Mohon tunggu...
Putri Nur Indah Pratiwi
Putri Nur Indah Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Ayam kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cinta yang Tidak Dikenal

16 Mei 2016   00:21 Diperbarui: 23 Mei 2016   19:42 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://d.wattpad.com/story_parts/204534476/images/14268fc9358de8c1.jpg

Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang bahkan belum pernah kita temui sebelumnya?

Saya tahu.

November, 2015.

Berawal dari keisengan saya bermain Twitter dikala waktu luang, saya mem-follow akun-akun milik orang lain yang tidak saya kenal, namun dengan isi tweet yang lucu dan smart. Mulai dari mem-follow si A, kemudian nyambung ke si B, si C, si D, hingga ke si Z yang ternyata satu sama lain saling terhubung. Di situlah awal mula saya mengetahuinya.

Desember, 2015.

Saya iseng ingin mencari tahu apa sih jejaring sosial ask.fm (yang sering malang-melintang di Timeline Twitter saya), kemudian saya membaca pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penanya dan dijawab oleh yang ditanya, hingga membuat saya untuk 'loncat' dari ask.fm si A, menuju ask.fm si B, si C, si D, sampai kemudian saya 'loncat' ke ask.fm Beliau (yang saya ketahui dari Twitter tersebut). Awalnya saya tidak tahu kalau orang yang saya baca ask.fm-nya itu adalah orang yang sama dengan yang saya follow di Twitter. Maklum, saya tidak tahu betul nama lengkapnya Beliau. Dan profile picture yang terpasang di Twitter dengan ask.fm-nya pun berbeda. Membuat saya tidak menyadarinya.

Lalu, beberapa hari setelahnya, ketika saya sedang mengakses akun LinkedIn milik orang lain, tanpa sengaja muncul akun LinkedIn-nya Beliau di pojok sebelah kanan. Kemudian saya klik akunnya (dengan tanpa rasa berdosa), dan muncullah profile lengkapnya (ya, saya tahu kalau kita mengakses akun LinkedIn milik orang lain, maka orang lain tersebut akan memperoleh notifikasi bahwa ada viewer yang mengakses LinkedIn-nya). Sampai sejauh itupun, saya masih belum menyadari kalau Beliau yang saya follow Twitter-nya, saya baca ask.fm-nya, dan saya akses LinkedIn-nya itu adalah orang yang sama.

Sampai suatu hari, ketika saya sedang melihat Timeline Twitter, muncullah Beliau di Timeline saya dengan sebuah foto yang di-upload. Dalam foto itu, ada 4 orang Laki-laki, 2 orang di antaranya mengenakan pakaian berjas dan berkemeja. Di situlah saya mulai mengira-ngira,

"Kok, foto Laki-laki yang ini sama dengan profile picture yang gue liat di LinkedIn, ya?"

"Jangan-jangan, si Mas yang berdiri di nomor dua dari sebelah kanan ini adalah si Mas pemilik akun Twitter ini dan orang yang sama dengan yang gue liat di LinkedIn?"

"Ya ampun."

Segala macam pikiran telah berkecamuk di otak saya.

Lalu, saya teringat kembali dengan ask.fm seseorang yang pernah saya baca. Saya segera akses kembali ask.fm-nya karena saya pernah melihat Beliau meng-upload foto dirinya sendiri. Setelah saya amati, saya menemukan beberapa kesamaan, di antaranya: nama depannya, kacamatanya, dan rambut-rambut di sekitar wajahnya. Dan yang baru saya sadari juga, ternyata saat itu profile picture Twitter-nya Beliau juga menampakkan rambut-rambut di sekitar wajahnya.

Saya tertawa kecil.

Jadi, orang yang selama ini saya follow Twitter-nya, saya baca ask.fm-nya, dan saya akses LinkedIn-nya, adalah orang yang sama?

Ya, itulah Beliau.

Januari, 2016.

