"Lalu?"
Lalu  aku diam, tak mampu menjawab pertanyaanmu. Angin yang mengepung kita  saat jalan makin menanjak, berliku, dan laut Malimbu terasa dekat dan  karib. Memarkirkan motorku, di sudut mati, kau buru-buru turun dan  berlari ke bahu jalan di seberang sana. Intensitas cahaya belum terlalu  tinggi untuk menatapi gurat wajahmu. Aku dan semua rindu, dan semua  engkau seharusnya menjadi sepasang kekasih yang abai pada segala nilai.  Namun, satu hal yang tak bisa kulakukan, menyakiti perasaan seorang  perempuan yang kini tengah menungguku. Sebab aku telah pernah tahu  bagaimana rasanya dikhianati. Dan itu oleh kau.
"Lale!" Aku  kembali memanggilmu Lale. Kau menatapku seolah-olah untuk terakhir  kalinya. "Boleh sekarang aku yang meminta satu permintaan?"
"Katakanlah.... Jiwaku pun kuberikan."
"Aku selalu kagum pada kata-katamu. Bisakah kau membacakan puisi di sini, di Malimbu ini?"
Kau  tersenyum. Lalu melangkah satu kali melewati pagar pembatas, tepat di  pinggir, begitu pinggir, tebing yang curam. Batu-batu karang diterpa  ombak yang ganas. Sepintas, aku merasa kau ingin bunuh diri. Aku  menyeberang, menyusulmu, ikut melewati pagar pembatas, berdiri di  sampingmu.
Kau melangkah satu kali ke kanan, tepat di depanku. "Peluk aku, Fatih..."
Begitu tepi. Begitu ngeri. Aku tak berani memelukmu.
Tapi  kau bertindak cepat, berbalik, dan kita saling berhadapan dalam jarak  yang sedikit. Aku bahkan mampu merasakan embusan napasmu. Tiba-tiba saja  kau melepaskan alas kaki, dan naik di atas kedua kakiku. "Kau pernah  bilang, ini adalah salah satu adegan Summer Scent yang kau sukai, bukan?"
Kau begitu pandai merayu.
when the gods were dead,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!