"Berikan kantong tanah putih kalian kepadaku, akan aku bawa ke Rasinah, dan menanyakan arti dari semua ini."
Lima kantong serut itu dimasukan ke dalam tas rajut coklat milik Suna, dan ia segera beranjak dari ranjangnya, keluar dari bilik menemui kusir yang hendak mengantar ke rumah Dewi Paramastri.Â
Sesampainya di sana, Rasinah sudah berdiri di depan pintu, bukan untuk mengajak masuk dan memberi suguhan teh, namun Rasinah bergegas menaiki andong, berhadap-hadapan dengan Suna, dan mengarahkan kusir ke pemakaman Dewi Paramastri.Â
Setelah sampai di depan punuk tanah makam Dewi Paramastri, Rasinah meminta Suna mengeluarkan kantong-kantong serut tanah putih yang sudah menjadi butiran halus, kemudian mereka menaburkan tanah putih itu ke tanah makam Dewi Paramastri. Tidak banyak pembicaraan di sana, mereka hanya saling melemparkan senyuman yang kemudian langsung mereka kembali ke kediaman Dewi Paramastri.
Kuda andong yang mereka tunggangi berlari begitu cepat, hingga terlihat dari kejauhan dari ujung jalan rumah mereka, terdapat pintu yang terbuka lebar di sana, mereka segera turun dari andong, memasuki ruang tamu dan disambut dengan ketiga bibi Suna, Ibu Suna dan Dewi Paramastri.Â
"Ibu, kau Adinda Ibuku?"
"Ya, tentu saja," jawabnya dengan senyum.Â
"Kau sudah tidak buruk rupa lagi, kau begitu cantik dan anggun seperti gadis belia."Â
"Semua berkat usahamu."
"Terima kasih Suna, kau memang garis keturunanku," kata Dewi Paramastri.Â
"Bangun lagi kau nenek cantik, Dewi Paramastri pelacur tersohor di Tamsil," kata Suna yang beriringan dengan tawa.Â