Mohon tunggu...
Muhammad Yamin Pua Upa
Muhammad Yamin Pua Upa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan Hidup

Hobi menulis dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneropong Potensi Gen Z Terjerat UU ITE di Media Sosial

18 Februari 2023   00:08 Diperbarui: 18 Februari 2023   00:20 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, Kamis 22 September 2022, masyarakat Kota Jayapura heboh. Pemicunya informasi di media sosial, di salah satu grup facebook bernama Koya City (Kota Agrobisnis). Isinya, seorang anak dari Koya Timur terkena panah orang tak dikenal ketika melintas di Koya Tengah. Koya Timur dan Koya Tengah merupakan dua kelurahan yang masuk dalam wilayah administrasi distrik atau Kecamatan Muara Tami, Kota Jayapura, Papua.

"Maaf dapat dr grup sebelah, katanya anak dari koya timur kena panah saat lewat koya tengah, buat masyarakat koya n sekitarnya agar untuk berhati-hati saat lewat koya tengah n disampaikan untuk pihak berwajib agar segera diantisipasi n segera bertindak sebelum ada korban lain," demikian tulisan dalam tangkapan layar unggahan di grup facebook Koya City (https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/24/173000265/ramai-soal-remaja-di-jayapura-terkena-panah-polisi-beberkan-faktanya?page=all/diunggah 15 Februari 2023).

Sebuah foto dari korban yang terkena panah juga diunggah. Dalam foto tersebut, tampak anak panah yang terlihat seperti dari besi tertancap di telinga korban. Panah Wayar merupakan sejenis senjata panah berukuran kecil yang terdiri dari dua bagian, yaitu anak panah dan pelontar yang menyerupai ketapel.

Ketika dikonfrimasi wartawan, Kapolresta Jayapura Kota saat itu, Kombes Victor Dean Mackbon mengakui, memang benar ada korban (berinisial W, usia 16 tahun) yang terkena panah wayar. Namun bukan dilakukan oleh orang tak dikenal atau OTK, melainkan ulah temannya sendiri berinisal I (17) karena ketidaksengajaan.

Rupanya W, I dan seorang temannya lagi berinisial N (14) sedang bermain panah wayar. Ternyata panah yang dilontarkan I secara tidak sengaja mengenai telinga W hingga tembus.

Kapolresta Jayapura mengakui, informasi korban panah wayar sempat viral, sehingga menimbulkan keresahan masyarakat Kota Jayapura dan sekitarnya. Ketiga remaja itu pun akhirnya diperiksa di Polresta Jayapura. Karena terbukti menyebarkan  informasi bohong atau hoax di media sosial.

"Mereka sendiri terancam terancam oleh Undang-Undang ITE Pasal 28 tentang penyebaran berita bohong atau hoaks, ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara," tegasnya (https://jubitv.id/polisi-periksa-korban-dan-penyebar-informasi-remaja-terkena-panah-wayar-di-jayapura/diunggah15 Februari 2023)

Kasus informasi hoaks di media sosial oleh tiga remaja di Kota Jayapura tersebut, hanya salah satu contoh dan ilustrasi dari kenyataan yang ada. Ternyata, banyak remaja di Indonesia yang tidak memahami isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-undang perubahannya, Undang Nomor 19 Tahun 2016, rentan terjerat hukuman pidana UU ITE.

Rentannya para remaja terjerat pelanggaran UU ITE ini juga diungkapkan oleh Ketua YLBHI Asfinawati dalam peluncuran Laporan Penodaan Agama di Indonesia Sepanjang 2020. YLBHI mencatat ada 67 kasus penodaan agama pada akhir 2020. Sebanyak 32 kasus diantaranya masuk proses penyidikan menggunakan UU ITE.

Sementara pasal UU ITE yang paling sering digunakan adalah Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) UU ITE. Pasal itu mengatur tentang ujaran kebencian.

Dan pelaku yang dijerat dengan pasal UU ITE, semuanya berawal dari unggahan di media sosial. Para pelaku yang dijerat kebanyakan remaja. Ada 8 orang tersangka di bawah 18 tahun, 2 orang berusia 19 tahun, 2 orang berusia 20 tahun dan 2 orang berusia 21 tahun.

