Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Malimbu

15 Maret 2018   14:27 Diperbarui: 17 Maret 2018   03:19 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Travelingyuk.com

Jalan ke surga hanya perlu dua langkah.  Langkah pertama, kau hanya  perlu melewati pagar pembatas yang tingginya tak sampai satu meter. Dan  langkah selanjutnya, kau akan temui hal-hal yang dibincangkan mengenai  Malimbu. Laut yang begitu biru. Ombak yang begitu deru. Dan aku tak  tahu, mana di antara kita yang memiliki tangis lebih haru.

Orang-orang  belajar menangkap cahaya, momen---tapi bukan inersia. Lengkungan jalan  belum cukup 360 derajat bagi sebuah benda untuk berotasi, meski kau  ada---sebagai poros. Tapi, aku tak dapat menangkapmu hari itu. Dunia  tiba-tiba monochrome. Hitam dan putih. Benar dan salah. Warna  pasir, warna langit, warna dedaunan yang hijau ditimpa matahari memudar.  Pertemuan denganmu beberapa hari lalu seharusnya tidak mengantarkan  kita ke Malimbu.

"Kenapa kita harus bertemu?" Seharusnya, untuk  sebuah pertemuan setelah lima tahun berpisah, bukan kalimat itu yang aku  harapkan. Tak ada jabat tangan, tak ada satu pun senyuman. Memikirkan  jawaban pertanyaanmu, aku tak tahu harus menjawab apa. "Hanya ada dua  alasan," jawabku sekenanya.

"Apa itu?"

"Pertama, aku datang. Lalu kau juga turut datang."

"Lazuardi."

"Lazuardi?"

"Kau tak ingat?"

Mana  mungkin aku tak ingat. Surat-suratmu yang masih tersimpan rapi hingga  kini selalu dimulai dengan kata itu. Betapa bodohnya aku yang tak  mengerti dengan arti kata itu---lazuardi. Biru muda seperti warna langit.  Dan tiap kali melihatmu, aku merasakan nuansa yang sama dengan segala  makna yang termaktub dalam kata "lazuardi". Luas. Tak terjangkau. Dadaku  yang tipis terasa kembang kempis, sesak, di saat-saat aku mengingat  betapa kau tega meninggalkanku.

"Nuril." Aku memanggil nama belakangmu. Pasti kau akan marah.

"Tolong jangan panggil aku dengan nama itu.... Panggil aku Lale!" Nadamu agak meninggi.

Lale.  Aku jadi sedikit memahami perasaan Romeo kepada Juliet. Juga sedikit  memahami bagaimana jika ada perasaan laki-laki Cataluna mencintai  perempuan dari Castilla. Mereka beranggapan yang berpaham kiri pastilah  mendukung Barcelona dan akan mati-matian menentang kaum borjuis.  Proletar seperti aku, seperti Romeo, dan seperti laki-laki Cataluna  tetap akan berusaha mempertahankan cinta meski memiliki status yang  berbeda. Lale. Gelar kebangsawanan itu tetap tidak dapat kau jadikan  alas an untuk sebuah perpisahan. Toh, nyatanya, kau pergi meninggalkanku  untuk lelaki lain. Teman sekamarku sendiri yang katamu punya hapalan  sembilan juz Alquran. Dan di pesantren, ketampanan seorang lelaki  dinilai dari jumlah hapalan Qurannya.

"Berapa juz yang kau hapal?" Itu pertanyaanmu ketika kali pertama kita berkenalan.

"Hanya dua," jawabku tersipu.

Kau  diam, menimbang-nimbang seberapa berharganya aku. Aku memperhatikan  lekuk bibirmu dan tak sengaja menahan ludah. Aku tahu, kau menangkap hal  itu dan menahan senyum geli di dalam sana. "Menurutmu, dari dua juz  yang kau hapal itu, mana surat yang paling indah?" tanyamu tiba-tiba.

Ada  sebelas surat pada juz 29, dan 37 surat pada juz 30. Surat favoritku  saat masih kecil tentulah tiga surat terakhir, surat pamungkas---sapu  jagat. Karena pendeknya, dibaca terus-terusan di tiap shalat. Kalau mau  beralasan, bolehlah merujuk riwayat apabila membaca ketiganya sama saja  dengan mengkhatamkan ketiga puluh juz alquran---meski sudah dibatalkan.  Memandang Lale, tentu bukan jawaban seperti itu yang dia inginkan. "Al  Mulk," jawabku penuh pertimbangan.

"Al Mulk? Kenapa?"

"Karena sepertimu."

"Apa hubungannya aku dan kerajaan?"

"Kau angkuh."

"Angkuh?"

"Juz  29 dilambangkan dengan huruf hamzah. Artinya, ia melambangkan sosok  kuat secara pribadi. Jika kau menginginkan sesuatu, sebelum tercapai,  kau tidak akan tenang. Sulit bagimu untuk bersabar dan mengontrol diri.  Tapi..."

"Tapi?"

"Kau perasa. Kau adalah wanita penuh  perasaan." Kalimat terakhirku membuat kau tercengang. Tersipu. Pipimu  merah buah rambutan. Sedikit berjerawat, tapi tetap banyak yang  berminat.

"Fatih, apa kau mencintaiku? Apa kau ingin aku jadi kekasihmu?"

Deg! Giliran  aku yang tercengang. Padahal kita baru pertama bertegur sapa. Tapi  sudah kau tuntut aku untuk menyatakan cinta. Sejujurnya, kaulah cinta  pertamaku. "Ya." Aku menjawab tanpa jeda.

Aku jadi teringat Love Story in Harvard.  Ketika Soo In, tergesa meninggalkan asistensi privat-medisnya, demi  seorang penderita AIDS, meminta Hyun Woo mengantarkannya, membantunya  memberi makan dan memandikan laki-laki itu, Hyun Woo begitu terkesima  dan pada perjalanan pulang, Hyun Woo berkata, "Aku benar-benar tidak  mengerti dirimu. Rasanya aku telah jatuh cinta kepadamu."

Seperti  itulah yang kurasakan ketika kau bertanya itu, Lale. Pendekatan adalah  sebuah proses untuk mengenali apakah perasaan awal benar adalah cinta.  Dan tingkahmu yang tak bisa ditebak itu malah meyakinkan aku bahwa aku  mencintaimu.

Namun, ketika Yesus berteriak di penyalibannya,  bertanya kenapa Tuhan meninggalkannya, aku juga memiliki pertanyaan  serupa. Suratku yang berwarna biru, yang berisi ungkapan ingin memeluk  dan menciummu, malah ditemukan oleh pengurus pesantren. Dari puluhan  siswa yang mengirim surat kepada kekasihnya, dan dari ratusan surat yang  aku kirimkan kepada kau, kenapa harus surat itu yang ditemukan. Menahan  malu, aku membacanya di hadapan siswa-siswa lain. Dan sejak saat itu,  kita tidak boleh saling bersapa, bahkan jika satu lirikan tertangkap  mata-mata, kita akan dilaporkan dan terancam dikeluarkan. Awalnya, aku  pikir, batasan semacam itu tidak akan masalah. Kita masih bisa bertemu  di luar kelas. Di rumahmu. Atau di mana pun tempat seperti Malimbu yang  menawarkan kebebasan bagi kita untuk saling berteriak atau bersembunyi  di bawah rindang pepohonan---sebelum kita menanti senja terindah di  tikungan terpanjang bukit itu. Hanya saja, kenyataan adalah kenyataan.  Kau seperti Tuhan, meninggalkanku dalam tanda tanya besar. "Maaf Fatih,  sepertinya kau tak cukup baik untukku." Dan laki-laki pemilik hapalan 9  juz itu kemudian kudengar jadi pacarmu. Sial.

 "Kenapa kita harus bertemu, Fatih?" Pertanyaan yang sama kau ulangi lagi. Tapi kali ini kau sebut namaku.

"Jawabanku masih sama, Lale. Karena aku datang. Begitu pun kau."

"Kau sendiri?"

"Bagaimana dengan kau? Apa kabar lelaki penghapal 9 juz itu?"

"Dia  bukan Raden." Hanya sampai di situ, aku paham, kau mulai berpikir bahwa  sia-sia segala cinta di hadapan adat. Perbedaan status membuat  seseorang harus memilih untuk kehilangan sesuatu demi mendapatkan  sesuatu yang lain. Keserakahan---ingin mendapatkan keduanya---justru akan  mengabukan segalanya.

"Lale, cinta kadang-kadang menjadi kekal  karena perpisahan." Aku memandanginya lagi. Matanya seperti danau,  menyimpan kedalaman. Ikan-ikan yang berenang sulit dipancing. Dan bila  bulan penuh, pantulannya begitu sempurna.

"Kau masih mencintaiku?"

Aku diam.

"Kau  mau kawin lari denganku?" tanyamu lagi. Kau pernah mengajukan  pertanyaan yang sama lima tahun lalu. Saat itu aku anggap kau sedang  bergurau. Pun saat ini, jangan-jangan kau juga tengah bergurau.  Bagaimana mungkin, kau akan melepaskan status kebangsawananmu, sebagai  seorang Lale. Aku membacanya sebagai dua kemungkinan: pertama, kau masih  mencintaiku, dan kedua, kau sudah amat lelah dengan statusmu itu.  Laki-laki yang tepat yang kau temui tidak bernama Raden. Dan kau ingin  lari, melepaskan beban beratmu padaku---masa lalumu, yang begitu polos  dalam mencintaimu.

"Bila kau harus diusir dari keluargamu, dan tak pernah diizinkan untuk kembali?" Giliran aku yang melempar pertanyaan.

Kota  Selong lebih dingin saat malam hari. Tapi, Aekmal jauh lebih dingin.  Tadinya, hubungan kita bakda berpisah tak bisa disetarakan dengan  keduanya. Kau tak pernah memberi kabar, meski debar di dadaku masih  serupa dengan saat pertama bertemu denganmu. Lima tahun ini aku  merindukanmu dan mencari wajahmu dalam kata-kata yang biasa kau rangkai.  Suratmu masih aku simpan. Kenangan mengenai dirimu masih aku pendam.

"Aku tak peduli," jawabmu layu.

"Lale, di hadapan api, kita hanya abu."

"Kau sudah benar-benar menjadi penyair ya sekarang, Fatih?"

"Aku belajar dari kau."

"Lazuardi.  Kau kini memang telah menjadi laki-laki yang tidak pantas untukku.  Karena aku telah hina, mempermainkan perasaanmu. Kini aku yang  dipermainkan perasaanku sendiri. Apa ini sebuah karma, Fatih?"

"Aku tidak tahu."

"Apakah cahaya tetaplah cahaya jika aku tak lagi melihatmu?"

"Shakespeare. Kau masih menyukainya?"

"Mungkin  karena itu pula, kisah Romeo dan Juliet berulang pada hidupku, Fatih.  Sayangnya, hanya aku yang akan menembakkan pistol di kening. Tak ada  laki-laki yang benar-benar bersedia untuk terjun ke dalam api."

Bila saja dulu kau tak meninggalkanku, Lale, aku pasti bersedia terjun bersamamu....

"Aku punya satu permintaan, Fatih."

"Katakanlah..."

"Maukah kau menemaniku ke Malimbu akhir pekan ini?"

Dan  bakda subuh, aku menjemputmu di tugu kota Selong. Kita menempuh  perjalanan dari Timur ke Barat, seperti dua orang biksu dalam hikayat.  Di atas motor, kau menggenggam jaketku, memeluk tubuhku. Maafkan aku  yang masih menikmati pelukanmu ini. "Fatih, satu lebah ditambah satu  lebah apa hasilnya?" Pertanyaanmu aneh.

"Tentu dua lebah."

"Salah."

"Lalu?"

"Madu. Dan mungkin ratu."

"Aku tak paham."

"Hari  ini kau boleh memanggilku Nuril." Dan jawaban tentang lebah tadi masih  mengambang di benakku. Begitu aku ingin menanyakannya kembali, kau  merebahkan kepalamu di punggungku. "Boleh aku begini, Fatih... untuk hari  ini saja?"

Matahari dan kau, seperti sepotong roti diolesi  mentega. Bayangan mulai berani memanjangkan tubuhnya. Pohon-pohon  kelapa, suara ombak, Senggigi dan kenangan tentang sate belayak kita  lewati satu per satu. "Nuril, aku ingin bilang sesuatu...." Aku harus  melakukan satu pengakuan.

"Aku tak ingin dengar bila itu menyakitkan..."

"Aku tak lagi sendiri, Nuril. Waktu membuatku memilih...."

Aku rasakan ada yang mulai membasahi punggungku. Aku harap itu setitik hujan yang tersesat, bukan air mata.

"Kau tak lagi mencintaiku?"

"Aku tak bisa tak mencintaimu."

"Lalu?"

Lalu  aku diam, tak mampu menjawab pertanyaanmu. Angin yang mengepung kita  saat jalan makin menanjak, berliku, dan laut Malimbu terasa dekat dan  karib. Memarkirkan motorku, di sudut mati, kau buru-buru turun dan  berlari ke bahu jalan di seberang sana. Intensitas cahaya belum terlalu  tinggi untuk menatapi gurat wajahmu. Aku dan semua rindu, dan semua  engkau seharusnya menjadi sepasang kekasih yang abai pada segala nilai.  Namun, satu hal yang tak bisa kulakukan, menyakiti perasaan seorang  perempuan yang kini tengah menungguku. Sebab aku telah pernah tahu  bagaimana rasanya dikhianati. Dan itu oleh kau.

"Lale!" Aku  kembali memanggilmu Lale. Kau menatapku seolah-olah untuk terakhir  kalinya. "Boleh sekarang aku yang meminta satu permintaan?"

"Katakanlah.... Jiwaku pun kuberikan."

"Aku selalu kagum pada kata-katamu. Bisakah kau membacakan puisi di sini, di Malimbu ini?"

Kau  tersenyum. Lalu melangkah satu kali melewati pagar pembatas, tepat di  pinggir, begitu pinggir, tebing yang curam. Batu-batu karang diterpa  ombak yang ganas. Sepintas, aku merasa kau ingin bunuh diri. Aku  menyeberang, menyusulmu, ikut melewati pagar pembatas, berdiri di  sampingmu.

Kau melangkah satu kali ke kanan, tepat di depanku. "Peluk aku, Fatih..."

Begitu tepi. Begitu ngeri. Aku tak berani memelukmu.

Tapi  kau bertindak cepat, berbalik, dan kita saling berhadapan dalam jarak  yang sedikit. Aku bahkan mampu merasakan embusan napasmu. Tiba-tiba saja  kau melepaskan alas kaki, dan naik di atas kedua kakiku. "Kau pernah  bilang, ini adalah salah satu adegan Summer Scent yang kau sukai, bukan?"

Kau begitu pandai merayu.

when the gods were dead,

and my insufferable youth

spent searching between cracks?

It was my role, and because of it

I felt so desolate.

Kau mulai berpuisi.

One bee plus one bee

does not make two bees of light

or two bees of darkness:

it makes a solar system,

a house of topaz,

a dangerous caress.

 Cukup. Aku tak menyukai Neruda.

Tapi  kau terus membacanya. Lirik-lirik itu berdengung seperti suara lebah.  Menyengat. Penderitaan macam apa yang ingin kau sampaikan kepadaku, aku  tak peduli. Cinta bukan sebuah lelucon. Perasaan bukan mainan yang  begitu mudahnya bisa kembali. "Lale, hentikan!" Pertama kali aku  berteriak. Tanganku mengempaskan tubuhmu yang masih memelukku. Pelukan  itu terlepas. Dan kusaksikan kau mulai terlempar bebas ke medium kosong.  Sepersekian detik aku sadar, dan berusaha meraih tanganmu yang pernah  tak ingin kulepaskan.

Namun, jalan ke surga hanya perlu dua  langkah.  Langkah pertama, kau hanya perlu melewati pagar pembatas yang  tingginya tak sampai satu meter. Dan langkah selanjutnya, kau akan temui  hal-hal yang dibincangkan mengenai Malimbu. Laut yang begitu biru.  Ombak yang begitu deru. Dan aku tak tahu, mana di antara kita yang  memiliki tangis lebih haru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun