Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang memiliki sejarah istimewa serta mencerminkan peradaban yang berkembang pada wilayah semenanjung Arab yang masih dipergunakan hingga saat ini. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa jenis semit yang masih menjaga ciri khas dan sifat dalam bahasa cikal bakalnya, tapi tidak mungkin sama dengan bahasa asalnya. Karena pasti ada sifat yang berbeda dengan bahasa semit lainnya. Dan  kehadiran dialek bahasa Arab pra-Islam, sebagai bentuk mula dari keragaman linguistik Arab, menjadi faktor pembuka untuk memahami bagaimana dinamika sosial, budaya, dan sejarah mempengaruhi pembentukan personalitas masyarakat Arab dan pusaka budaya lokalnya.
Bahasa Arab yang kita kenal saat ini adalah fushah, dianggap sebagai standar resmi nasional maupun internasional, berasal dari dialek Arab kabilah Quraisy. Kabilah Quraisy sendiri berada di Makkah pada masa Rasululloh ﷺ. Dan teranggaop bahasa murni sebagai panduan penulisan dalam Al-Qur’an serta penyusunan gramatikal Arab.
Dialek pada sebelum permulaan Islam tidak hanya sarana komunikasi, tetapi juga sebagai pengekspresian tradisi lisan, nilai-nilai sosial, dan simbol budaya lokal. Setiap dialek mencerminkan ciri khas kabilah yang menggunakannya, serta menyimpan jejak interaksi dengan masyarakat lain, kondisi geografis, dan kebutuhan sosial. Di sinilah personalitas pada sebuah masyarakat menjadi erat kaitannya dengan dialek yang digunakannya, karena bahasa tidak hanya mencerminkan pola pikir individu, tetapi juga budaya pada suatu tempat.
PENGENALAN LAHJAH DIALEK-DIALEK BAHASA ARAB
Secara etimologi, lahjah, dikutip dari Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab, bermakna gemar dengan sesuatu, menyanyikan (mengucapkan), dan membiasakannya.dengan makna lain, dalam kamus al-Munjid disebutkan pula bahwa lahjah berarti bahasa manusia yang menjadi karakter dan dibiasakan olehnya.
Dari makna etimologi tersebut dapat dipahami bahwa dialek merupakan aneka bahasa yang menjadi praktik ucapan setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Dialek pada suatu kabilah atau suku menurut Iskandary dan ‘Anani adalah bahasa yang di dalamnya terdapat ujaran berupa tarqiiq (menipiskan/menghaluskan), tafkhim (menebalkan), al-hamz (menekan), talyin (melunakkan), sur’ah (mempercepat), buth (menelankan), washl (hamzah tidak dibaca), qath (hamzah tetap dibaca), ada dan tiadanya imalah (bacaan antara fathah dan kasrah), dan tekanan-tekanan suara lainnya.
Cermin lain pada bahasa Arab menjadi lingua franca di Jazirah Arab. Sisi pertamanya, digunakan sehari-hari oleh setiap suku dalam hal umum atau ranah pribadi dengan bahasa dialek-dialek di daerah tertentu (‘ammiyah). Sisi lain kedua, bahasa yang digunakan oleh berbagai sastrawan atau penyair sebagai ungkapan isi hati mereka yang akan diungkapkan adalah bahasa Arab Fushah yang digunakan dalam acara atau forum resmi seperti khutbah, surat kabar, buku-buku, dll.
PEMBAGIAN KABILAH DI JAZIRAH ARAB DAN DIALEK PRA ISLAM
Kabilah-kabilah yang berada di jazirah Arab terbagi menjadi dua, kabilah baaidah (yang telah punah) dan baaqiah (yang masih ada). Kabilah baaidah, seperti Tsamud, Ad, Thasm, dan Jadis, sudah tidak ada lagi. Adapun kabilah baaqiah terbagi menjadi kabilah aaribah (Arab asli) dan mustaribah (yang telah naturalisasi di tanah Arab). Kabilah aaribah adalah keturunan Qahthan dari Yaman, sedangkan mustaribah (Hijaz, Najd, Nabasia, Palmyra) adalah keturunan Adnan, yang berasal dari keturunan Ismail `alaihissalaam.
Dialek bahasa Arab juga dibedakan menjadi dua, yaitu al-arabiyah al-baaidah (bahasa Arab yang telah punah) dan al-arabiyah al-baaqiyah (bahasa Arab yang masih hidup). Dialek al-arabiyah al-baaidah hanya diketahui melalui prasasti yang ditemukan, sedangkan al-arabiyah al-baaqiyah merupakan bahasa yang digunakan dalam puisi zaman jahiliyah, Al-Qur’an, dan di berbagai wilayah Arab hingga saat ini.
Dialek al-baaqiyah terbagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu dialek suku perkotaan (hadlari) dan suku pedesaan (badawi). Suku badawi, yang mendiami wilayah timur jazirah Arab, cenderung menggunakan pelafalan yang lebih keras dan jelas, seperti pengucapan hamzah. Mereka juga cenderung mempersingkat kata-kata. Sebaliknya, suku hadlari, yang tinggal di wilayah barat seperti Hijaz, cenderung berbicara lebih lambat dan melemahkan pelafalan, seperti dalam pengucapan hamzah.Â