Inilah yang kadang membuatku agak geregetan. Bukannya dia ikut kerja bantu suami mumpung belum punya anak, malah asik saja belanja-belanja cantik. Ngabisi uang suami.
"Grace, masuk! Ngapain kamu di situ? Biarkan saja. Nggak perlu diladeni. Itu bukan urusanmu."
Ibu memanggilku dari dalam rumah. Hal yang sama dilakukannya setiap aku menegur Karyl.
"Tap, Bu, mau sampai kapan dia terus begini? Memang ibu nggak kasian sama Neil?"
"Kasian. Tapi bukan begitu caranya. Neil sudah dewasa. Tidak perlu ikut campur."
"Grace nggak ikut campur, cuma ---"
"Sudah. Masuk saja. Buatkan suamimu kopi. Kasian dia baru datang."
Aku menghembuskan nafas kesal. Menggerutu pelan. Untung saja ada ibu. Kalau tidak, Karyl tidak akan bisa bebas begitu saja. Dengan emosi yang belum sepenuhnya selesai, aku masuk ke rumah. Mas Davin sedang sibuk menerima telphon dari seseorang. Dilihat dari nada suara dan wajahnya, sepertinya telphon masalah utang piutang.
"Siapa yang nelphon, Mas?" Penasaran. Aku langsung bertanya setelah Mas Davin menutup telponnya.
"Debt collector pinjol. Nagih hutangnya Neil."
"Neil? Neil punya hutang pinjol? Berapa? Kok mereka sampai nelphon kamu?"