Saya mulai mencuri-curi waktu luang untuk mengamati Beliau di Twitter. Ada tweet yang berbau cinta, ada tweet yang berbau humor, ada tweet yang berbau kesedihan, dan ada pula tweet yang berbau sindiran. Walau saya tidak tahu apakah itu hanya sekadar konten atau memang berdasar dari hati dan pikirannya.

Berhari.

Berminggu.

Berbulan.

Saya semakin sering mengamati Beliau di Twitter. Seolah hal tersebut menjadi ritual yang wajib saya lakukan ketika memiliki waktu luang.

Karena sering mengamatinya, tanpa sadar saya jadi mengenal beberapa kebiasaannya.

Saya mengetahui bahwa Beliau memiliki kehidupan yang 'bebas'. Beliau menyenangi kehidupan yang tanpa kekangan dan paksaan dari pihak manapun. Beliau tidak suka dipaksa. Sungguh kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan saya. Hidup saya 'terikat', penuh dengan kekangan, paksaan, dan tuntutan. Apapun yang dibebankan kepada saya, segalanya harus saya lakukan dengan teratur. Sungguh kehidupan yang sangat membosankan, bukan? Dalam hal ini, saya iri dengan Beliau yang bisa melakukan apapun sesuka hati.

Saya menyenanginya.

Maret, 2016.

Alangkah kagetnya saya ketika mengetahui bahwasannya Beliau berkantor di salah satu gedung perkantoran yang terletak di Sudirman, yang mana Kakak kedua saya juga berkantor di gedung tersebut. Namun, berbeda lantai, sepertinya. Kakak saya berkantor di lantai 7, sedangkan saya tidak tahu Beliau berkantor di lantai berapa.

Setelah mengetahui hal tersebut, ada bisikan-bisikan yang mendorong saya untuk, "Ayolah... tanya ke Kakakmu... apakah keduanya saling mengenal?", "Apakah keduanya pernah berpapasan di kantor?", "Apakah keduanya pernah berada di satu lift yang sama?", "Bisakah minta tolong ke Kakakmu untuk berkenalan dengannya?"

Sayangnya, sampai detik ini pertanyaan itu masih belum saya tanyakan juga.

Padahal, pada 2015 lalu, entah bulan apa, saya pernah menemui Kakak saya di kantornya. Waktu itu saya entah gimana caranya, tiba-tiba ada di lantai 2, sedangkan Kakak saya sudah ada di lantai bawah, di luar lebih tepatnya. Akhirnya saya turun menggunakan lift, dan... harus berdesak-desakkan dengan para penghuni gedung perkantoran tersebut yang sebagian besar adalah Laki-laki keturunan Chinese. Pengalaman sekali-kalinya menjajal lift salah satu gedung perkantoran Sudirman di tengah para pekerja kantoran. Sayangnya, saat itu saya belum mengenal si Mas ini, jadi kalaupun selama saya main di gedung tersebut saat itu berpapasan dengannya, saya pasti tidak menyadarinya.

Pada 22 Maret 2016 ini juga, untuk kedua kalinya saya mengunjungi gedung perkantoran tersebut. Saat itu, ternyata bertepatan dengan Demo Supir Taksi yang menolak keberadaan kendaraan beraplikasi online, sehingga kondisi jalanan macet luar biasa dan cenderung sulit untuk masuk ke gedung tersebut. Akhirnya, Kakak pertama saya, yang saat itu mengantarkan, berinisiatif lewat jalan lain, yang saya tidak tahu nama jalannya apa. Pokoknya, saat itu kami tiba di belakang gedung kantor, yang di sebelah kanan dan kiri jalannya terdapat tempat makan layaknya Kantin sekolah. Besar harapan, ketika sampai di gedung perkantoran tersebut, saya bisa bertemu dengan si Mas ini, namun kenyataan berkata lain. Kakak saya sudah berada di luar gedung untuk makan siang. Jadi, kami hanya bertemu di luar dan sekalian saya membawakan makan siang untuknya yang dititipkan oleh Ibu saya. Pertemuan pun hanya berlangsung sekitar 5 menit dan setelah itu saya pulang. Tidak bertemu dengan siapa-siapa.

April, 2016.

