"Karyl, kemana aja seharian? Jam segini baru pulang? Kasian, Neil. Pulang kerja nggak ada makanan di rumah. Sampai makan di rumah Ibu."
"Maaf, Mbak. Aku baru pulang dari rumah mama. Neil udah pulang? Biasanya jam segini belum pulang."
Aku melirik hand bag di tangan Karyl. Entah apa isinya. Kalau dilihat dari tulisan brand yang ada pada hand bag itu, jelas dia baru saja dari mall. Beli sepatu mahal. Bukan dari rumah mamanya.
"Ke rumah mama atau ke mall? Emang gue nggak liat, apa? Itu Lu baru aja belanja-belanja. Uang dari mana? Nggak kasian sama suami Lu? Tiap hari kerja keras demi menuruti gaya hidup Lu yang selangit."
Karyl memindahkan hand bag dari tangan kiri ke tangan kanan. Seperti biasa. Membuang muka. Malas menanggapi sapaanku.
"Memang kenapa kalau gue pergi ke mall? Bukan urusan Mbak Grace juga. Emang kapan Mbak Grace ngurus suami? Kayak udah bener aja jadi istri."
"Karyl ---"Â
kalimatku menggantung. Seperti berhenti begitu saja di ujung tenggorokan. Karyl melenggang begitu saja tanpa merasa berdosa. Entah berapa kali aku dibuat jengkel dengan tingkah lakunya. Kalau bukan karena dia istrinya Neil, sudah kuusir dia dari rumah sebelah.
Namanya Karyl. Dia adik ipar ku. Istri Neil, adik kandungku, yang baru dinikahi tiga bulan lalu. Kary dan Neil memang sudah pacaran sejak mereka duduk di bangku SMA. Dan baru menikah seminggu setelah mereka sama-sama wisuda gelar sarjananya.
Sejak awal mereka pacaran, sebenarnya aku pribadi kurang suka dengan prilaku Karyl. Hidupnya serba mewah. Sebagai anak terakhir sekaligus anak gadis satu-satunya dari empat bersaudara, Karyl terbiasa hidup dimanja. Baik dimanja oleh orang tua maupun kakak-kakaknya.
Tapi aku bisa apa? Entah Karyl atau gadis lain, memilih istri adalah hak Neil sepenuhnya. Ketika dia memutuskan memilih Karyl sebagai istrinya, ibu dan aku hanya bisa merestui. Meski pernikahan mereka sebetulnya masih menjadi ganjalan bagi kami. Terutama bagi ibu sendiri.