"Tapi?"
"Kau perasa. Kau adalah wanita penuh  perasaan." Kalimat terakhirku membuat kau tercengang. Tersipu. Pipimu  merah buah rambutan. Sedikit berjerawat, tapi tetap banyak yang  berminat.
"Fatih, apa kau mencintaiku? Apa kau ingin aku jadi kekasihmu?"
Deg! Giliran  aku yang tercengang. Padahal kita baru pertama bertegur sapa. Tapi  sudah kau tuntut aku untuk menyatakan cinta. Sejujurnya, kaulah cinta  pertamaku. "Ya." Aku menjawab tanpa jeda.
Aku jadi teringat Love Story in Harvard.  Ketika Soo In, tergesa meninggalkan asistensi privat-medisnya, demi  seorang penderita AIDS, meminta Hyun Woo mengantarkannya, membantunya  memberi makan dan memandikan laki-laki itu, Hyun Woo begitu terkesima  dan pada perjalanan pulang, Hyun Woo berkata, "Aku benar-benar tidak  mengerti dirimu. Rasanya aku telah jatuh cinta kepadamu."
Seperti  itulah yang kurasakan ketika kau bertanya itu, Lale. Pendekatan adalah  sebuah proses untuk mengenali apakah perasaan awal benar adalah cinta.  Dan tingkahmu yang tak bisa ditebak itu malah meyakinkan aku bahwa aku  mencintaimu.
Namun, ketika Yesus berteriak di penyalibannya,  bertanya kenapa Tuhan meninggalkannya, aku juga memiliki pertanyaan  serupa. Suratku yang berwarna biru, yang berisi ungkapan ingin memeluk  dan menciummu, malah ditemukan oleh pengurus pesantren. Dari puluhan  siswa yang mengirim surat kepada kekasihnya, dan dari ratusan surat yang  aku kirimkan kepada kau, kenapa harus surat itu yang ditemukan. Menahan  malu, aku membacanya di hadapan siswa-siswa lain. Dan sejak saat itu,  kita tidak boleh saling bersapa, bahkan jika satu lirikan tertangkap  mata-mata, kita akan dilaporkan dan terancam dikeluarkan. Awalnya, aku  pikir, batasan semacam itu tidak akan masalah. Kita masih bisa bertemu  di luar kelas. Di rumahmu. Atau di mana pun tempat seperti Malimbu yang  menawarkan kebebasan bagi kita untuk saling berteriak atau bersembunyi  di bawah rindang pepohonan---sebelum kita menanti senja terindah di  tikungan terpanjang bukit itu. Hanya saja, kenyataan adalah kenyataan.  Kau seperti Tuhan, meninggalkanku dalam tanda tanya besar. "Maaf Fatih,  sepertinya kau tak cukup baik untukku." Dan laki-laki pemilik hapalan 9  juz itu kemudian kudengar jadi pacarmu. Sial.
 "Kenapa kita harus bertemu, Fatih?" Pertanyaan yang sama kau ulangi lagi. Tapi kali ini kau sebut namaku.
"Jawabanku masih sama, Lale. Karena aku datang. Begitu pun kau."
"Kau sendiri?"
"Bagaimana dengan kau? Apa kabar lelaki penghapal 9 juz itu?"