Saya mengetahui nomor handphone-nya. Ya, surprisingly. Aneh? Tentu tidak. Saya mendapatkannya dari ask.fm-nya. Ya, lagi-lagi saya membaca ask.fm-nya. Saya tidak tahu kenapa saya bisa sebegini penasarannya kepada seorang yang bahkan tidak saya ketahui siapa dan belum pernah saya temui sebelumnya. Namun, untuk nomor handphone ini, saya temukan secara tidak sengaja. Beliau memang tidak menampilkan secara langsung nomor handphone-nya. Namun, Beliau menampilkan sebuah tiket yang di-upload, yang mana tertulis data diri beserta alamat si pemilik tiket. Yang terlihat pada tiket memang hanya nama si pemiliknya, selebihnya di-edit dengan coretan. Namun pada bagian nomor handphone, Beliau tidak mengedit nomor handphone-nya dengan baik, sehingga bisa ditebak dengan mudah. Bahkan saya hanya butuh sekian detik untuk menerka-nerka nomor handphone-nya dan ternyata itu benar. Terbukti dengan munculnya profile picture-nya di What'sApp saya. Walaupun profile picture-nya bukan wajah aslinya, tapi saya meyakini kalau itu memang benar nomornya beliau.

Lantas, apakah saya menghubunginya?

Apakah saya mengirimi Beliau sebuah pesan?

Saya tidak seberani itu. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya orang kecil yang tidak sebanding dengannya. Di mata saya, Beliau adalah orang 'besar', orang berkelas, dan orang sibuk. Sedangkan saya? Siapalah saya ini. Saya hanya tenaga medis biasa yang lahir dari keluarga yang tidak berkelas. Ibu saya seorang Ibu Rumah Tangga dan Bapak saya seorang pensiunan Karyawan Swasta. Bahkan, untuk pendidikan pun saya hanya mengandalkan beasiswa dan bertahan sekuat mungkin agar beasiswa saya tidak dicabut dan kontrak kerja saya juga tidak dihentikan. Kehidupan saya tidak seperti Beliau. Saya takut kalau saya tidak bisa mengimbangi Beliau. Toh, Beliau juga tidak mungkin menoleh ke arah saya.

Saya jadi teringat dengan kisah teman perempuan saya, sebut saja Mawar (nama samaran), yang pada tahun 2015 lalu juga mengalami kisah yang sama seperti saya.

Si Mawar ini adalah seorang Dosen di bidang Kesehatan. Beliau minta dijodohkan dengan seorang Dokter di salah satu Rumah Sakit Swasta cabang Bekasi Timur. Kala itu, saya termasuk ke dalam orang yang ikut membantu menjodohkan Beliau dengan si Mas Dokter. Saya dan teman-teman berusaha semampunya untuk mencari info sana-sini, mencari tahu nomor handphone-nya, dan ternyata... dapat!

Saya juga termasuk ke dalam orang yang menyerukan si Mawar untuk me-What'sApp si Mas Dokter supaya bisa mengenal lebih jauh. Namun Mawar merasa takut dan tidak percaya diri, persis seperti yang saya rasakan sekarang. Akhirnya saya merasakan apa yang Beliau rasakan dulu.

Saya bahkan bercerita kepada Beliau lewat What'sApp kalau saya sekarang juga merasakan apa yang dulu Beliau rasakan. Tanpa saya tanya pun, Beliau langsung mengatakan,

"Jangan kayak saya yah."

"Punya WA dr. (menyebut nama) tapi disimpan doang."

"Pengin dimodusin tapi bingung modus apa."

"Pengin kenalan dan ngobrol langsung tapi nyali gak sebesar itu."

Persis seperti yang saya rasakan.

Perbedaan antara kisah saya dengan si Mawar ini adalah pada kenyataan. Beliau sudah melihat si Mas Dokter secara nyata. Sedangkan saya? Melihatpun belum pernah. Hanya sebatas melihat di Twitter dan menjawab setiap tweet-nya yang menurut saya bisa saya balas. Si Mas juga punya kontrol untuk menjawab atau tidak komentar-komentar yang dilontarkan. Kalau memang tidak dijawab... ya sudah.

