"Atau, jangan-jangan emang gini cara orang tua Lu ngedidik anaknya selama ini? Terbiasa dimanja. Jadinya kaya Lu gini. Nggak bisa hidup susah ---"
"Grace, cukup. Kembali ke rumah."Â
Belum semua unek-unek yang selama ini terpendam kukeluarkan, ibu sudah memotong. Tapi kepalang tanggung. Memang sudah waktunya aku berbicara. Neil selama ini memang tidak pernah cerita. Tapi melihat raut wajah kusutnya setiap hari, aku tau dia pasti menyimpan kalut di hatinya.Â
"Sekarang gini aja deh. Karyl, mau Lu tu sebenernya apa? Kalau mau hidup enak atau bebas dengan hobi belanja, mendingan Lu cari laki-laki lain. Neil belum bisa memenuhi semua kebutuhan gaya hidup Lu selama ini. Daripada Neil terus-terusan dikejar debt colector gara-gara menuhin tuntutan hidup, Lu. Gue nggak rela adik gue diginiin terus."
"Debt Colector?" Reflek Neil menatapku. Bertanya memastikan.
"Iya. Tadi baru aja Mas Davin dapat telphon dari debt collector pinjol. Nagih hutang Lu yang belum dibayar juga. Padahal udah jatuh tempo. Buat apaan lagi hutang pinjol kalau nggak buat nurutin gaya hidup bini Lu?"
Hening beberapa menit. Baik Neil maupun Karyl sama-sama diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Sekali lagi gue tanya sama Lu, Karyl. Masih mau jadi Nyonya Neil Hermawan? Kalau masih, perbaiki sikap Lu. Kurangin belanja. Banyakin beberes rumah. Kalau masih kurang uang, kerja lah. Lu kan sarjana. Mumpung belum ada anak."
Karyl mengangguk pelan. Begitu pula dengan Neil. Meski mendung di raut mukanya belum hilang sepenuhnya, tapi masih lebih mendingan daripada waktu pertama kali aku membuka pintu. Melerai pertengkaran mereka.
Apa yang ditakutkan Ibu dan Mas Davin ternyata tidak terbukti. Meeting keluarga dadakan malam ini berakhir damai. Karyl dan Neil sepakat untuk introspeksi diri. Berjanji untuk menjalani pernikahan seperti postingan mereka di media sosial. Tampak bahagia. Bikin iri banyak orang.
Tapi apakah itu jaminan rumah tangga mereka akan baik-baik saja? Ternyata fikiranku salah.