Yang membuat Asfinawati miris adalah, ada beberapa pelaku yang terkena kasus penodaan agama, hanya berawal dari candaan di media sosial. Dia mencontohkan seorang remaja berusia 16 tahun yang memelesetkan lagu Aisyah di TikTok, dijerat dengan pasal penodaan agama (https://nasional.tempo.co/read/1479601/ylbhi-banyak-remaja-dijerat-penodaan-agama-dengan-uu-ite/diunggah 15 Februari 2023).

Data yang diungkapkan Ketua YLBHI tersebut mengindikasikan banyak remaja di Indonesia yang tidak memahami isi dari UU ITE. Sehingga mereka tidak  menyadari kalau candaan di media sosial bisa menjadikan mereka tersangka kasus penodaan agama.

Hal ini juga tergambar dari hasil penelitian sederhana yang penulis dan rekan penulis lakukan terhadap remaja Generasi Z. Umumnya mereka tidak memahami detil isi UU ITE. Hanya mengetahui garis besarnya saja, bahwa UU ITE memuat pengaturan tentang hak cipta, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penyebaran muatan a susila, perjudian, penyebaran informasi hoax, serta berbagai bentuk terror di media sosial. Hanya stop di situ.

Yang juga menarik dari hasil mini riset tersebut adalah perilaku Gen Z ketika berselancar di internet dan media sosial. Ada yang merasa mereka masuk kategori baik saat berselancar di internet dan media sosial. Indikatornya, tidak pernah terjerat UU ITE. Bahkan ada yang sama sekali tidak mau berkomentar di media sosial karena kuatir salah dan di-bully temannya.

Namun, ada juga yang terang-terangan mengakui pernah melakukan penyebaran kebencian terhadap seorang public figure dan meneror melalui akun media sosial public figure tersebut di media sosial. Untungnya, dia tidak dilaporkan ke polisi, meskipun pelanggarannya jelas jika mengacu pada UU ITE.

Sementara yang lain mengaku terkadang berlaku baik saat berselancar di internet dan media sosial, tetapi pada saat tertentu berlaku kurang baik. Tergantung situasi dan kondisi.

Perilaku para remaja tersebut merepresentasi karakter dan kepribadian Generasi Z yang masih muda, bersemangat, agresif, namun juga adanya sifat self defence dan tertutup dalam berkomunikasi di media sosial.

Penelitian sederhana tersebut menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan data berupa interview dan studi kepustakaan, yaitu dari buku, karya ilmiah, arsip, serta jurnal dan dokumen resmi yang relevan dengan masalah yang dibahas, maupun dari internet.

Penelitian kualitatif menurut Moleong (2005:6), adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Sedangkan dalam hal pengumpulan data, Gill et. al. (2008) mengemukakan terdapat beberapa macam metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi, analisis visual, studi pustaka, dan interview (individual atau grup). Namun demikian, yang paling popular adalah menggunakan metode interview dan focus group discussion (FGD).

Dalam penelitian ini, narasumber di-interview untuk mendapatkan gambaran tentang pemahaman Gen Z terhadap UU ITE, serta pengalaman aktivitas mereka di media sosial yang berkaitan dengan UU ITE, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penelitian yang dilakukan di tiga kota berbeda di Pulau Jawa pada bulan Januari 2023 tersebut, memang menyasar Generasi Z, salah satu dari lima generasi  yang menurut teori generasi (Generation Theory) dari Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin (2004), adalah mereka yang lahir antara tahun 1995 -- 2010. Empat generasi lainnya adalah Generasi Baby Boomer yang lahir antara tahun 1946 -- 1964, Generasi X (1965 -- 1980), Generasi Y atau generasi Milllennial (1981-1994), serta Generasi Alpha (kelahiran 2011 sampai 2025 mendatang).

Secara populasi, generasi Z yang dikenal sebagai IGeneration, Native Digital atau Generasi Net (Generasi Internet), menempati urutan teratas dari penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 27.94% penduduk di dalam negeri berasal dari generasi kelahiran 1997-2012, yakni Generasi Z.

Sedangkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, hingga 31 Desember 2021, jumlah penduduk generasi Z yang berusia 10-24 tahun sebanyak 68.662.815 jiwa. (diunduh 8 Februari 2023).

Dilihat dari rentang tahun kelahirannya, generasi Z (Gen Z) adalah para remaja yang saat ini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sedang kuliah, serta  yang sudah masuk dalam pasar kerja.

Gen Z lahir ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, internet dan smartphone sudah berkembang pesat. Sehingga sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih.

