Mohon tunggu...
Puji Khristiana
Puji Khristiana Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga 2 anak yang hobi menulis

Bekerja sebagai penulis konten dan blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Last Revenge

3 Februari 2022   12:48 Diperbarui: 3 Februari 2022   13:37 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Karyl, kemana aja seharian? Jam segini baru pulang? Kasian, Neil. Pulang kerja nggak ada makanan di rumah. Sampai makan di rumah Ibu."

"Maaf, Mbak. Aku baru pulang dari rumah mama. Neil udah pulang? Biasanya jam segini belum pulang."

Aku melirik hand bag di tangan Karyl. Entah apa isinya. Kalau dilihat dari tulisan brand yang ada pada hand bag itu, jelas dia baru saja dari mall. Beli sepatu mahal. Bukan dari rumah mamanya.

"Ke rumah mama atau ke mall? Emang gue nggak liat, apa? Itu Lu baru aja belanja-belanja. Uang dari mana? Nggak kasian sama suami Lu? Tiap hari kerja keras demi menuruti gaya hidup Lu yang selangit."

Karyl memindahkan hand bag dari tangan kiri ke tangan kanan. Seperti biasa. Membuang muka. Malas menanggapi sapaanku.

"Memang kenapa kalau gue pergi ke mall? Bukan urusan Mbak Grace juga. Emang kapan Mbak Grace ngurus suami? Kayak udah bener aja jadi istri."

"Karyl ---" 

kalimatku menggantung. Seperti berhenti begitu saja di ujung tenggorokan. Karyl melenggang begitu saja tanpa merasa berdosa. Entah berapa kali aku dibuat jengkel dengan tingkah lakunya. Kalau bukan karena dia istrinya Neil, sudah kuusir dia dari rumah sebelah.

Namanya Karyl. Dia adik ipar ku. Istri Neil, adik kandungku, yang baru dinikahi tiga bulan lalu. Kary dan Neil memang sudah pacaran sejak mereka duduk di bangku SMA. Dan baru menikah seminggu setelah mereka sama-sama wisuda gelar sarjananya.

Sejak awal mereka pacaran, sebenarnya aku pribadi kurang suka dengan prilaku Karyl. Hidupnya serba mewah. Sebagai anak terakhir sekaligus anak gadis satu-satunya dari empat bersaudara, Karyl terbiasa hidup dimanja. Baik dimanja oleh orang tua maupun kakak-kakaknya.

Tapi aku bisa apa? Entah Karyl atau gadis lain, memilih istri adalah hak Neil sepenuhnya. Ketika dia memutuskan memilih Karyl sebagai istrinya, ibu dan aku hanya bisa merestui. Meski pernikahan mereka sebetulnya masih menjadi ganjalan bagi kami. Terutama bagi ibu sendiri.

Neil baru saja lulus kuliah. Kerja juga belum sepenuhnya mapan. Tapi Karyl dan keluarganya mendesak adik laki-lakiku itu untuk segera menikahinya. Alasannya klasik. Karena mereka sudah lama pacaran. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Awalnya Neil sependapat dengan ibu. Mau mendengarkan nasehat ibu untuk menikah setelah punya pekerjaan mapan. Tidak harus bergaji besar. Paling tidak bisa untuk biaya hidups sehari-hari. Karena ibu paham. Menikahi gadis secantik Karyl tidak hanya butuh biaya makan saja. Perlu biaya gaya hidup yang tidak murah.

Tapi entah kenapa tiba-tiba Neil memutuskan untuk segera menikahi Karyl. Dengan alasan selalu didesak terus oleh ibu Karyl. Kalau tidak segera menikahi Karyl, calon mertua Neil akan menikahkan putri satu-satunya itu dengan anak kolega bapaknya. Dan Neil tidak mau itu terjadi.

Meski dengan setengah hati, akhirnya Neil menerima permintaan keluarga Karyl untuk segera menikahi gadis itu. Dan itu berarti, kami sekeluarga juga harus memberi restu meski dengan setengah hati pula. Restu tanda setuju sekaligus restu dalam hal materi. Karena siapa lagi yang akan membiayai pernikahan Neil kalau bukan ibu dengan aku?

Ayah sudah meninggal 10 tahun lalu. Setelah ayah meninggal, kami hanya hidup bertiga di rumah ini. Keluarga yang tadinya sepi kembali ramah setelah aku menikah dengan Mas Davin dan dikaruniai seorang putri yang sekarang berumur 5 tahun.

Sejak awal menikah, Mas Davin memang sudah berkeinginan punya rumah sendiri. Tapi ibu selalu meminta agar kami tinggal saja sama ibu. Rumah ibu terlalu besar jika ditinggali ibu dan Neil saja. Selain rumah utama yang sekarang kami tempati, ada sebuah rumah kecil yang dibangun ayah tepat di sebelah rumah utama. Hanya dipisahkan oleh pintu kecil saja. 

Tujuan ayah membangun rumah itu untuk mewujudkan cita-citanya memiliki rumah baca bagi anak-anak kampung sekitar. Agar ada tempat bermain sekaligus berkumpul yang edukatif bagi anak-anak. Impian itu memang sempat terwujud. Taman baca yang ayah dirikan ramai dengan kunjungan anak-anak yang haus buku bacaan edukatif.

Tapi semenjak ayah meninggal 10 tahun yang lalu, taman bacaan itu perlahan meredup. Tidak ada yang mengurus. Aku dan Neil sibuk dengan kuliah dan sekolah. Ibu juga sudah sakit-sakitan. Akhirnya taman bacaan itu tutup perlahan setelah sepi pengunjung.

Rumah bekas taman bacaan itulah yang sekarang dihuni Neil dan Karyl. Ibu sengaja merenovasinya setelah mereka menikah. Menambahkan dapur, kamar mandi dan beberapa renovasi kecil. Agar lebih nyaman digunakan sebagai tempat tinggal pengantin baru.

Awalnya Karyl menolak ketika ditawari untuk tinggal di situ. Tapi tidak ada pilihan lain. Gaji bulanan Neil hanya cukup untuk makan. Belum mampu untuk biaya kontrak rumah atau bahkan untuk membeli rumah.

Karyl terpaksa meng-iyakan. Dan sekarang, tepat tiga bulan mereka menempati rumah kecil di samping rumah kami. Kapanpun dia keluar rumah pasti selalu ketahuan. Karena pintu gerbang masih jadi satu. 

Inilah yang kadang membuatku agak geregetan. Bukannya dia ikut kerja bantu suami mumpung belum punya anak, malah asik saja belanja-belanja cantik. Ngabisi uang suami.

"Grace, masuk! Ngapain kamu di situ? Biarkan saja. Nggak perlu diladeni. Itu bukan urusanmu."

Ibu memanggilku dari dalam rumah. Hal yang sama dilakukannya setiap aku menegur Karyl.

"Tap, Bu, mau sampai kapan dia terus begini? Memang ibu nggak kasian sama Neil?"

"Kasian. Tapi bukan begitu caranya. Neil sudah dewasa. Tidak perlu ikut campur."

"Grace nggak ikut campur, cuma ---"

"Sudah. Masuk saja. Buatkan suamimu kopi. Kasian dia baru datang."

Aku menghembuskan nafas kesal. Menggerutu pelan. Untung saja ada ibu. Kalau tidak, Karyl tidak akan bisa bebas begitu saja. Dengan emosi yang belum sepenuhnya selesai, aku masuk ke rumah. Mas Davin sedang sibuk menerima telphon dari seseorang. Dilihat dari nada suara dan wajahnya, sepertinya telphon masalah utang piutang.

"Siapa yang nelphon, Mas?" Penasaran. Aku langsung bertanya setelah Mas Davin menutup telponnya.

"Debt collector pinjol. Nagih hutangnya Neil."

"Neil? Neil punya hutang pinjol? Berapa? Kok mereka sampai nelphon kamu?"

"Katanya tiga juta. Sudah lewat dari jatuh tempo. Neil belum bayar juga. Setiap mereka nelphon mau nagih, Neil nggak pernah angkat. Makanya nelpho aku."

"Tiga juta? Buat apaan?" Otakku panas. Darahku mendidih. 

"Biar saja, Grace. Itu urusan Neil. Nggak perlu ikut campur." Ibu yang sedang menemani Eliz, putri kami sekaligus cucunya, ikut berbicara.

"Nggak bisa gitu, Bu. Memang ibu nggak kasian sama Neil? Kerja siang malam dengan gaji UMR saja tidak ada. Masih harus nanggung utang pinjol yang mencekik. Ini pasti gara-gara ulah istrinya. Sok kaya. Hobi belanja mirip sosialita. Gayanya selangit. Padahal hidup saja masih pas-pasan."

"Kasihan sih kasihan. Tapi mau bagaimana lagi? Selama Neil nggak pernah mengeluh sama kita, biarkan saja. Beri dia kesempatan untuk menjadi dewasa. Menyelesaikan masalahnya sendiri."

Braakk..! Jderr..!

Belum sempat aku membantah opini ibu. Terdengar suara pintu dibanding keras dari arah rumah Neil. Aku menahan nafas. Ibu yang sejak tadi menyuapi Eliz berhenti seketika. Mengelus dada. Mas Davin reflek bangkit dari duduknya.

Neil dan Karyl pasti bertengkar lagi. Baru menikah tiga bulan. Tak terhitung berapa kali pertengkaran mereka terdengar sampai rumah kami. Kalau bukan karena permintaan ibu yang meminta kami pura-pura tidak dengar tentang pertengkaran mereka, ingin rasanya aku melabrak saat mereka sedang hebat bertengkar.

Aku menarik nafas panjang. Menahannya sebentar. Lalu menghembuskan pelan. Kesabaranku nyaris habis. Sebagai kakak, jelas aku tidak terima adik laki-lakiku diperlakukan seperti ini. Reflek kakiku melangkah maju. Menuju pintu yang memisahkan rumah kita dengan tempat tinggal Neil.

"Mau kemana, Grace?" 

"Ke tempat Neil. Tuli rasanya kuping ini dengar mereka ribut tiap hari."

"Sudah. Nggak perlu. Biarkan mereka urus rumah tangga mereka sendiri."

"Tapi, Bu. Karyl sudah keterlaluan. Apa kerja dia sebagai istri selain sibuk belanja. Sibuk nongkrong dengan teman-temannya. Bahkan ibu lihat sendiri. Bagaimana Neil harus buat sarapan sendiri sebelum berangkat ke kantor. Bersih-bersih rumah sendiri. Mencuci sendiri baju dia dan istrinya. Dan setumpuk pekerjaan rumah lain yang seharusnya dikerjakan Karyl."

"Biarkan saja. Selama Neil tidak pernah mengeluhkan tentang itu, berarti tidak ada masalah."

"Tapi, Bu ---"

"Braakk..." Sekali lagi pintu dibanting. Kali ini disertai dengan teriakan. Baik Neil maupun Karyl berlomba berteriak sambil mencaci. 

Aku menggigit bibir bawah. Ibu mengelus dada. Terlihat mulutnya bergerak kecil. Merapal doa. Semoga rumah tangga anak bungsunya baik-baik saja. Kalau bukan karena larangan ibu, aku sudah pasti langsung berlari. Menampar mulut Karyl yang tidak ada sopan santunnya sedikitpun dengan suaminya.

Tidak hanya ibu yang mencegahku. Kali ini tangan Mas Davin turut menarik tanganku. Meminta agar duduk saja. Tangannya sigap meraih remote TV. Menaikkan volumenya. Berharap suara TV bisa menelan suara pertengkaran Neil dan Karyl yang belum reda juga.

Entah apa yang sebenarnya ada di fikiran mereka. Menjalin hubungan pacaran hampir 7 tahun ternyata belum mampu memahami watak dan kepribadian masing-masing. Cerita pernikahan mereka di realita tidak seindah postingan di dunia maya.

Karyl pandai sekali menyembunyikan kelabu rumah tangganya. Dengan cara sering posting foto dan kisah romantis perjalanan cinta mereka. Karyl tak ubahnya seperti Selebgram yang memiliki banyak pengikut. Setiap posting foto dengan Neil selalu banjir like. Banyak komentar. Ramai pertanyaan tentang apa rahasia pacaran langgeng sampai pernikahan.

Para followernya tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangga mereka nyaris diwarnai dengan pertengkaran. Atau bahkan lebih layak disebut rumah duka dibandingkan dengan rumah tangga. 

Yang tahu Persih hanya aku, ibu, dan Mas Davin. Dan kalau bukan karena permintaan ibu, jempol julidku sudah pasti berkomentar pedas saat menemukan postingan romantis mereka di sosial media.

Suara TV sudah tinggi. Tapi nyatanya kalah tinggi dengan suara Neil dan Karyl yang masih berlomba saling memaki. Baiklah. Sepertinya sesekali boleh saja mengabaikan nasehat ibu. Suara mereka sudah masuk katagori polusi untuk kenyamanan dan ketenangan rumah kami. 

Aku bangkit dari duduk. Mengabaikan suara ibu dan Mas Davin yang berteriak mencegahku. Pintu penghubung antara rumah ibu dan tempat tinggal Neil kubuka kasar. Hanya dalam sekali langkah. Aku bisa menyaksikan sendiri mereka yang sedang bertengkar.

"Neil, Karyl, bisa diam, nggak? Kasian ibu. Udah tua. Masih saja harus denger kalian bertengkar terus tiap hari. Terutama buat Lu, Karyl. Nggak malu apa? Sama follower medsos lu? Yang mengira Lu adalah sosok wanita panutan untuk nominasi wanita sekaligus istri yang ideal karena rumah tangga yang harmonis?"

Karyl hanya menatapku sinis. Tak membalas dengan kalimat apapun.

"Dan Lu juga, Neil. Ini? Perempuan yang Lu bela selama ini? Yang Lu perjuangin. Rela menuruti keinginan mamanya untuk segera menikahi hanya karena takut kehilangan? Apa dia membuat Lu bahagia sekarang, hah?"

Sama seperti Karyl. Neil juga tidak menjawab satu kata pun. Dia memilih diam. Sambil membuang muka dari pandanganku. Belum puas aku mengeluarkan apa yang selama ini menjadi ganjalan, Ibu dan Mas Davin sudah menyusul dari belakang.

"Grace, Sudahlah. Pulang. Sudah malam. Malu sama tetangga." Sambil memegang lenganku, ibu berkata pelan. Aku menggeleng. Tujuanku ke sini bukan untuk bertengkar. Tapi menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. 

"Baiklah. Mumpung semua kumpul di sini. Tidak ada salahnya kita bicara sebentar. Gue harap setelah ini nggak ada lagi apa yang namanya pertengkaran. Kalian tetap hidup rukun sebagai suami istri yang baik."

Aku menuntun ibu duduk di kursi panjang ruang tamu tempat tinggal Neil. Diikuti Mas Davin yang menggendong Eliz. Meski agak malas-malasan, Neil dan Karyl terlihat ikut saja. Duduk di kursi masing-masing dengan raut muka yang masih mendung. 

"Karyl. Gue mau tanya sama Lu. Mau Lu tu sebenernya apa? Sebelum Lu nikah sama Neil, pastilah Lu tau gimana keadaan Neil yang sebenarnya. Gimana keadaan ekonominya. Lu sendiri yang minta cepet-cepet dinikahin. Seharusnya Lu tau konsekuensi apa kalau nikah sama dia. Jangan nuntut hidup mewah. Bahkan untuk bisa makan aja udah syukur."

Karyl membuang pandangan. Melengos. Tidak menjawab. Seperti malas mendengar omonganku.

"Atau, jangan-jangan emang gini cara orang tua Lu ngedidik anaknya selama ini? Terbiasa dimanja. Jadinya kaya Lu gini. Nggak bisa hidup susah ---"

"Grace, cukup. Kembali ke rumah." 

Belum semua unek-unek yang selama ini terpendam kukeluarkan, ibu sudah memotong. Tapi kepalang tanggung. Memang sudah waktunya aku berbicara. Neil selama ini memang tidak pernah cerita. Tapi melihat raut wajah kusutnya setiap hari, aku tau dia pasti menyimpan kalut di hatinya. 

"Sekarang gini aja deh. Karyl, mau Lu tu sebenernya apa? Kalau mau hidup enak atau bebas dengan hobi belanja, mendingan Lu cari laki-laki lain. Neil belum bisa memenuhi semua kebutuhan gaya hidup Lu selama ini. Daripada Neil terus-terusan dikejar debt colector gara-gara menuhin tuntutan hidup, Lu. Gue nggak rela adik gue diginiin terus."

"Debt Colector?" Reflek Neil menatapku. Bertanya memastikan.

"Iya. Tadi baru aja Mas Davin dapat telphon dari debt collector pinjol. Nagih hutang Lu yang belum dibayar juga. Padahal udah jatuh tempo. Buat apaan lagi hutang pinjol kalau nggak buat nurutin gaya hidup bini Lu?"

Hening beberapa menit. Baik Neil maupun Karyl sama-sama diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Sekali lagi gue tanya sama Lu, Karyl. Masih mau jadi Nyonya Neil Hermawan? Kalau masih, perbaiki sikap Lu. Kurangin belanja. Banyakin beberes rumah. Kalau masih kurang uang, kerja lah. Lu kan sarjana. Mumpung belum ada anak."

Karyl mengangguk pelan. Begitu pula dengan Neil. Meski mendung di raut mukanya belum hilang sepenuhnya, tapi masih lebih mendingan daripada waktu pertama kali aku membuka pintu. Melerai pertengkaran mereka.

Apa yang ditakutkan Ibu dan Mas Davin ternyata tidak terbukti. Meeting keluarga dadakan malam ini berakhir damai. Karyl dan Neil sepakat untuk introspeksi diri. Berjanji untuk menjalani pernikahan seperti postingan mereka di media sosial. Tampak bahagia. Bikin iri banyak orang.

Tapi apakah itu jaminan rumah tangga mereka akan baik-baik saja? Ternyata fikiranku salah.

******

Dua bulan berlalu sejak kejadian malam itu. Rumah tangga Karyl dan Neil tampak baik-baik saja. Tidak ada lagi keributan terdengar. Karyl lebih banyak di rumah. Menyibukkan diri dengan bisnis online yang mulai dia rintis.

"Sudah seminggu ini suamimu tidak pulang, Grace." Ibu bertanya tepat ketika aku berangkat kantor.

"Oh, masih di Bali. Katanya ada proyek perumahan baru di Ubud Bali."

"Mau sampai kapan?"

"Katanya secepatnya segera diselesaikan. Setelah selesai Mas Davin janji mau segera pulang. Toh Minggu depan Eliz harus ambil raport di sekolah. Grace nggak bisa ambil raport Eliz. Ini akhir bulan. Banyak kerjaan di kantor. Laporan keuangan harus segera selesai."

"Tapi, Grace. Bukannya ibu menakutimu. Nggak sengaja ibu sempat lihat Davin keluar dari rumah Neil pas siang hari. Saat Neil lagi di kantor. Dan kamu juga masih di kantor. Ibu cuma khawatir ---"

"Khawatir apa, Bu? Kan ibu tau. Mas Davin bisnis sendiri. Jadi waktunya fleksibel. Nggak kaya Grace yang pekerja kantoran."

"Iya, sih. Semoga semua baik-baik saja."

Suamiku menjalani bisnis di bidang property. Dari yang aku tau memang sekarang dia lagi di Bali. Ngurus proyek barunya bersama teman developer satu timnya. Aku percaya saja. Karena selain setiap akhir bulan aku sibuk dengan tugasku sebagai accounting, membuat laporan keuangan di kantor, aku juga percaya saja. Selama menikah dengan Mas Davin, tidak ada tanda-tanda dia bermain dengan wanita lain.

Memang sudah seminggu ini dia tidak memberi kabar. Dan itu tidak masalah buatku. Tidak ada yang perlu dicurigai.

Tapi nyatanya dugaanku salah. Iseng aku coba sadap WA dia. Dimana posisinya sekarang. Aku tau cara sadap WA ini karena diajari oleh salah satu staff di kantor. Dia cerita sering mengintai suaminya secara diam-diam. Awalnya aku anggap angin lalu saja cerita staffku itu. Tapi lama-lama aku penasaran juga.

Dari hasil iseng menyadap WA Mas Davin inilah aku dapat fakta mengejutkan. Dari map yang kulihat, ternyata suamiku sedang berada di Jakarta. Di sebuah apartemen di Kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.

Jantungku berdetak serabutan. Apartemen siapa itu? Apa yang dilakukan Mas Davin di sana? Sudah berapa lama? Sama siapa? Dan tumpukan pertanyaan lain yang menyumpal di otak.

Tak mau membuang waktu. Malam itu juga sepulang kantor aku langsung menuju apartemen itu. Naik menggunakan lift. Lalu berhenti dan mengetuk pintu di sebuah unit lantai tujuh nomor 214. Dari apartemen kecil tipe studio itu kaluarlah wanita yang kukenal selama ini.

"Karyl?" Jantungku seperti mandek seketika.

"Oh, ternyata Mbak Grace pinter juga. Bisa Nemu alamat ini." Karyl menjawab dengan santai. Tampak dia baru saja melakukan sesuatu. Hanya lingerie tipis berwarna hitam yang membalut tubuhnya.

"Siapa sayang?" 

Aku menggigit bibir bawah erat-erat. Takut melihat realita di depan mata. Berharap semua tidak seperti apa yang kubayangkan. Aku mengenal suara itu. Suara khas dari Mas Davin.

"Oh, ternyata Grace di sini. Sama siapa?"

Kali ini aku merasa tidak hanya jantungku yang berhenti berdetak. Tapi juga tubuhku. Aku seperti onggokan daging tanpa tulang. Andai ada cermin di depanku, pasti aku bisa melihat sendiri bagaimana wajahku pucat seketika.

"Mas, apa yang kamu lakukan di sini? Katanya masih di Bali?"

Tidak ada rasa takut sedikitpun pada wajah suamiku itu. Dia seperti tidak menyimpan rasa bersalah sama sekali dengan apa yang dilakukannya. Bahkan ketika dia keluar hanya dengan pakaian yang sangat minim. Baru melakukan apa mereka berdua?

"Gimana, Mbak? Lua liat sendiri kan? Akhirnya gue bisa balas dendam atas sakit hati gue selama ini."

"Maksud Lu apa?"

"Lu ingat malam itu? Malam ketika gue lagi berantem sama Neil. Lu tiba-tiba masuk. Mirip pahlawan kepagian. Trus Lu bilang 'jangan-jangan emang gini cara orang tua Lu ngedidik anaknya selama ini? Terbiasa dimanja. Jadinya kaya Lu gini. Nggak bisa hidup susah'. Emang sih, malam itu gue diem. Karena males aja ribut sama Lu yang nggak ada urusannya sama sekali sama rumah tangga gue. Tapi dalam hati, gue janji. Bakalan bales rasa sakit hati gue secara lunas. Emang Lu kira nggak sakit hati apa? Dibilang gitu?"

Nyaris saja air mataku tumpah. Aku menggigit bibir bawah lebih erat lagi. Menahan air mata agar tidak keluar seenaknya. Menyadari kebodohanmu selama ini.

"Dan sekarang, pembalasan gue udah lunas. Gue puas. Pembalasan yang sudah gue rancang sejak malam itu terlaksana sudah. Gue berhasil membuat hati Lu sakit dengan cara merebut Mas Davin dari tangan Lu. Gimana? Tau kan? Rasa sakit hati gue atas semua perkataan Lu selama ini?

Air mata yang susah payah kutahan, tumpah sudah. 

"Dan satu lagi, Grace. Ternyata Karyl lebih pandai membahagiakanku daripada kamu. Dia selalu ada saat aku butuh. Nggak seperti kamu. Yang selalu bilang capek setiap aku butuh kamu." Ucapan Mas Davin melengkapi.

Aku menggeleng kuat-kuat. Berharap ini seperti mimpi. Sekitarku gelap seketika. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Selain mengumpulkan tenaga. Berlari sekuatnya. Meninggalkan mereka yang sayup-sayup terdengar tertawa puas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun