"Kamu takut? Atau jangan-jangan sekarang memang sudah tidak perawan?" katanya yang terdengar menantang.
"Permainan yang menarik, kapan kita mulai?"
"Aku suka keberanianmu, Emma. Kalian, bagaimana?" Suna tersenyum lirih ke Emma, lalu melempar pandangan ke yang lainnya.
"Aku berani, tapi tidak tahu kalau Yuki, katanya malam ini akan pergi kencan dengan Gandhi. Kita taruhan saja, apa Ghandi yang terlebih dulu atau jembalang yang akan menidurinya," kata Yuri dengan tertawa kecil seraya membicarakan sebuah lelucon yang kemudian diikuti dengan tawa Suna dan Emma.
"Ya, aku berani," kata Yuki yang membantah perkataan kembarannya.Â
"Hmm, ya aku tahu, kamu memang cukup berani. Ajeng? Bagaimana denganmu?"
"Mari kita mulai," kata Ajeng.Â
Suna mulai membagikan satu persatu gumpalan tanah putih itu, yang kemudian mereka simpan dalam kantong serut masing-masing. Kelima gadis itu saling melempar pandangan, menerka-nerka siapakah orang pertama yang akan kedatangan tamu tengah malam ini. Gandhi datang ke tengah lingkaran sepi lima gadis perawan itu, membawa senapan dan sekantong daging babi bakar hasil berburu sore tadi.
"Yuki, daging babi yang aku janjikan, ini untukmu," kata Gandhi memberikan kantong daging babi bakar.
"Kita makan di kedai kopi sana saja."
Yuki menggandeng Gandhi ke arah kedai kopi yang letaknya tak jauh dari lapangan sabung ayam, tepatnya berada di sisi kiri pagar pintu masuk lapangan.