Kai kebiasaan, ngagetin aja nih.”
“Masih pagi udah bengong aja. Eh iya, gimana tentang beasiswa yang Bu Asri tawarin, bakal di ambilkan?”
“Tadinya sih kepikiran untuk ambil, tapi aku masih bingung, soalnya aku khawatir sama kondisi emak.”
“Salah itu namanya! Harusnya kamu bisa buktiin sama emak, kalo kamu bakal sukses banggain emak walau dalam kondisi terburuk sekalipun.”
“Ngomong doang mah gampang! Eh BTW Thanks ya, kamu udah banyak bantu keluarga aku sampe sekarang.”
“Dih dasar bocah! Kaya sama siapa aja! Main ga enakan segala. Gajelas!”


Jam istirahat pun tiba. Yuna dan Kai berniat menemui Bu Asri untuk konfirmasi tawaran beasiswa.


“Ada kabar apa nih Yuna, Kai?”
“Begini bu, saya dan Yuna bersedia untuk mengambil tawaran beasiswa yang ibu tawarkan kemarin.”
“Wah, bagus dong! Kebetulan nih, lusa nanti hari sabtu penutupan pendaftarannya. Nanti ibu catat ya dokumen apa saja yang perlu kalian siapkan. Mungkin agak sedikit mendadak ya, tapi ibu yakin kalian bisa. Terima kasih ya Yuna dan Kai.”


Belum apa-apa Yuna sudah kepikiran emak lagi.


“Ada apa nih duo bucin keluar kantor?” Lilli si biang rusuh tiba-tiba muncul bak jailangkung.
“Lili, udah ah ayo ke kelas.” Tarik Leyyia sahabat karibnya yang memiliki sisi terbalik dari Lili.
“Eh tar dulu buset, aku curiga nih jangan-jangan kamu hamil ya? Sampe seludupan gitu dari kantor.”
“Aduh Lili, dijaga ah ngomongnya. Udah ayo jangan ngomong macem-macem. Nanti malah bikin heboh satu sekolah. Maaf ya Yuna, kita duluan.”


Seperti sudah biasa dengan perwatakan yang dimiliki Lili, Yuna tidak pernah menggubrisnya. Bagaikan angin lalu saja, tapi beruntung sekali Lili memiliki Leyyia pawangnya yang setia.


Di Rumah Sakit sepulang sekolah


“Alhamdulillah ya, kondisi emak udah mulai stabil. Hari ini emak udah bisa pulang. Tapi ingat loh, emak harus jaga pola makan dan istirahat yang cukup, jangan sampe sakit lagi ya. Yuna sayang emak, kangen juga sama masakan emak.”
“Iya bawel, emak juga sayang kamu.”
“Oh iya mak, Yuna udah konfirmasi soal beasiswa waktu itu yang di tawarin Bu Asri. Yuna tinggal siapin beberapa dokumen untuk persyaratan. Besok Yuna langsung kasihin Bu Asri, soalnya lusa udah mulai ditutup pendaftarannya. Do’ain ya mak, biar lancar dan nanti apapun hasilnya semoga itu yang terbaik.” Sembari memeluk emak dengan erat.
“Tanpa kamu minta, emak pasti selalu do’ain kamu. Kamu harus semangat, jangan banyak pikiran. Emak yakin kamu dan Kai pasti bisa. Tuh kebetulan keluarganya Kai udah dateng. Udah dulu pelukannya, malu diliatin kaya telettubies aja.”


Semenjak hari itu emak Yuna dirawat dirumah dibantu oleh ART kiriman keluarga Kai. Ya, emak Yuna dan keluarga Kai sangat sohib, mereka dulunya adalah rekan bisnis. Tak heran ketika masa sulit yang dialami emak Yuna saat ini, hanya keluarga Kai yang siap membantu tanpa meminta imbalan.


Dokumen yang dibutuhkan untuk pendaftaran beasiswa sudah disiapkan Yuna dan siap untuk diserahkan kepada pihak sekolah. Yang akan Yuna hadapi selanjutnya ketika telah dinyatakan lulus tes dokumen, ialah tes tertulis yang akan dilaksanakan di salah satu kampus bergengsi di Jakarta. Kemudian yang terakhir adalah tes wawancara. Seluruh rentetan tes yang Yuna hadapi berlangsung selama 3 bulan lamanya.