Gen Z adalah pengguna aktif media sosial. Kebanyakan mereka menggunakan platform media sosial yang menyediakan konten hiburan, seperti Instagram, Youtube dan TikTok. Berbeda dengan Gen Y atau generasi millennial yang lebih banyak menggunakan platform media sosial serius seperti Facebook, Twitter dan LinkedIn.

Salah satu dampak negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan oleh Gen Z adalah perilaku kecanduan atau yang lebih dikenal dengan social networking addiction. Menurut laporan survei Alvara Research Center, pecandu internet atau internet addicted user paling banyak berasal dari kalangan generasi Z. Internet addicted user adalah orang yang menggunakan internet lebih dari 7 jam/hari.

Survei ini dilakukan melalui wawancara tatap muka terhadap 1.529 responden yang berasal dari kelompok usia generasi Z, generasi Y atau milenial, dan generasi X di seluruh Indonesia. Survei dilakukan pada 20-31 Maret 2022 menggunakan metode multistage random sampling.

Hasilnya, responden dari kalangan generasi Z yang mengakses internet selama 7-10 jam/hari mencapai 20,9%. Sedangkan generasi milenial 13,7% dan generasi X hanya 7,1%.

Responden generasi Z yang menggunakan internet 11-13 jam/hari mencapai 5,1%, generasi milenial (Y)  3%,  dan generasi X hanya 2,4%. Sementara responden generasi Z yang mengakses internet di atas 13 jam/hari mencapai 8%, generasi milenial 3,7% dan generasi X 2,6%.

Penyebab social networking addiction atau internet addicted user di kalangan Gen Z macam-macam. Mulai dari kurangnya pengawasan orangtua sejak mereka mengenal gadget, mengakses internet dan ber-media social, hingga minimnya literasi media digital.

            Kenyataan yang penulis jelaskan di atas merupakan realitas yang menunjukkan betapa Gen Z sangat berpotensi terjerat UU ITE. Anda bisa bayangkan, mereka mendominasi populasi penduduk Indonesia, pengguna aktif internet dan media sosial terbanyak dari lima generasi yang ada, generasi yang paling banyak terkena social networking addiction atau pecandu internet, namun hasil penelitian menunjukkan kebanyakan Gen Z tidak memahami isi UU ITE.

Undang-undang ITE

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan Undang-undang Republik Indonesia pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.

UU ITE memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

UU ITE terdidiri dari 13 Bab dan 54 Pasal, yang secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Beberapa materi yang diatur, antara lain:

  • Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
  • Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
  • Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE);
  • Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
  • Perbuatan yang dilarang (cybercrimes).

Beberapa perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE ini, antara lain menyangkut:

Konten ilegal, diantaranya masalah kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);

  • Akses ilegal (Pasal 30);
  • Intersepsi ilegal (Pasal 31);
  • Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
  • Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
  • Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

Namun, dalam perjalanannya, implementasi dari UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 ini mengalami berbagai persoalan dan protes dari masyarakat. Sehingga pemerintah dan DPR RI akhirnya merevisi undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2088 Tentang Informasi Dan Transksi ELektronik. Perubahannya adalah:

  • Menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5.
  • Menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26.
  • Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang.
  • Menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40.
  • Mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43.
  • Menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.

Pasal-pasal Penting

Untuk menghindari terjerat UU ITE, para remaja Gen Z memang harus mengetahui isinya. Terutama menyangkut pasal-pasal penting yang berkaitan dengan cyber crime. Karena menyedihkan sekali kalau gara-gara iseng posting di media sosial untuk bercanda, ternyata ujung-ujungnya harus berurusan dengan pihak kepolisian.

Di dalam UU ITE, terdapat beberapa jenis pelanggaran di media sosial yang perlu diketahui Gen Z, seperti menyebarkan berita hoaks, pencemaran nama baik, penipuan online, cyberbullying atau perundungan siber, menyebarkan kebencian, dan privacy violation atau pelanggaran privasi.

Semua hal tersebut ada dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, yang terdiri dari delpan pasal, mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 34.

Hasil survey dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), selama periode 2013-2021 menyebutkan, dari 324 kasus pidana di UU ITE, 209 orang dintaranya dijerat dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dan 76 orang lainnya dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) tentang ujaran kebencian.

Ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.

Sedangkan ancaman hukuman terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Bagi tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal 28 UU ITE, biasanya akan langsung ditahan oleh pihak kepolisian.

Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 adalah salah satu dari empat ayat di Pasal 27 yang masuk dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang. Ke-empat ayat tentang perbuatan yang dilarang tersebut adalah: larangan tentang muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan/atau pengancaman.

