Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari di mana Wira sudah mendapatkan kelulusannya menjadi pengawal raja. Ibu Wira menangis menyaksikan kepergian puteranya ini. Adik Wira pun ikut menangis, sedangkan ayah Wira hanya menahan haru di hatinya.
""""
      "Kakak, aku berterima kasih karena kamu sudah menjadi kakak yang baik."
      "Tidak apa-apa, adikku."
      "Kakak, kamu pintar sekali menjahit."
      "Iya, terima kasih dan ini semua karena ibu yang mengajarkannya padaku."
      "Kakak mengapa kamu tidak mau menerima gelar puteri yang dianugerahkan ayahanda?"
      "Adikku sayang setiap manusia itu sama, tetapi yang membedakannya adalah ketaqwaannya." Teringatlah puteri masa-masa ketika pangeran baru dilahirkan.
      Kelahiran pangeran Aliuddin sudah berjalan 30 hari. Maka, orang-orang di istana sedang bersiap-siap untuk acara syukuran. Acara ini adalah salah satu ajaran agama. Acara ini juga membuat rakyat bisa bertemu dengan calon pemegang tahta. Rakyat berharap raja akan memiliki penerus yang tepat. Penerus yang mencintai rakyat dan mumpuni.
       Rakyat mendengar calon pemegang tahta, yang baru lahir sering menangis dan sekaligus tersenyum. Katanya jika seorang bayi tersenyum, ada seorang malaikat yang datang dan menyapa. "Ibu, aku senang sekali. Sekarang aku sudah seperti puteri," puteri Binar sedang mencoba pakaian yang baru selesai dijahitkan Ibu. "Aku ingin pandai menjahit seperti Ibu, nanti kalau aku sudah besar." Ibu Binar menyahut dan membalas ucapan anaknya, "Kalau begitu kamu harus rajin belajar dan memperhatikan Ibu mulai dari sekarang." Puteri Binar yang dirindukan Wiraa pun berujar, "Baik, Bu. Ibu, ternyata pakaian ini bagus sekali."
      Binar pun memakai pakaian yang dijahitkan ibunya itu ketika acara syukuran pangeran kecil. Sudah barang tentu Binar terlihat cantik sekali. Binar ditemani ayahnya ke istana. Pangeran yang dalam gendongan ratu, diperhatikan oleh Binar. Tak sengaja gadis kecil ini memanggil pangeran dengan sebutan Ali.