Neil baru saja lulus kuliah. Kerja juga belum sepenuhnya mapan. Tapi Karyl dan keluarganya mendesak adik laki-lakiku itu untuk segera menikahinya. Alasannya klasik. Karena mereka sudah lama pacaran. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Awalnya Neil sependapat dengan ibu. Mau mendengarkan nasehat ibu untuk menikah setelah punya pekerjaan mapan. Tidak harus bergaji besar. Paling tidak bisa untuk biaya hidups sehari-hari. Karena ibu paham. Menikahi gadis secantik Karyl tidak hanya butuh biaya makan saja. Perlu biaya gaya hidup yang tidak murah.
Tapi entah kenapa tiba-tiba Neil memutuskan untuk segera menikahi Karyl. Dengan alasan selalu didesak terus oleh ibu Karyl. Kalau tidak segera menikahi Karyl, calon mertua Neil akan menikahkan putri satu-satunya itu dengan anak kolega bapaknya. Dan Neil tidak mau itu terjadi.
Meski dengan setengah hati, akhirnya Neil menerima permintaan keluarga Karyl untuk segera menikahi gadis itu. Dan itu berarti, kami sekeluarga juga harus memberi restu meski dengan setengah hati pula. Restu tanda setuju sekaligus restu dalam hal materi. Karena siapa lagi yang akan membiayai pernikahan Neil kalau bukan ibu dengan aku?
Ayah sudah meninggal 10 tahun lalu. Setelah ayah meninggal, kami hanya hidup bertiga di rumah ini. Keluarga yang tadinya sepi kembali ramah setelah aku menikah dengan Mas Davin dan dikaruniai seorang putri yang sekarang berumur 5 tahun.
Sejak awal menikah, Mas Davin memang sudah berkeinginan punya rumah sendiri. Tapi ibu selalu meminta agar kami tinggal saja sama ibu. Rumah ibu terlalu besar jika ditinggali ibu dan Neil saja. Selain rumah utama yang sekarang kami tempati, ada sebuah rumah kecil yang dibangun ayah tepat di sebelah rumah utama. Hanya dipisahkan oleh pintu kecil saja.Â
Tujuan ayah membangun rumah itu untuk mewujudkan cita-citanya memiliki rumah baca bagi anak-anak kampung sekitar. Agar ada tempat bermain sekaligus berkumpul yang edukatif bagi anak-anak. Impian itu memang sempat terwujud. Taman baca yang ayah dirikan ramai dengan kunjungan anak-anak yang haus buku bacaan edukatif.
Tapi semenjak ayah meninggal 10 tahun yang lalu, taman bacaan itu perlahan meredup. Tidak ada yang mengurus. Aku dan Neil sibuk dengan kuliah dan sekolah. Ibu juga sudah sakit-sakitan. Akhirnya taman bacaan itu tutup perlahan setelah sepi pengunjung.
Rumah bekas taman bacaan itulah yang sekarang dihuni Neil dan Karyl. Ibu sengaja merenovasinya setelah mereka menikah. Menambahkan dapur, kamar mandi dan beberapa renovasi kecil. Agar lebih nyaman digunakan sebagai tempat tinggal pengantin baru.
Awalnya Karyl menolak ketika ditawari untuk tinggal di situ. Tapi tidak ada pilihan lain. Gaji bulanan Neil hanya cukup untuk makan. Belum mampu untuk biaya kontrak rumah atau bahkan untuk membeli rumah.
Karyl terpaksa meng-iyakan. Dan sekarang, tepat tiga bulan mereka menempati rumah kecil di samping rumah kami. Kapanpun dia keluar rumah pasti selalu ketahuan. Karena pintu gerbang masih jadi satu.Â