Berikut ini bunyi lengkap Pasal 27  ayat 1, 2, 3 dan 4 :

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Sementara isi lengkap Pasal 28 UU ITE adalah sebagai berikut :

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Selain kedua pasal di atas, pasal 29 UU ITE juga perlu diketahui dan menjadi perhatian Gen Z jika tidak ingin terkena pelanggaran UU ITE. Terutama Gen Z yang gampang emosi dengan menuliskan ancaman ke pada temannya di media sosial. Begitu juga mereka yang sering melakukan teror di media sosial. Mulai sekarang harus berpikir dua kali. Karena isi Pasal 29 jelas menyebutkan :

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi"

Hukuman bagi pelanggaran Pasal 29 ini adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Begitu pula dengan Gen Z yang bangga menjadi hacker. Mulai sekarang sebaiknya stop. Karena Anda akan terjerat Pasal 30 UU ITE yang melarang Anda untuk mengakses, mengambil, dan meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.

Berikut ini pasal-pasal larangan UU ITE lainnya yang perlu diketahui dan perhatikan, terutama Gen Z yang menjadi pengguna aktif internet dan media sosial :

Literasi Dan Komunikasi Digital

Dunia digital memang dunianya Gen Z. Karena mereka lahir di awal era digital. Era ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat. Era berkembanganya smartphone. Era  berkembanganya internet dan berbagai platform media sosial. Era konvergensi teknologi, dimana teknologi komputer, telekomunikasi, internet, penyiaran dan media cetak secara kolektif diintegrasikan ke dalam satu unit digital. Karena itulah, Gen Z dikenal dengan berbagai sebutan, IGeneration, Native Digital atau Generasi Net (Generasi Internet).

Namun, pertanyaan utama berkaitan dengan UU ITE adalah bagaimana dengan kemampuan literasi digital dan komunikasi digital dari Gen Z?

Literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya. Kecakapan pengguna dalam literasi digital mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat, serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat, serta tepat sesuai kegunaannya (Devri Suherdi, Peran Literasi Digital di Masa Pandemi, Deli Serdang : Cattleya Darmaya Fortuna, 2021).

Menurut Paul Gilster (2007), salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah literasi digital, seperti dikutip Seung-Hyun Lee (2014) literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui komputer.

Sedangkan menurut Deakin University's Graduate Learning Outcome 3 (DU GLO3), literasi digital adalah pemanfaatan teknologi untuk menemukan, menggunakan dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital. (Murad Maulana, "Definisi, Manfaat, Dan Elemen Penting Literasi Digital," Seorang Pustakawan Blogger 1, no. 2 (2015): Hal. 3.)

Literasi digital juga di definisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, menilai, mengatur dan mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital. Ini artinya mengetahui tentang berbagai teknologi dan memahami bagaimana menggunakannya, serta memiliki kesadaran akan dampaknya terhadap individu dan masyarakat.

            Sedangkan komunikasi digital adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan menggunakan media digital. Komunikasi digital memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan komunikasi tradisional. Perbedaan pertama terletak pada proses dalam membentuk, mengemas, dan menyajikan pesan, dimana komunikasi digital memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan kemudahan. Selanjutnya dalam hal daya tarik pesan yang juga jauh lebih unggul pada komunikasi digital, karena adanya beragam fitur teknologi yang memungkinkan pesan dikemas dan disampaikan dengan cara-cara yang unik dan menarik (R. K. Anwar & Rusmana, 2017).

            Di era digital seperti sekarang ini, Gen Z dan juga empat generasi lainnya memang harus memiliki kemampuan literasi digital dan komunikasi digital. Apalagi di tengah derasnya arus informasi yang begitu banyak dalam watu bersamaan dan merebaknya konten negatif seperti informasi hoaks, pornografi, SARA dan lainnya.

Kementrian Komunikasi dan Informatika memiliki program yang namanya Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia 2020-2024. Ada empat pilar yang menjadi bagian dari kerangka kerja pengembangan kurikulum literasi digital dalam progam tersebut, yaitu Digital Skill, Digital Ethics, Digital Safety, dan Digital Culture.

Masing-masing pilar memiliki indikator penilaian untuk mengukur indeks literasi digital seseorang. Berikut penjelasannya :

Pertama, Digital Skill atau kecakapan digital, adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Ada sembilan indikator penilaian Digital Skill, yaitu kemampun menghubungkan perangkat ke jaringan internet, mengunduh file/aplikasi, mengunggah file, kemapuan mencari dan mengakses data, informasi dan konten di media digital, kemampuan menyimpan data, informasi, dan konten dalam media digital, terbiasa mencari tahu apakah informasi yang ditemukan di situs web benar atau salah, terbiasa membandingkan berbagai sumber informasi untuk memutuskan apakah informasi itu benar, kemampuan berinteraksi melalui berbagai perangkat komunikasi teknologi digital, serta terbiasa belanja melalui loka pasar (market place).

Kedua, Digital Ethics atau etika digital, adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk Digital Ethics, terdapat tujuh indikator penilaian literasi digital, yaitu tidak mengunggah foto bersama anak orang lain, tidak menandai teman saat mengunggah konten tanpa perlu memberi tahu temannya tersebut, tidak akan berkomentar kasar jika ada orang yang komentar negatif di unggahannya,  tidak membuat grup dan menambahkan orang tanpa izin, tidak akan langsung membagikan informasi kecelakaan, tidak akan mengajak orang-orang untuk berkomentar negative, tidak akan membagikan tangkapan layar percakapan ke media sosial.

Ketiga, Digital Safety atau keamanan digital, adalah kemampuan user (pengguna) dalam mengenali, memolakan, menerapkan, menganalisis, menimbang dan meningkatkan kesadaran pelindungan data pribadi dan keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

Di pilar Digital Safety ada delapan indikator untuk menilai literasi digital seseorang, yakni dapat mengatur siapa saja yang dapat melihat lini masanya di akun media sosial, mengetahui cara melaporkan penyalahgunaan di jejaring sosial, dapat menon-aktifkan opsi untuk menunjukkan posisi geografis, tidak mengunggah data pribadi di media sosial, menggunakan aplikasi untuk menemukan dan menghapus virus di perangkat sendiri, dapat membedakan e-mail yang berisi spam/virus/malware, terbiasa membuat password yang aman dengan kombinasi angka, huruf, dan tanda baca, serta melakukan back up data di beberapa tempat.

Ke-empat, Digital Culture atau budaya digital, adalah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari dan digitalisasi kebudayaan melalui pemanfaatan TIK.

Untuk Digital Culture, terdapat tujuh indikator penilaian tingka literasi digital seseorang, yakni menyesuaikan cara berkomunikasi agar pihak kedua tidak merasa tersinggung, mempertimbangkan perasaan pembaca yang berasal dari agama lain, mencantumkan nama penulis saat repost, mempertimbangkan perasaan pembaca yang berasal dari suku lain, berbagi seni budaya tradisional dan kontemporer Indonesia secara digital, mempertimbangkan perasaan pembaca yang memiliki pandangan politik berbeda, selalu mempertimbangkan dan menyadari keragaman budaya di media sosial saat membagikan pesan.

            Itulah empat pilar literasi digital dengan indikator pemilaian yang dikembangkan Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia. Setidaknya indikator-indikator ini bisa menjadi panduan bagi Gen Z maupun generasi lainnya ketika berselancar di internet atau media sosial. Sehingga bisa terhindar dari jeratan UU ITE.

            Selain menghindari Gen Z maupun generasi lainnya dari terjerat UU ITE, kemampuan litereasi digital tentu saja memiliki banyak keuntungan. Menurut Brian Wright (2015) dalam (infographics) "Top 10 Benefits of Digital Literacy: Why You Should Care About Technology", terdapat sepuluh manfaat penting bagi mereka yang memiliki kemampuan literasi digital. Mulai dari menghemat waktu, belajar lebih cepat, menghemat uang, membuat lebih aman, senantiasa memperoleh informasi terkini, selalu terhubung, membuat keputusan yang lebih baik, dapat membuat anda bekerja, membuat lebih bahagia, hingga dapat mempengaruhi dunia. {Wright, B. (2015). Top 10 Benefits of Digital Skills: http://webpercent.com/top-10-benefits-of-digital-skills/.}

Program Dan Perhatian Bersama

Banyaknya Gen Z yang belum memahami isi UU ITE dari berbagai hasil penelitian, ibarat bom waktu, yang sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan berbagai persoalan baru pada masa-masa mendatang. Apalagi tidak dibekali kemampuan literasi dan komunikasi digital yang memadai.

