"Aku mau ke asrama, belum mandi, masih bau pemakaman, kalian selamat bersenang-senang."
"Mau aku temani, Suna?" kata Ajeng.Â
"Untuk apa?"
"Kalau nanti jembalang mengawinimu saat kau mandi, aku bisa memantau tanah putih milikmu."
"Tidak perlu, bersenang-senanglah Ajeng, atau mungkin kau bisa main ke rumah Mama Kalong untuk menghilangkan keperawananmu sebelum tubuhmu disentuh jembalang."
"Aku Pribumi asli, anak Bupati Tirto, laki-laki mana yang mau menyentuhku sebelum bertemu Ayah."
"Ya sudah, carilah laki-laki yang mau menemui Ayahmu, Ajeng," kata Yuri.
Ajeng pergi meninggalkan pembicaraan tanpa sepatah kata, pergi dengan wajah sedikit murung berjalan ke luar pintu pagar lalu mengambil jalan ke arah kanan menuju taman kembang.Â
"Ide bagus Yuri. Aku akan menemui Ayahku, dia pasti punya kenalan perjaka jantan pemain sabung ayam di tanah ini," Emma yang menanggapi kata-kata Yuri.Â
"Bersenang-senanglah, perhatikan terus tanah putihnya, semoga jembalang tidak datang malam ini dan bertamu ke tubuh kalian. Aku gerah, ingin mandi."
Suna meninggalkan pijakannya, berjalan santai ke asrama, sedangkan Emma menemui Ayahnya, pemilik tanah lapang sabung ayam, dan Yuri berjalan ke pinggir lapangan, memojokkan diri di bawah pohon jati. Yuri mengeluarkan gumpalan tanah putih dari kantong serutnya, mengambil batu sebesar kepalan tangan dan menumbuk gumpalan tanah itu, tapi ternyata tanahnya benar-benar sangat keras.Â