"Katanya tiga juta. Sudah lewat dari jatuh tempo. Neil belum bayar juga. Setiap mereka nelphon mau nagih, Neil nggak pernah angkat. Makanya nelpho aku."
"Tiga juta? Buat apaan?" Otakku panas. Darahku mendidih.Â
"Biar saja, Grace. Itu urusan Neil. Nggak perlu ikut campur." Ibu yang sedang menemani Eliz, putri kami sekaligus cucunya, ikut berbicara.
"Nggak bisa gitu, Bu. Memang ibu nggak kasian sama Neil? Kerja siang malam dengan gaji UMR saja tidak ada. Masih harus nanggung utang pinjol yang mencekik. Ini pasti gara-gara ulah istrinya. Sok kaya. Hobi belanja mirip sosialita. Gayanya selangit. Padahal hidup saja masih pas-pasan."
"Kasihan sih kasihan. Tapi mau bagaimana lagi? Selama Neil nggak pernah mengeluh sama kita, biarkan saja. Beri dia kesempatan untuk menjadi dewasa. Menyelesaikan masalahnya sendiri."
Braakk..! Jderr..!
Belum sempat aku membantah opini ibu. Terdengar suara pintu dibanding keras dari arah rumah Neil. Aku menahan nafas. Ibu yang sejak tadi menyuapi Eliz berhenti seketika. Mengelus dada. Mas Davin reflek bangkit dari duduknya.
Neil dan Karyl pasti bertengkar lagi. Baru menikah tiga bulan. Tak terhitung berapa kali pertengkaran mereka terdengar sampai rumah kami. Kalau bukan karena permintaan ibu yang meminta kami pura-pura tidak dengar tentang pertengkaran mereka, ingin rasanya aku melabrak saat mereka sedang hebat bertengkar.
Aku menarik nafas panjang. Menahannya sebentar. Lalu menghembuskan pelan. Kesabaranku nyaris habis. Sebagai kakak, jelas aku tidak terima adik laki-lakiku diperlakukan seperti ini. Reflek kakiku melangkah maju. Menuju pintu yang memisahkan rumah kita dengan tempat tinggal Neil.
"Mau kemana, Grace?"Â
"Ke tempat Neil. Tuli rasanya kuping ini dengar mereka ribut tiap hari."