Dampaknya bukan hanya besarnya potensi Gen Z terjerat UU ITE. Namun lebih dari itu, mereka boleh jadi akan membuat jagad digital Indonesia terguncang dan hiruk-pikuk. Apalagi memasuki tahun politik dan momen menjelang Pemilu Serentak 2024.

Mengapa? Pertama, karena Gen Z menempati urutan teratas dari penduduk Indonesia. Data Kemendargri hingga 31 Desember 2021, jumlah Gen Z yang berusia 10-24 tahun mencapai 68.662.815 jiwa dari total penduduk Indonesia saat itu (273,8 juta jiwa).

Kedua, Gen Z adalah pengguna aktif media sosial. Dan seperti laporan survei Alvara Research Center, pecandu internet atau internet addicted user paling banyak berasal dari kalangan generasi Z. Internet addicted user adalah orang yang menggunakan internet lebih dari 7 jam/hari.

Gen Z yang mengakses internet selama 7-10 jam/hari mencapai 20,9%. Sedangkan generasi Y atau milenial 13,7% dan generasi X hanya 7,1%. Sementara responden generasi Z yang mengakses internet di atas 13 jam/hari mencapai 8%, generasi milenial hanya 3,7% dan generasi X 2,6%.

            Ketiga, karena Gen Z melek teknologi komunikasi dan informasi, sehingga bisa dipastikan mereka memiliki kemampuan literasi digital skill dan digital safety yang mumpuni. Meskipun di pilar digital ethics hampir bisa dipastikan indeks literasinya jeblok, mengingat data yang menunjukkan Gen Z menempati urutan teratas pelanggaran UU ITE.

            Bisa dibayangkan seperti apa ruang digital Indonesia jika sepuluh persen saja dari jumlah Gen Z (6,8 juta) dibayar untuk menjadi tim buzzer oleh partai peserta Pemilu, maupun menjadi tim buzzer calon anggota legislatif, atau tim buzzer pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Yang terjadi nanti, ruang digital Indonesia akan overload oleh kampanye hitam, berita atau informasi hoaks, pencemaran nama baik, cyberbullying atau perundungan siber, penyebaran kebencian, hingga isu SARA. Apalagi kalau ada partai atau Paslon Presiden dan Wakil Presiden memberi ruang terhadap isu politik identitas. Bisa dipastikan, bangsa ini akan kembali terbelah.

Karena itu, untuk menghilangkan atau paling tidak mengecilkan potensi bom waktu tersebut, dibutuhkan perhatian bersama dari seluruh kelompok kepentingan. Mulai dari orangtua, para guru, para dosen hingga lembaga-lembaga yang berkepentingan, seperti Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, kalangan kampus, sekolah serta komunitas-komunitas yang ada di masyarakat, perlu bersama-sama memikirkan hal ini.

Gerakan literasi digital yang telah dilakukan oleh Kementrian Kominfo selama ini, maupun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kampus-kampus, sekolah menengah atas dan pertama yang juga telah memiliki Gerakan Literasi Digital berbasis sekolah dan kampus, perlu meningkatkan dan melebarkan jangkauannya. Sehingga semua komponen masyarakat memiliki indeks literasi digital yang baik.

Mulai sekarang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bersama-sama dengan Kementrian Kominfo, harus memikirkan konsep untuk memasukkan secara serentak literasi digital ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Sehingga tidak hanya pelatihan para kepala sekolah, guru dan dosen seperti selama ini.

Begitu pula dengan para guru dan dosen. Mereka sudah harus memikirkan dan mengemas konsep-konsep program literasi digital dan komunikasi digital untuk Gen Z di sekolah dna kampus. Para Bupati dan Gubernur juga harus Bersama-sama memikirkan dan mendain program untuk Gen Z ini.

Selain program Gerakan Literasi Digital, kalangan sekolah dan kampus-kampus juga harus membuat program sosialisasi UU ITE kepada para murid dan mahasiswa. Sehingga mereka bisa menghindari potensi jeratan pelanggaran UU ITE. Begitu pula dengan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat.

Harapannya, dengan begitu minimal jumlah Gen Z yang terjerat UU ITE akan menurun. Sehingga tidak ada lagi kasus Gen Z yang membuat berita hoaks dan meresahkan masyarakat di media sosial seperti yang terjadi di Japapura, maupun "bom waktu" di ruang digital Indonesia oleh Gen Z pada masa mendatang. (Muhammad Yamin Pua Upa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun