Tidak ada rasa takut sedikitpun pada wajah suamiku itu. Dia seperti tidak menyimpan rasa bersalah sama sekali dengan apa yang dilakukannya. Bahkan ketika dia keluar hanya dengan pakaian yang sangat minim. Baru melakukan apa mereka berdua?
"Gimana, Mbak? Lua liat sendiri kan? Akhirnya gue bisa balas dendam atas sakit hati gue selama ini."
"Maksud Lu apa?"
"Lu ingat malam itu? Malam ketika gue lagi berantem sama Neil. Lu tiba-tiba masuk. Mirip pahlawan kepagian. Trus Lu bilang 'jangan-jangan emang gini cara orang tua Lu ngedidik anaknya selama ini? Terbiasa dimanja. Jadinya kaya Lu gini. Nggak bisa hidup susah'. Emang sih, malam itu gue diem. Karena males aja ribut sama Lu yang nggak ada urusannya sama sekali sama rumah tangga gue. Tapi dalam hati, gue janji. Bakalan bales rasa sakit hati gue secara lunas. Emang Lu kira nggak sakit hati apa? Dibilang gitu?"
Nyaris saja air mataku tumpah. Aku menggigit bibir bawah lebih erat lagi. Menahan air mata agar tidak keluar seenaknya. Menyadari kebodohanmu selama ini.
"Dan sekarang, pembalasan gue udah lunas. Gue puas. Pembalasan yang sudah gue rancang sejak malam itu terlaksana sudah. Gue berhasil membuat hati Lu sakit dengan cara merebut Mas Davin dari tangan Lu. Gimana? Tau kan? Rasa sakit hati gue atas semua perkataan Lu selama ini?
Air mata yang susah payah kutahan, tumpah sudah.Â
"Dan satu lagi, Grace. Ternyata Karyl lebih pandai membahagiakanku daripada kamu. Dia selalu ada saat aku butuh. Nggak seperti kamu. Yang selalu bilang capek setiap aku butuh kamu." Ucapan Mas Davin melengkapi.
Aku menggeleng kuat-kuat. Berharap ini seperti mimpi. Sekitarku gelap seketika. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Selain mengumpulkan tenaga. Berlari sekuatnya. Meninggalkan mereka yang sayup-sayup terdengar tertawa puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H