3 bulan itu Yuna hanya fokus pada beasiswa nya, dari awal dia dibekali dengan tekad dan yang bulat untuk membahagiakkan emaknya. Setiap malam, Yuna mengulang materi dan berkutik dnegan ratusan latihan soal. Tidak Cuma itu, do’a emaknya pun ikut andil dalam usaha Yuna.


“Alhamdulillah mak, tes nya udah beres. Lumayan menguras tenaga pikiran juga ya mak.” Menarik nafas panjang di pangkuan emak nya.
“Pokonya anak emak hebat, kita berdo’a ya semoga hasilnya yang terbaik. Pengumumannya kapan?”
“Katanya paling cepet 2 bulan lagi mak, paling telat udah pengumuman kelulusan sekolah.”


Tidak ada yang instan bukan, semuanya perlu usaha dan dedikasi yang tinggi. Tapi sekarang Yuna tinggal menunggu hasil dari jerih payahnya.

Esoknya, di sekolah


“Wah, limit beasiswa nya masih on nih! Di top up berapa kali ya? Nyogok berapa tuh? Masuk perguruan tinggi aja masih aja dapet jatah nih.” Lili bersenandung, ayam pun kalah.
“Kenapa sih Li, masih pagi ini teh. Jangan gitu atuh ga baik.” Ucap Leyyia pawang Lili.
“Iya nih rumornya si Yuna sama Kai dapet beasiswa ke Solo, biasalah duo bucin jalur langit.”
“Emang mereka mah pinter atuh Li! Jangan iri sama rezeki orang ah.”
“Sumpah ga asik banget ah! Eh BTW itu si berandalan kan?” Lili menunjuk laki-laki yang berjalan dengan terburu-buru seperti sedang membaca situasi.
“Oh itu, Alvaska.”
“Mau kemana tuh dia? Mau kabur lagi?”
“Udah ah Li jangan sibuk ngurusin hidup orang lain, nanti bisa-bisa kita lupa urus diri kita sendiri. Ayo ah kita ke kelas, keburu bel masuk.” Ajak Leyyia.


Lili selalu saja kebakaran jenggot ketika melihat orang lain selangkah lebih maju darinya. Tapi anak-anak yang lain tidak heran tentang rumor yang merebak tentang beasiswa itu. Tanpa beasiswa pun, Yuna dan Kai pasti akan masuk perguruan tinggi yang mereka dambakan. Sebab kualitas mereka sudah tampak walaupun dilihat sambil memejamkan mata.


“Eh Kai aku ga sabar deh sama pengumuman beasiswa nanti.”
“Hebat deh kamu, aku salut.” Kai mengacungkan dua jempol miliknya untuk Yuna.
“Apaan sih kai, berlebihan banget sumpah.”
“Oh iya, gimana kondisi emak sekarang? Sorry ya udah lama aku ga nengokin kesana.”
“Ya emak sekarang udah makin sehat, udah bisa masakin aku macem-macem. Yang terakhir, dia buatin aku martabak rasa coklat duren masa.”
“Hahaha ya syukur lah kalo emak udah kaya sedia kala. Oh iya nih, pulang sekolah ga kemana-mana kan? Bisa dong kita makan bentar. Katanya ada kafe baru di deket fly over yang lagi rame. Aku penasaran nih, mau kan?” Ajak Kai sedikit memaksa.
“Ayo aja sih.”
“Mantappp! Gas dong ya, yakali ngga.”

Sepulang sekolah 


Kafe instagrammable, hits dengan dekorasi ala-ala europe. Dengan cat berwarna pastel ditambah dengan berbagai ornamen yang nan elegan membuat siapapun yang melihatnya akan takjub dibuatnya.


Ketika Yuna dan Kai asyik mengobrol sembari menunggu pesanan, Yuna malah fokus dengan pria berseragam sama dengannya yang sedang mengawasi para pegawainya di sudut ruangan.


“Eh, Kai liat deh itu Alvaska bukan sih?” Bisik Yuna pada Kai yang sedang asyik memainkan tusuk gigi.
“Hah yang mana?” Kai mencari-cari
“Itu di sudut ruangan.”
“Oh iya bener loh, masa sih dia boss nya? Atau dia abis buat masalah di kafe ini?”


Objek yang sedang dibicarakan pun tersadar akan keberadaan Yuna dan Kai yang sedari tadi memperhatikannya. Dia lantas menoleh dan menyambangi meja nomor A3 itu.


“Permisi tuan, nyonya. Ada yang bisa dibantu? Sepertinya sedari tadi pemandangan kalian terganggu oleh kehadiran saya?” Mengangkat satu alisnya.
“Eh ngga kok! Sumpah! Cuma tadi rasa-rasanya kaya ga asing aja sama seragam yang kamu pake.” Jawab Yuna gelagapan.
“Iyalah gimana ga asing, orang kita satu sekolah. Kamu Yuna, dan itu Kai kan?” Tunjuk Alvaska memastikan.
“Dan kamu, berandalan si tukang bolos itu kan?” Sambil tertawa
“Iya nih aku juga jarang banget liat kamu ada di sekolah.” Pungkas Yuna.
“Iya sih bener, kalian ga salah ko.” Alvaska meledek dirinya sendiri.
“ Oh iya BTW ini kafe punya kamu?”
“Uhm, lebih tepatnya punya ayah aku. Tapi dia meninggal, satu minggu yang lalu karena komplikasi. Ya akhirnya aku yang harus kelola kafe ini karna gaada siapa-siapa lagi. Belakangan ini aku sering bolos ya karna harus nemenin ayah bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah. Dan sesekali waktu jam istirahat aku sempetin untuk cek kafe ini. Aku ke sekolah cuma titip absen doang, gapapa sih kalo warga sekolah mikir aku nakal yang penting aku ga di kasianin karna kondisi aku yang berantakan. Yang penting satu-satunya peninggalan ayah, kafe ini bisa berkembang dan maju.”


Yuna dan Kai teregun mendengar cerita Alvaska, mereka tidak percaya Alvaska bisa terbuka untuk bercerita di pertemuan pertama mereka. Alvaska yang banyak orang kira berandalan tukang bolos nyatanya adalah tulang punggung untuk dirinya sendiri. Memang benar, kita tidak bisa langsung menilai seseorang hanya dari satu sisi saja.


Satu bulan kemudian


Pengumuman hasil beasiswa pun keluar. Nama Yuna ada diantara 50 pendaftar lainnya. Tak sempat mengecek nama Kai, Yuna langsung buru-buru memberitahu emak di dapur.


“Emakkk, alhamdulillah mak, Yuna dapet beasiswa ke Solo.” Pipinya dibanjiri dengan air mata bahagia.
“Alhamdulillah, luruskan niatmu supaya kelak segala yang akan kamu lalui selalu Allah mudahkan ya. Emak bangga sama Yuna, emak yakin Yuna akan jadi orang hebat. Pasti!” Sambil terus mendekap anak semata wayangnya.
“Emak, Yuna telepon Kai dulu ya. Yuna ga sabar denger Kai teriak-teriak pas tau kita bakal satu almamater lagi. Bentar ya mak.”


Meninggalkan emak, dan langsung menelpon Kai dengan wajah sumringah.


“Halo Kai, ah gila aku seneng banget deh. Bener-bener ya bosen sih aku dari TK bareng terus sama kamu. Tapi gapapa lah, itung-itung ada yang jagain aku nanti di Solo. Gimana nih seneng kan? Ayo makan-makan buat rayain hari ini.”
“Halo.”
“Kai ko kamu malah diem sih.”
“Kai.”
“Ah, Halo. Sorry. Kenapa Yuna? Tumben telepon.”
“Pasti kamu belum cek hasil tes beasiswa ya.”
“Oh udah kok.”
“Terus kenapa ekspresi kamu kaya gitu Kai. Gaada semangat-semangat nya sih.”
“Yuna, aku ga dapet nih. Belum rezekinya di Solo. Aku harus usaha lebih lagi. Tapi selamat ya, hebat banget nih Yuna. Semangat terus ya. Sorry aku gabisa jagain kamu ntar.”


Sedih iya, kecewa tentu. Harapan Yuna untuk bisa menghabiskan lagi masa perkuliahan dengan Kai di satu almamater yang sama, akhirnya pupus. Tapi Yuna berharap Kai dapat berkuliah di perguruan tinggi yang Kai dambakkan.


Masa SMA pun selesai. Yuna harus menghadapi babak baru menjadi seorang mahasiswi yang akan mengeyam pendidikan di bangku kuliah di salah satu kampus bergengsi di kota Solo. Pahitnya, Yuna akan hidup sebatang kara nantinya, meninggalkan emak.


“Baik-baik kamu disana. Jangan macem-macem. Kuliah yang bener, harus lebih rajin lagi. Sering-sering pulang ya kalo ada waktu atau libur panjang. Emak bakal kangen kamu. Jangan khawatirin emak, pasti baik-baik aja.” Membuka lengannya yang siap jadi pendaratan untuk anaknya.


Tak mampu membalas kata-kata emak, Yuna hanya menangis sembari menguatkan pelukannya pada emak.
Terakhir kalinya, pada perpisahan ini ditutup oleh lambaian tangan Yuna mengisyaratkan selamat tinggal pada Emak, Kai dan keluarganya.


Satu tahun kemudian


Tidak terasa, sudah 2 semester Yuna belajar di kota batik. Selama berjauhan dengan emak yang dilakukan Yuna adalah berkabar via telepon dan layanan video call. Tetapi sudah satu minggu terkahir Kai memberi kabar terkait kondisi emak yang sedang tidak baik.


“Kamu fokus aja  sama kuliah kamu disana. Emak disini ga sendiri, banyak yang jagain. Jadi kamu ga usah khawatir, aku pasti akan terus kabarin perkembangan emak, do’ain aja yang terbaik buat emak.”
“Tapi Kai, aku takut nanti hal buruk terjadi sama emak.”


Benar saja, 3 hari berturut-turut kondisi emak tak juga membaik, akhirnya keluarga Kai memutuskan untuk membawa emak Yuna ke rumah sakit untuk di tindak lanjuti. Sampai-sampai emak harus dilarikan ke ICU karena gula darahnya yang drop membuatnya sesak, sulit untuk bernafas.


Sudah hampir seminggu emak Yuna terbaring dengan selang yang melekat memenuhi sebagian tubuhnya. Itulah pemandangan yang setiap hari Yuna lihat ketika video call dengan Kai. Sepertinya setiap kali video call Yuna tidak pernah tidak menangis, pasti saja selama video call hanya rengekannya yang terdengar.


Sampai pada Selasa malam, pukul 21.51 Kai menelepon Yuna.


“Yuna, jangan nangis dulu. Hey tenangin diri kamu. Dengerin aku baik-baik. Sekarang emak udah ga sakit lagi. Emak udah bisa makan enak, tidur emak udah nyenyak. Emak udah gaada beban sekarang, udah bisa senyum. Sekarang kamu harus kuat. Kamu harus ikhlas, ya. Besok pagi aku yang bakal jemput kamu. Tiketnya udah aku pesen barusan.”
“Gak! Gak mungkin! Kamu ngomong apa sih Kai! Jangan ngada-ngada deh! Emak masih ada kan? Kai jawab! Emak ga mungkin ninggalin aku sendiri. Kai aku mau pulang sekarang! Sekarang! Gimana pun caranya aku harus pulang sekarang juga! Aku mau liat emak! Emak masih ada! Aku mau pulang sekarang! Pokonya sekarang!” Yuna berteriak tiada henti-hentinya dengan nada yang gemetar.


Kepulangan pertama Yuna dari Solo menjadi mimpi paling buruk baginya, jika memang ini mimpi buruk. Yuna ingin sekali lekas terbangun, atau Yuna akan memilih untuk tidak pernah tidur. Agar mimpi buruk itu tidak terjadi. Tapi inilah kenyataan yang harus Yuna hadapi.


Ketika Yuna berharap emak menyambut kepulangannya dengan pelukan, belaian, bahkan ciuman. Kini malah bendera kuning yang melambai di depan rumahnya.


Ya, emak menyambutnya dengan dingin. Tidak ada kecup ataupun peluk. Emak hanya menyambutnya dengan baringan kaku di balik kain samping cokelat yang menutupi jasadnya.


Yuna hanya mampu mengguncangkan tubuh emaknya yang kaku, berharap emak bisa bangun seperti sedia kala yang lantas memeluknya. Tapi itu nihil, yang terjadi pada akhirnya Yuna harus menelan pahit rasanya ketika harus menyaksikan emaknya yang disholatkan hingga di tempatkan di tempat peristirahatan terakhirnya.


Ini mungkin menjadi penyesalan terdalam untuk Yuna. Dia tidak bisa menemani emak di saat-saat terkahirnya. Bahkan ini adalah kepulangan pertamanya semenjak Yuna melambaikan tangannya satu tahun yang lalu. Tapi Yuna berjanji di depan pelataran nisan emaknya, Yuna akan membuat emak tersenyum melihat Yuna sukses di kemudian hari, emak harus bangga dengan pencapaian Yuna.

 Walaupun untuk kembali bermimpi rasanya sulit. Yang memenuhi kepalanya hanya memori bersama emak yang disusul dengan penyesalannya tidak pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun