"Salah."
"Lalu?"
"Madu. Dan mungkin ratu."
"Aku tak paham."
"Hari  ini kau boleh memanggilku Nuril." Dan jawaban tentang lebah tadi masih  mengambang di benakku. Begitu aku ingin menanyakannya kembali, kau  merebahkan kepalamu di punggungku. "Boleh aku begini, Fatih... untuk hari  ini saja?"
Matahari dan kau, seperti sepotong roti diolesi  mentega. Bayangan mulai berani memanjangkan tubuhnya. Pohon-pohon  kelapa, suara ombak, Senggigi dan kenangan tentang sate belayak kita  lewati satu per satu. "Nuril, aku ingin bilang sesuatu...." Aku harus  melakukan satu pengakuan.
"Aku tak ingin dengar bila itu menyakitkan..."
"Aku tak lagi sendiri, Nuril. Waktu membuatku memilih...."
Aku rasakan ada yang mulai membasahi punggungku. Aku harap itu setitik hujan yang tersesat, bukan air mata.
"Kau tak lagi mencintaiku?"
"Aku tak bisa tak mencintaimu."