Sore itu, pada hari jumat pon di bulan September 1994, selesai pemakaman Dewi Paramastri untuk kedua kalinya setelah ia meninggal pada tahun 1957 yang lalu dan kemudian bangun kembali. Keempat anaknya berharap sore itu adalah kematian yang sesungguhnya, bukan hanya numpang tidur di dalam tanah seperti peristiwa 37 tahun silam.Â
Namun hal lain menjadi sorot perhatian banyak orang, bukan tentang kematiannya, dan bukan tentang ketiga anaknya yang cantik ataupun anak bungsunya yang buruk rupa. Kali ini adalah gadis dengan kulit putih pasir yang turut menghadiri pemakaman, menggenggam jari jemari Adinda. Â
Seperti biasa, hidup manusia mungkin terasa suram jika tidak membicarakan hal-hal yang mengganjal, meski dalam keadaan berkabung sekalipun. Mulut tetangga-tetangga meresahkan itu terus saling berbisik sambil menyusuri jalan pulang, seperti tak ada cela untuk berhenti membicarakan setiap garis keturunan dari Dewi Paramastri.Â
Kini Suna, satu-satunya cucu Dewi Paramastri yang terlihat menghadiri pemakaman menjadi bahan perbincangan sebab tak terlihat cucu-cucunya yang lain dari wanita pelacur tersohor di Tamsil itu.
Penampakan gadis yang jauh berbeda dari ibunya, membuat semua orang terpana seperti melihat Dewi Paramastri bangkit dari kuburnya dan semakin awet muda. Sebab sangat berbeda dengan Adinda si bungsu yang buruk rupa, namun anaknya menuruni kecantikan nenek dan bibi-bibinya.
Hari menjelang gelap, langit yang semula berwarna jingga kini mulai memudar. Sesampainya mereka, empat anak Dewi Paramastri dan cucunya di rumah, Suna berpamitan kepada ibunya, ia hendak kembali ke asramanya.
"Bu, aku harus kembali ke asrama, semoga nenek cantik tidur dengan tenang".
"Ya pergilah, kamu memang harus kembali ke sana, lanjutkan apa yang sudah dimulai".
Sebelum pergi, mereka saling berpelukan, seperti hendak akan menyusul Dewi Paramastri ke peristirahatan, dan tidak akan kembali.Â
"Sudah, andongmu sudah menunggu, pergilah".
Suna pun pergi menuju asramanya bersamaan andong dengan kusir yang duduk di muka. Asramanya yang masih satu kota membuat perjalanan tidak terasa jauh, ia sampai bertepatan dengan waktu dimulainya sabung ayam di tanah lapang samping asrama.Â
Masa itu sekitar pukul tujuh malam, merupakan waktu yang masih terlalu sore jika digunakan untuk tidur berselimut hangat di atas ranjang, kecuali sebuah tempat pelacuran. Suna turun dari andongnya menghampiri keramaian sabung ayam.Â
Di sana juga terdapat empat kawan sekamarnya yang sudah lebih dulu berdiri siap menyaksikan pertunjukan sabung ayam dengan sigaret yang diapit jari.
"Aku punya permainan," kata Suna kepada kawan-kawannya.
"Coba kita lihat, apa yang dia bawa dari pemakaman pelacur tersohor di Tamsil," kata Yuri, gadis keturunan Jepang, anak dari salah satu wanita di rumah Mama Kalong.
Suna mengeluarkan kantong serut dalam tas rajut coklat yang menyelempang di bahunya. Membuka tali kantong dan mengeluarkan beberapa gumpalan tanah putih yang keras.
"Kamu mau kita nimpuk ayam-ayam itu, Suna?" Kata Emma, gadis keturunan Belanda, anak dari pemilik tanah lapang yang dipakai sebagai tempat sabung ayam itu.Â
"Ini tanah putih, aku bawa dari pemakaman nenek cantik, Dewi Paramastri yang paras kecantikan tidak tertandingi. Kata Rosinah, tanah ini akan hancur menjadi butir-butir pasir halus, kalau gadis yang menyimpannya kehilangan keperawanan karena ditiduri jembalang".
"Lalu?" kata Yuki, saudara kembar Yuri. Sedikit terlihat perbedaan di antara mereka berdua, yaitu warna kulit, Yuki sedikit lebih gelap dari Yuri.Â
"Ini permainannya, kita akan membuktikan kata-kata itu".
"Maksud kamu apa Suna? Kita masih enam belas tahun, ibu-ibu kita mengasingkan ke asrama untuk tidak bercinta sebelum delapan belas tahun, bagaimana kalau sampai terdengar ke telinga mereka?" kata Ajeng, asli kelahiran Pribumi.Â
"Kamu takut? Atau jangan-jangan sekarang memang sudah tidak perawan?" katanya yang terdengar menantang.
"Permainan yang menarik, kapan kita mulai?"
"Aku suka keberanianmu, Emma. Kalian, bagaimana?" Suna tersenyum lirih ke Emma, lalu melempar pandangan ke yang lainnya.
"Aku berani, tapi tidak tahu kalau Yuki, katanya malam ini akan pergi kencan dengan Gandhi. Kita taruhan saja, apa Ghandi yang terlebih dulu atau jembalang yang akan menidurinya," kata Yuri dengan tertawa kecil seraya membicarakan sebuah lelucon yang kemudian diikuti dengan tawa Suna dan Emma.
"Ya, aku berani," kata Yuki yang membantah perkataan kembarannya.Â
"Hmm, ya aku tahu, kamu memang cukup berani. Ajeng? Bagaimana denganmu?"
"Mari kita mulai," kata Ajeng.Â
Suna mulai membagikan satu persatu gumpalan tanah putih itu, yang kemudian mereka simpan dalam kantong serut masing-masing. Kelima gadis itu saling melempar pandangan, menerka-nerka siapakah orang pertama yang akan kedatangan tamu tengah malam ini. Gandhi datang ke tengah lingkaran sepi lima gadis perawan itu, membawa senapan dan sekantong daging babi bakar hasil berburu sore tadi.
"Yuki, daging babi yang aku janjikan, ini untukmu," kata Gandhi memberikan kantong daging babi bakar.
"Kita makan di kedai kopi sana saja."
Yuki menggandeng Gandhi ke arah kedai kopi yang letaknya tak jauh dari lapangan sabung ayam, tepatnya berada di sisi kiri pagar pintu masuk lapangan.
"Aku mau ke asrama, belum mandi, masih bau pemakaman, kalian selamat bersenang-senang."
"Mau aku temani, Suna?" kata Ajeng.Â
"Untuk apa?"
"Kalau nanti jembalang mengawinimu saat kau mandi, aku bisa memantau tanah putih milikmu."
"Tidak perlu, bersenang-senanglah Ajeng, atau mungkin kau bisa main ke rumah Mama Kalong untuk menghilangkan keperawananmu sebelum tubuhmu disentuh jembalang."
"Aku Pribumi asli, anak Bupati Tirto, laki-laki mana yang mau menyentuhku sebelum bertemu Ayah."
"Ya sudah, carilah laki-laki yang mau menemui Ayahmu, Ajeng," kata Yuri.
Ajeng pergi meninggalkan pembicaraan tanpa sepatah kata, pergi dengan wajah sedikit murung berjalan ke luar pintu pagar lalu mengambil jalan ke arah kanan menuju taman kembang.Â
"Ide bagus Yuri. Aku akan menemui Ayahku, dia pasti punya kenalan perjaka jantan pemain sabung ayam di tanah ini," Emma yang menanggapi kata-kata Yuri.Â
"Bersenang-senanglah, perhatikan terus tanah putihnya, semoga jembalang tidak datang malam ini dan bertamu ke tubuh kalian. Aku gerah, ingin mandi."
Suna meninggalkan pijakannya, berjalan santai ke asrama, sedangkan Emma menemui Ayahnya, pemilik tanah lapang sabung ayam, dan Yuri berjalan ke pinggir lapangan, memojokkan diri di bawah pohon jati. Yuri mengeluarkan gumpalan tanah putih dari kantong serutnya, mengambil batu sebesar kepalan tangan dan menumbuk gumpalan tanah itu, tapi ternyata tanahnya benar-benar sangat keras.Â
"Aku harus menghancurkan tanah putih ini, sebelum datang jembalang mendekatiku. Jika dia melihat tanah ini hancur, mungkin dia akan berubah pikiran untuk menyetubuhiku, dan beralih ke gadis-gadis lain."
Bermacam-macam bentuk dan jenis batu yang ditemuinya di bawah pohon jati tersebut sudah dicoba untuk menghancurkan gumpalan tanah namun tidak terlihat tanda-tanda akan hancur ataupun retak dari tanah putih itu, malah terlihat makin mengeras kuat.Â
Suna mulai menanggalkan pakaiannya di dalam bilik mandi, menggosok badannya dengan menjadikan gumpalan tanah putih sebagai sabun. Digosok berurutan dari ujung-ujung kuku kaki hingga ujung jari jemari tangan manisnya. Kemudian dibilas dengan air tempayan yang sudah dicampur dengan bunga lili.
Masih di kedai kopi, di kiri lapangan sabung ayam, Yuki dan Ghandi mengunyah potongan-potongan tipis daging hasil buruan.
"Bagaimana? Aku selalu menepati janjiku bukan?"
"Iya, kau memang laki-laki pemburu sejati."
"Setelah ini, apalagi yang mau aku bawakan untukmu, Yuki?"
"Tidak, ini sudah cukup. Ghandi, apa kamu masih sering mengunjungi rumah Mama Kalong?"
"Aku sudah meninggalkan tempat itu sejak awal bertemu kamu."
"Bisa malam ini kita ke sana?"
"Untuk apa?"
"Bercinta denganku."
"Tapi, ada Ibumu di sana, dan kau masih enam belas tahun, kalau keperawananmu hilang dan terdengar ke telinganya, bukan hanya keluar dari asrama, kamu juga akan menjadi pelayan tentara Jepang di rumah Mama Kalong."
"Aku tahu itu, tapi aku ingin bercinta denganmu malam ini. Apa birahi tidak memancing membakarmu jika bercinta dengan perawan Jepang sepertiku? Ataukah kamu lebih menikmati tidur bersama pelacur berpengalaman di rumah Mama Kalong? Seperti sebelum kau mengenalku, Ghandi."
"Aku mencintaimu Yuki, kita bisa saling mencintai di mana pun, tidak harus pergi ke Mama Kalong. Sekitar jarak lima puluh dua kaki dari asramamu, ada gubuk kosong, jika kau mau kita bisa ke sana."
Di taman kembang yang gelap dan sepi, Ajeng termenung murung, memikirkan permainan konyol itu. Bagaimana ia bisa mengawini laki-laki di tanah itu kalau Bupatinya adalah Ayahnya sendiri. Meskipun ia menanggalkan pakaiannya di hadapan tentara-tentara Jepang dan Belanda sekalipun, tidak akan mungkin ada yang berani menyentuhnya.Â
Mereka pasti akan lebih memilih pergi dan bermain dengan pelacur-pelacur di rumah Mama Kalong meskipun harus mengeluarkan uang sewa daripada hidup sengsara akibat menyetubuhinya.
Sebagai perawan dengan pesona kecantikan di atas rata-rata, Ajeng merasa sangat terhina jika keperawanannya lebih dulu diambil oleh jembalang, baginya lebih baik melayani prajurit-prajurit Ayahnya meskipun itu juga terdengar menjijikan.Â
Pikirannya mulai kalut ia melihat ranting kayu panjang yang sebesar telunjuk, menyingkap kain songket yang melilit di pinggangnya, sambil mengendalikan napas dan memejamkan mata, ia memasukkan ranting kayu tersebut ke dalam kemaluannya, bibir atas dan bawahnya saling menggigit untuk mencegah keluarnya suara teriaknya yang tak kuat menahan rasa sakit.Â
Sedangkan Emma bersama anak laki-laki Kamerad Koba, rekan bisnis Ayahnya. Mereka berjalan dengan rangkulan mesra ke rumah Mama Kalong, dengan persetujuan Ayahnya dan perjanjian yang tidak akan terdengar sampai ke telinga Ibunya. Emma, merasa diuntungkan dengan adanya permainan ini, dengan begitu ia bisa melepaskan birahinya tidak hanya seperti melihat kambing kawin di ternak asrama. Ia akan menjajal kebolehan di atas ranjang, menantang diri seberapa piawai dan menggoda tubuhnya di mata laki-laki.Â
Kelima gadis itu sibuk masing-masing dengan permainan yang mereka setujui bersama. Hingga tak terasa kalau hari itu sudah berganti, fajar mulai keluar tanpa malu-malu dari ufuknya, cahaya kemerah-merahan tampak di langit sebelah timur menjelang matahari terbit. Satu persatu gadis itu masuk ke dalam bilik asrama dengan mimik wajah yang beragam. Namun Suna masih berselimut hangat di atas ranjangnya.
"Kamu terlihat bahagia sekali, Emma," kata Yuki yang baru saja masuk dan menjumpai wajah Emma dengan senyum simpul.
"Aku semalam mengawini anak Kamerad Koba, dia sangat puas dan terpesona denganku, sepertinya aku akan menjadi pengganti Dewi Paramastri, yang kecantikannya tidak tertandingi dan dimaui seluruh laki-laki di berbagai penjuru dunia. Bagaimana denganmu, Yuki?"
"Jatuh tepat dipelukan, Ghandi benar-benar mencintaiku, kami menghabiskan malam dengan gelora asmara yang membakar gubuk tua," kata Yuki yang kemudian ia tertawa karena mendengar ucapannya sendiri.Â
Yuri keluar dari bilik mandi, dengan memasang wajah datar yang hendak berjalan ke lemari pakaiannya.Â
"Kamu di kamar semalaman, Yuri?" tanya kembarannya.Â
"Tidak, hanya setengah malam, setengahnya aku habiskan di bawah pohon jati dengan batu-batu bodoh yang tidak berguna."
"Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Emma.Â
"Aku hendak menghancurkan gumpalan tanah putih itu, namun malah makin mengeras dan kuat".
Ajeng masuk ke tengah bilik dan perbincangan mereka, yang sontak saja mengejutkan. Ada bercak-bercak darah di kain songket yang membuat semua menjadi bertanya-tanya.Â
"Apa yang terjadi, Ajeng?" Yuri mendekati dan merangkul untuk duduk di atas ranjangnya.
"Aku menusukkan ranting kayu ke dalam kemaluanku. Aku tidak sudi dikawini jembalang."
Semua mematung terkejut, Suna bangun dari tidurnya, sepertinya memang sudah membuka mata sedari tadi dan mendengarkan obrolan kawan-kawannya, hanya saja badannya membelakangi mereka sehingga tidak ada yang mengetahui.Â
"Selamat pagi, bagaimana dengan malam kalian? Semoga menyenangkan."
"Suna, kulitmu terlihat semakin cerah, bagaimana bisa?" tanya Ajeng.Â
"Aku hanya cukup tidur. Bagaimana dengan gumpalan tanah putih kalian?"
Semua langsung merogoh kantong mereka, beberapa tercengang karena gumpalannya hancur menjadi butiran-butiran halus.
"Punyaku, ada apa ini? Kenapa menjadi halus seperti ini?" kata Emma.Â
"Gumpalan milikku juga," kata Yuki.Â
"Iya, aku juga. Ini tandanya apa, Suna?" tanya Ajeng.Â
"Bagaimana dengan milikmu, Yuri?"
"Utuh dan makin mengeras, Suna."
"Kalian bertiga terlalu terburu-buru, sampai lupa kalau jembalang bisa menyerupai apapun."
Emma, Yuki, dan Ajeng termenung memikirkan apa yang sudah mereka lakukan semalam.
"Berikan kantong tanah putih kalian kepadaku, akan aku bawa ke Rasinah, dan menanyakan arti dari semua ini."
Lima kantong serut itu dimasukan ke dalam tas rajut coklat milik Suna, dan ia segera beranjak dari ranjangnya, keluar dari bilik menemui kusir yang hendak mengantar ke rumah Dewi Paramastri.Â
Sesampainya di sana, Rasinah sudah berdiri di depan pintu, bukan untuk mengajak masuk dan memberi suguhan teh, namun Rasinah bergegas menaiki andong, berhadap-hadapan dengan Suna, dan mengarahkan kusir ke pemakaman Dewi Paramastri.Â
Setelah sampai di depan punuk tanah makam Dewi Paramastri, Rasinah meminta Suna mengeluarkan kantong-kantong serut tanah putih yang sudah menjadi butiran halus, kemudian mereka menaburkan tanah putih itu ke tanah makam Dewi Paramastri. Tidak banyak pembicaraan di sana, mereka hanya saling melemparkan senyuman yang kemudian langsung mereka kembali ke kediaman Dewi Paramastri.
Kuda andong yang mereka tunggangi berlari begitu cepat, hingga terlihat dari kejauhan dari ujung jalan rumah mereka, terdapat pintu yang terbuka lebar di sana, mereka segera turun dari andong, memasuki ruang tamu dan disambut dengan ketiga bibi Suna, Ibu Suna dan Dewi Paramastri.Â
"Ibu, kau Adinda Ibuku?"
"Ya, tentu saja," jawabnya dengan senyum.Â
"Kau sudah tidak buruk rupa lagi, kau begitu cantik dan anggun seperti gadis belia."Â
"Semua berkat usahamu."
"Terima kasih Suna, kau memang garis keturunanku," kata Dewi Paramastri.Â
"Bangun lagi kau nenek cantik, Dewi Paramastri pelacur tersohor di Tamsil," kata Suna yang beriringan dengan tawa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H