Perbedaan lainnya adalah teman-teman saya yang lain, yang memiliki nyali lebih besar, mereka berinisiatif untuk me-What'sApp si Mas Dokter seolah-olah What'sApp itu berasal dari si Mawar. Masalah yang dibahas? Seputar kesehatan tentunya. Karena keduanya memang sesama orang kesehatan walau beda profesi. Ketika What'sApp-nya berhasil dibalas, betapa senangnya kami sebagai teman. Bahkan mungkin si Mawar ini tidak bisa tidur saking senangnya. Ketika Idul Adha 2015 lalu tiba, si Mawar bahkan sudah berani untuk me-What'sApp si Mas Dokter terlebih dulu dan mengucapkan Selamat Idul Adha. Senangnya.

Sedangkan saya? Apa yang harus saya lakukan? Tidak ada yang membantu saya untuk me-What'sApp si Mas ini. Apa yang mau saya bahas? Kami memiliki latar pendidikan yang berbeda. Kalau saya membicarakan masalah pemeriksaan urin, bisa saja Beliau membicarakan masalah pajak.

Apa yang harus saya lakukan?

Mei, 2016.

"Apa yang harus aku lakukan ketika aku menyenangi seorang Lelaki yang hanya aku kenal lewat Twitter tapi aku berhasil memiliki nomor handphone-nya?" Tanya saya kepada seorang teman yang lain.

Beliau menjawab, "Lo kasih aja emot senyum."

"Hah?!"

"Iya. Jangan What'sApp yang resmi kayak, 'Halo, saya Putri. Saya dapat nomor kamu dari bla bla bla...' karena justru ada orang yang ketika lo gituin malah ngerasa, 'Ih, ini orang apaan sih?!' atau ada juga yang bakal senang, 'Wah! Ternyata ada yang perhatian nih sama gue sampai sebegininya.' Dan kita kan gak tau dia tipe yang pertama atau yang kedua, maka dari itu, lo kasih emot senyum aja. Toh, kalau dia memang penasaran, pasti akan direspon."

Saya hanya terdiam. Antara yakin atau tidak yakin untuk me-What'sApp Beliau hanya dengan emot senyum.

Saya merasa bahwa saya sudah gila. Asli. Saya begitu mudah untuk menasihati seorang teman yang sedang memiliki permasalahan asmara, tapi untuk masalah diri sendiri, bahkan untuk me-What'sApp dengan emot senyum pun, saya bingung. Saya memang sudah gila.

"Jangan menyenangi seseorang karena hartanya, Put." Lanjut seorang teman.

"Hei! Aku nggak pernah melihat seseorang dari hartanya! Aku nggak peduli Beliau siapa, apa jabatannya, Beliau orang yang seperti apa, aku nggak peduli!"

"Terus, lo senang sama dia karena apanya? Mukanya ganteng?"

"Hahaha. Beliau kalau menurutku bukan orang yang ganteng. Di sekitar wajahnya Beliau itu ditumbuhi rambut-rambut. Aku kan orangnya geli-an."

"Terus, lo suka apanya?"

"Ya nggak tau... gimana ya... nggak tau... aku juga bingung kalau ditanya begitu."

"Ya ampun, Put. Kayaknya lo udah gila."

"Terus, aku harus gimana? Aku menyenangi seseorang yang bahkan belum pernah aku temui, Kak. Aku harus gimanaaaa?"

Saya memang sejak dulu sudah dididik oleh kedua orangtua agar tidak menjadi seorang yang pemilih. Kenapa? Karena saya Perempuan. Ibu saya selalu berpesan kepada saya,

"Perempuan itu, secantik dan secerdas apapun dia, kodratnya tetap dipilih. Sedangkan Laki-laki, seburuk apapun rupa dan tingkah lakunya, kodratnya tetap memilih."

"Perempuan itu nggak boleh milih. Di mana-mana mah Laki yang milih!"

Kalau saya seorang pemilih dan memandang harta di atas segala-galanya, pasti saya sudah menjatuhkan pilihan kepada Pilot. Kenapa? Karena sejak SMP dulu, saya memang sudah kagum dengan Pilot. Menurut saya, Pilot itu orang tercerdas, terdisiplin, dan terbertanggungjawab yang pernah ada di dunia ini. Selain itu, kita semua pasti tahu kalau gaji seorang Pilot itu... tidaklah kecil. Menurut video di Youtube yang pernah saya tonton, bisa lah seorang Pilot mengantongi sekitar 60-70 juta rupiah per bulannya. (Maaf, bukan berarti saya mengatakan bahwa Pacar/Istri seorang Pilot itu adalah Perempuan yang matre, ya.)

Tapi saya tidak seperti itu. Nyatanya, saat ini, saya justru jatuh pada seorang Lelaki yang bukan Pilot. Malahan Beliau memiliki rambut-rambut yang tumbuh di sekitar wajahnya. Rambut-rambut yang membuat saya geli. Ya, saya seorang yang geli-an. Seorang teman yang berbisik di telinga pun, meskipun saya mengenakan kerudung, pasti akan tetap terasa gelinya. Membuat saya menjadi merinding.

Padahal, sedari kecil dulu, saya selalu mengingat pesan para tetangga ketika saya sedang menyapui halaman rumah,

"Nyapunya yang bersih, ya. Biar Suaminya nggak brewokan."

Sehingga membuat saya benar-benar bersih ketika menyapu dan tidak membiarkan sehelai daun pun tertinggal. Sampai sekarang.

Nyatanya apa? Saya justru jatuh pada seorang Lelaki yang di sekitar wajahnya ditumbuhi rambut-rambut. Bahkan, Lelaki yang tidak saya kenal dan belum pernah saya temui sebelumnya. Aneh, bukan?

Banyak Laki-laki di luar sana (baca: tempat yang saya singgahi setiap hari) yang sebenarnya cukup baik, berwajah ganteng, dan jelas-jelas saya temui secara langsung setiap harinya, tapi entah mengapa tidak ada yang berkenan di hati saya. Sedangkan pada orang yang belum pernah ditemuilah, justru hati ini dijatuhkan.

Di sisi lain, saya juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa Beliau adalah orang 'besar'. Sebagai orang 'besar', sudah pasti Beliau memiliki banyak teman, baik itu Laki-laki maupun Perempuan. Hal lain yang membuat saya tidak percaya diri untuk me-What'sApp Beliau adalah karena teman-temannya itu. Terutama teman Perempuan.

Membuat saya selalu berpikir,

"Ah, teman Perempuannya pasti banyak yang lebih cantik, pintar, berkelas, dan berkarir gemilang. Pasti lebih di atas segala-galanya dibanding saya yang bukan apa-apa."

"Bisa saja Beliau menyenangi teman Perempuannya itu."

"Atau... sebaliknya." (Demi Tuhan! Tolong jangan katakan itu.)

Beliau adalah Laki-laki. Beliau memiliki hak untuk memilih. Semakin banyak teman Perempuan yang 'High Class' di sekitarnya, semakin mudah bagi Beliau untuk menunjuknya. Terlebih lagi jika sudah lama saling kenal. (Demi Tuhan! Aku tahu ini menyakitkan. Aku tahu!)

Saya tidak tahu sampai kapan nomor handphone-nya akan tetap saya pertahankan tanpa saya gunakan. Sulit bagi saya untuk mengingkari bahwasannya Beliau adalah orang 'besar' yang jauh di atas saya dan tidak mungkin menoleh ke arah saya. Keberanian saya sejauh ini hanya menyemangatinya, mendoakannya, dan bersikap baik serta hormat kepadanya ketika saya berkeinginan untuk membalas tweet-nya. Masalah dibalas atau tidak, Beliau memiliki kontrol atas hal itu.

Mengutip dari Novelnya Ilana Tan yang berjudul Autumn in Paris:

“Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku."

“Aku mencintainya.”

Jadi, apa yang harus saya lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun