Gen Z yang mengakses internet selama 7-10 jam/hari mencapai 20,9%. Sedangkan generasi Y atau milenial 13,7% dan generasi X hanya 7,1%. Sementara responden generasi Z yang mengakses internet di atas 13 jam/hari mencapai 8%, generasi milenial hanya 3,7% dan generasi X 2,6%.
      Ketiga, karena Gen Z melek teknologi komunikasi dan informasi, sehingga bisa dipastikan mereka memiliki kemampuan literasi digital skill dan digital safety yang mumpuni. Meskipun di pilar digital ethics hampir bisa dipastikan indeks literasinya jeblok, mengingat data yang menunjukkan Gen Z menempati urutan teratas pelanggaran UU ITE.
      Bisa dibayangkan seperti apa ruang digital Indonesia jika sepuluh persen saja dari jumlah Gen Z (6,8 juta) dibayar untuk menjadi tim buzzer oleh partai peserta Pemilu, maupun menjadi tim buzzer calon anggota legislatif, atau tim buzzer pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Yang terjadi nanti, ruang digital Indonesia akan overload oleh kampanye hitam, berita atau informasi hoaks, pencemaran nama baik, cyberbullying atau perundungan siber, penyebaran kebencian, hingga isu SARA. Apalagi kalau ada partai atau Paslon Presiden dan Wakil Presiden memberi ruang terhadap isu politik identitas. Bisa dipastikan, bangsa ini akan kembali terbelah.
Karena itu, untuk menghilangkan atau paling tidak mengecilkan potensi bom waktu tersebut, dibutuhkan perhatian bersama dari seluruh kelompok kepentingan. Mulai dari orangtua, para guru, para dosen hingga lembaga-lembaga yang berkepentingan, seperti Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, kalangan kampus, sekolah serta komunitas-komunitas yang ada di masyarakat, perlu bersama-sama memikirkan hal ini.
Gerakan literasi digital yang telah dilakukan oleh Kementrian Kominfo selama ini, maupun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kampus-kampus, sekolah menengah atas dan pertama yang juga telah memiliki Gerakan Literasi Digital berbasis sekolah dan kampus, perlu meningkatkan dan melebarkan jangkauannya. Sehingga semua komponen masyarakat memiliki indeks literasi digital yang baik.
Mulai sekarang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bersama-sama dengan Kementrian Kominfo, harus memikirkan konsep untuk memasukkan secara serentak literasi digital ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Sehingga tidak hanya pelatihan para kepala sekolah, guru dan dosen seperti selama ini.
Begitu pula dengan para guru dan dosen. Mereka sudah harus memikirkan dan mengemas konsep-konsep program literasi digital dan komunikasi digital untuk Gen Z di sekolah dna kampus. Para Bupati dan Gubernur juga harus Bersama-sama memikirkan dan mendain program untuk Gen Z ini.
Selain program Gerakan Literasi Digital, kalangan sekolah dan kampus-kampus juga harus membuat program sosialisasi UU ITE kepada para murid dan mahasiswa. Sehingga mereka bisa menghindari potensi jeratan pelanggaran UU ITE. Begitu pula dengan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat.
Harapannya, dengan begitu minimal jumlah Gen Z yang terjerat UU ITE akan menurun. Sehingga tidak ada lagi kasus Gen Z yang membuat berita hoaks dan meresahkan masyarakat di media sosial seperti yang terjadi di Japapura, maupun "bom waktu" di ruang digital Indonesia oleh Gen Z pada masa mendatang. (Muhammad Yamin P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H