Beberapa waktu terakhir, Presiden Jokowi banyak mendapat bombardier di medsos terkait tudingan politik dinasti. Paling berat adanya tuduhan pelanggaran konstitusi, menggeser demokrasi ke arah otokratis. Jokowi dinilai lawan politik dan pro demokrasi yang tidak suka kini dituduh menggunakan pengaruh jabatannya untuk kepentingan politik praktis.
Tidak kurang-kurang kini para guru besar almamaternya dan banyak Universitas lain juga ikut melakukan serangan. Sebuah pertanyaan dari sisi perspektif intelijen, langkahnya ini penulis nilai langkah pertaruhan Jokowi yang urat takutnya sudah putus.
Digempur dan diancam bagaimanapun Jokowi ini tetap melanjutkan taktik dan strategi yang jelas dilatarbelakangi sebuah kepentingan yang sangat besar dan prinsip. Secara keilmuwan, politik adalah bagaimana penguasa mempertahankan kekuasaan dengan bermacam dalih.
Nah, penulis mencoba tidak membahas apa yang dianggap keliru oleh publik, pelanggaran konstitusi, etika dan bahkan dituduh berkhianat. Tetapi penulis menganalisis latar belakang langkahnya yaitu cipta kondisi intelijen strategis (conditioning). Ini yang menarik, mari kita bahas.
Kelebihan Jokowi sebagai End User
Dalam teori intelijen, sebagai presiden, Jokowi adalah end user yang mengontrol jalannya pemerintahan ditinjau dari sembilan komponen intelstrat.Â
Dibanding siapapun di negeri ini, informasi dan intelijennya paling lengkap dan sahih. Selama sembilan tahun dia belajar kepemimpinan dan pengambilan keputusan high profile.
Jokowi ini seorang visioner, mampu melihat jauh ke depan. Langkahnya saat ini sudah dipersiapkannya sejak tahun 2019 saat menyusun kabinet, bahkan mungkin bisa juga sebelumnya dalam proses.
Badan Intelijen yang berkepentingan dengan Indonesia selalu melakukan 'spotting' siapa yang akan jadi atau dijadikan pemimpin nasional sebuah negara. Siapapun tidak mengira, seorang Jokowi dari walikota, dia menjadi gubernur dan kemudian sukses menjadi presiden.
Dalam proses ini beliau sebelumnya hanya di posisi handler, sementara principle agent itu sosok clandestine ('question mark').Â
Jelas saat itu menggunakan 'cut out', sehingga sulit terbaca sispa si principle. Secara umum indikasi link dukungan perekonomian, yang disebut CIA sebagai 'pay day loan' dimungkinkan dia pemain di belakang layar.
Setelah satu periode dan bargaining power sudah dimiliki, maka pada periode kedua, Jokowi naik peringkat menjadi principle agent. Dia harus memilih dan membina serta meyiapkan handler agent.
Terpilihlah Prabowo yang dinilai berani, ex pasukan khusus, nekat dan agak hipster. Pada saat awal periode kedua, tidak ada yang mengira Prabowo lawan politiknya saat Pilpres 2019 justru dipilihnya pada posisi kunci sebagai Menhan.
Terbukti kini terbukti demi kepentingan masa depannya. Prabowo dibina (sebagai pembantunya di kabinet), disiapkan diberi porsi penting nenjadi capres terkuat.Â
Karena ragu dan dinilai bisa lepas kendali atau menjadi kuda Troya, maka pak Mahfud sebagai tokoh yang lurus, luwes, ahli hukum dan berani dijadikan Menkopolhukam, dengan tugas mengawasi Prabowo.
Tokoh kunci lain yang sangat di percaya adalah pak Luhut sebagai Menko Marves dan kini tegas menyatakan mendukung Prabowo-Gibran. Tito ex Kapolri dipercaya sebagai Mendagri dan kini Tito yang ahli counter terrorism diangkat sebagai Plt Menkopolhukam.
Sri Mulyani yang dekat dengan Bank Dunia dijadikan Menkeu, karena dia faham sikon perekonomian dan bisa menjadi fixer.Â
Sementara posisi kunci politik (Trias Politika) selain Tito, Retno Marsudi dipercaya sebagai Menlu mendampingi Prabowo atas restu Mega. Juga pejabat Panglima TNI, Kapolri serta Kasad saat ini dipilih mereka yang dekat dan sangat dipercaya.
Power (hak prerogatif) pernah ditunjukkannya dengan mengganti/memberhentikan tanpa signal awal dua Menko, Rizal Ramli dan Laksamana Pur Tedjo sebagai test the water. Bongkar pasang di kabinet dilakukannya dengan tanpa beban. Itu kira-kira pembacaan strata pengamanan.
Teori SunTzu dan Penerapan
Sun Tzu menyebutkan kualitas sebuah keputusan seperti elang yang menyerang dengan cepat. Menukik menyerang dan menghancurkan korbannya. Yang terpenting dalam sebuah perang adalah menyerang strategi musuh.
Setiap orang dapat melihat taktik-taktik yang mana saya mampu menaklukkan lawan. Tapi tidak semua orang dapat melihat strategi dari kemenangan yang saya perjuangkan.
Jadilah luwes, sampai seakan-akan tidak berbentuk. Jadilah sangat misterius, sampai tidak terdengar sama sekali suaranya.Â
Dengan demikian, Anda bisa menentukan nasib lawan. Untuk menyerang dan pasti merebutnya, seranglah di mana mereka tidak bertahan. Anda akan menang jika seluruh pasukan anda di berbagai level memiliki semangat juang yang sama.
Kesempatan untuk menghindari kekalahan terletak di tangan diri anda sendiri. Namun kesempatan untuk mengalahkan musuh, disediakan oleh musuh sendiri. Dari semua pasukan yang bisa dekat dengan komandan, tidak ada yang lebih intim dibanding mata-mata atau intel. Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka, dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati.
Di sinilah kelebihan seorang Jokowi, langkahnya dalam beberapa tahun luwes sering tidak berbentuk, disukai publik, mampu melihat kerawanan lawan, faham dengan kekuatannys (aproval rakyat tinggi) berupa dukungan dan hak prerogatif.
Pelindungnya kuat, TNI Polri mendukung penuh, ada Intelijen dan kekuatan politik yang dikontrol sesuai kepentingan. Nasib siapapun ditentukannya, karena dia menguasai informasi, badan anti korupsi, tahu kekuatan sendiri dan tahu kekuatan serta kerawanan ketum parpol serta lawan politik.
Stemmingsbeeld Negatif
Dalam dunia intelijen, ini diartikan kepada citra dan suasana hati yang negatif khususnya kepada pemimpin dan satuannya.
Nah, citra dan suasana hati masyarakat menuju ke Pilpres 2024. Terlihat dari banyaknya penyebaran berita medsos, ada yang merasakan tidak puas kepada Presiden Jokowi karena keberpihakan politik kelompok dan keluarganya serta pelanggaran demokrasi.
Publik menginginkan pak Jokowi netral, sebagai bapak bangsa, tapi kembali kepada teori dasar politik, ada yang diperjuangkan dan dipertaruhkannya. Jokowi yang sudah menjadi principle agent, mampu berselancar di dunia politik dengan kekuasaan dan wewenangnya yang tidak terbantahkan.
Jokowi melakukan langkah kompartmentasi parpol, tokoh, organisasi dan cipta kondisi dengan modal tingginya kepercayaan rakyat kepada pemerintahan. Pernyataannya berani melawan arus mereka yang pro demokrasi dan etika, serta anti politik dinasti.
Sebenarnya langkahnya bisa difahami sebagai ayah dan kepentingan mempertahankan kekuasaan. Tetapi di lain sisi ada yang diabaikan yaitu rambu-rambu demokrasi, hukum dan etika yang diterabasnya dan suasana hati banyak pihak terabaikan.
Penyusun skenario kurang mendalami dan mengabaikan budaya, norma dan etika yang berlaku di era digital yang transparan. Parpol di Koalisi Indonesia Maju semua tunduk dengan pelbagai alasan, Prabowo sebagai handler tunduk diberi GRR sebagai pendamping karena yakin akan kalah tanpa Jokowi.
Tanpa rasa 'sungkan', dia turun ke medan laga untuk kampanye Prabowo-Gibran. Semua tidak berdaya, Stemmingsbeeld negatif hanya berupa teriakan, protes dan sumpah serapah pemakzulan semu yang ditanggapinya dengan ringan.
Dia paham sikon sudah undercontrol, dan memang hingga hari ini belum ada ancaman nyata hingga terasa agak overconfident.
Persepsi Kerawanan Jokowi
Dalam perang atau persaingan yang terjadi, selain kekuatan dan kemampuan yang dimiliki, intelijen juga mengukur nilai kerawanan, yaitu titik mati psikologis berupa kelemahan seseorang atau pemimpin yang apabila mampu dieksploitasi lawan politik akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa bersifat permanen.
Tiap pemimpin sehebat apapun pasti memiliki kerawanan, baik berupa masalah integritas, bukti pelanggaran konstitusi, penyalah gunaan jabatan dan lain-lainnya, ini semua secara umum adalah aib.
Sebagai contoh ops intelstrat AS di LN, Ghadafi, Sadam Husein diruntuhkan dengan kekerasan militer, PM Najib jatuh karena faktor integritas (korupsi). Sementara di Indonesia, dua pemimpin yang kuat, Bung Karno dan pak Harto jatuh karena kasus politik dan ekonomi.
Nah, dalam analisis ini penulis mencermati, langkah conditioning dari pak Jokowi ada yang lepas dari prinsip teori SunTzu, yang mana pak Jokowi dengan habbitnya berjalan sendiri sebagai operator lapangan dengan menyolok.
Menurut SunTzu, taktik-taktik yang mampu menaklukkan lawan dapat dan bisa saja terbaca umum, tetapi pak Jokowi melanggar prinsip strategi kemenangan.
Mungkin karena agak overconfident tadi, kini semakin tidak luwes, strateginya mudah dibaca dari bentuk yang seharusnya sangat misterius (tidak terdengar sama sekali). Dengan demikian, harusnya dia bisa menentukan nasib lawan dalam menyerang dan pasti merebutnya, serang target di mana mereka tidak bertahan.
Penulis menilai ini titik simpangnya. Saat ini Jokowi disadari atau tidak dijadikan semakin dijadikan musuh bersama. Ini berimbas kepada Prabowo sebagai handler juga jadi musuh bersama dua paslon lainnya, jelas terlihat saat debat.
Dari sejarah perspektif intelijen, operasi cipta kondisi pernah dilakukan pada tahun 1964, yang mana kompartmentasi dilakukan oleh DN Aidit, sehingga Bung Karno terkucilkan.
Saat penulis sekolah intelijen penggalangan (conditioning), dalam diskusi disimpulkan apabila PKI tidak tergelincir/digelincirkan dari insurgency ke coup de'tat pada peristiwa G30S/1965, maka Indonesia pada tahun 1968 akan menjadi negara Komunis.
Titik rawan coup (pembunuhan jenderal) oleh PKI dan simpatisan di eksploitir oleh CIA dan PKI yang memiliki 60 juta kader dan simpatisan jadi musuh bersama rakyat, hancur berantakan dilibas.
Saat ini mungkin dengan perhitungan publik mendukungnya (aproval 80 persen), Jokowi mengambil pertaruhan resiko solo karir dalam cipkon. Taktik dan Strategi Jokowi lemah karena tanpa 'cut out', dia menjadi prominent target, kurang memperhitungkan pendukungnya yang bisa diubah oleh intelijen lawan.
Jokowi tidak punya partai, Gerindra adalah parpol milik handler-nya dan beberapa parpol di Indonesia maju yang dinilai pragmatis juga hanya mau memanfaatkan taktik dan strategi Jokowi, mengharapkan Prabowo menjadi presiden.
Titik Balik Kondisi
Setelah kita bahas kekuatan, kemampuan dan kerawanan Presiden Jokowi, kini mulai nampak titik balik kondisi. Secara teori operasi penggalangan tidak boleh dilakukan terus menerus, karena akan memukul balik pembuat.
Nah, menuju 14 Februari 2024, Jokowi masih aktif dan terus melakukan cipta kondisi, dengan bansos dan kampanye ke daerah. Jokowi mengeluarkan narasi presiden berhak kampanye dengan dalih keabsahan konstitusi tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya etis atau tidak.
Padahal manuver seperti itu dinilai para pro demokrasi sama artinya merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Bahkan bisa disebut pelanggaran etika yang luar biasa.
Jokowi dan inner circle kurang membaca situasi yang berlaku. Kini selain serangan sektoral medsos yang kurang gregetnya, muncul serangan yang bisa menjadi bola salju dari para guru besar perguruan tinggi ternama.
Presiden Joko Widodo "ditegur dan diperingatkan secara keras" oleh sejumlah sivitas akademika lantaran tindakannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan disebut sudah tidak bisa lagi ditolerir.
Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pertama menyuarakan petisi kepada Presiden Jokowi pada Rabu (31/01).
Melalui petisi yang dinamai 'Petisi Bulaksumur', mereka meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali ke koridor demokrasi.
Pada Kamis (01/02), sivitas akademika Universitas Islam Indonesia menyatakan sikap berjudul 'Indonesia Darurat Kenegarawanan'. Sivitas akademika UI: 'Hilangnya etika bernegara. Sivitas akademika Unandalas: 'Menolak praktik dinasti politik'disusul beberapa lainnya, tercatat hingga kini ada 27 lebih.
Ini yang berbahaya karena dari pengalaman, mahasiswa di universitas bila bergerak umumnya bisa menjatuhkan pemerintahan.
Menanggapi petisi para guru besar tersebut, koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan hal itu adalah hak demokrasi. Ini, katanya, ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. Ini ungkapan yang menyinggung para guru besar itu, terjadi perdebatan terbuka di media arus utama yang merugikan presiden.
Arah Dukungan AS pada Pilpres Indonesia
Di samping pemberitaan DN, beberapa media asing serta penulis pro demokrasi seperti William Riddle juga menyoroti masalah pilpres dan kebijakan Presiden Jokowi.
Itu bukan sekedar artikel lepas, tapi para peneliti tersebut mewakili perspektif demokrasi rakyat negaranya terutama AS berupa penilaian berbahayanya pilpres di Indonesia.
Sedikit banyak media akan berpengaruh kepada pemerintahnya yang bahkan jelas sudah beroperasi di sini, hanya saja mereka menunggu momentum yang tepat.
Beberapa pihak bertanya kemana arah dukungan AS dalam Pilpres? Menurut persepsi penulis, memang Amerika sebagai mbah demokrasi pemerintahnya diam menyikapi masalah demokrasi di Indonesia. Tetapi mereka akan pro kepada paslon yang dinilai menguntungkan kepentingan dan keamanan nasionalnya.
Dari sikon geopolitik dan geostrategi kawasan, terjadi perebutan pengaruh antara AS dengan China (RRT) tentang kawasan Asia Tenggara dan Laut China Selatan (LCS), di samping masalah Taiwan. AS telah tegas menempatkan China dan Rusia sebagai musuhnya.
Terkait Pilpres di Indonesia CIA dan NSA dengan kemampuan sadapnya tahu secara detail bahwa Presiden Jokowi dekat dengan China.
Contohnya, peran China akan besar di IKN serta beberapa proyek Jokowi berupa konsesi, di samping kini mereka nilai Jokowi telah begeser dari demokrasi. Jadi sederhananya AS tidak akan dukung paslon 02 yang didukung Jokowi.
Sementara paslon 03 (Ganjar-Mahfud) pada posisi sulit, mereka dukung program pemerintah Jokowi, termasuk IKN. Ganjar dan PDIP pernah mencoba menyerang Jokowi, tapi justru elektabilitasnta yang turun.
Konsep strategi dan taktik paslon 01 paling cerdik dengan konsep perubahan. Anies terus menyatakan akan melakukan penilaian dan melakukan perubahan program Jokowi termasuk proyek mahkota IKN. Ini message ke AS bahwa mereka juga anti China.
Nah, secara kasat mata dan logika, AS akan tertarik ke paslon 01, termasuk faktor penguatnya, Anies pernah kuliah di AS, sedikit banyak pernah di spotting intelijen AS sebagai calon pemimpin di Indonesia
Harapan paslon 03 jelas masih ada, apabila team intelijennya berhasil melakukan hubungan dengan intelijen AS, di samping PDIP adalah parpol nasionalis besar yang mereka perhitungkan.
Peran AS di Indonesia jelas ada hanya gerakannya tertutup, sehingga sulit terbaca. AS akan dan sudah cawe-cawe, hanya akan terlihat setelah Pilpres. Seperti teori SunTzu, strategi intelijennya misterius tidak berbentuk, luwes tapi menggigit.
Kesimpulan
Analisis intelijen adalah bisnis yang sulit dan selalu berakhir menjadi sebuah prediksi. Dari fakta-fakta tersebut diatas penulis melihat secara umum posisi politik Jokowi saat ini masih cukup untuk menjaga elektabilitas paslon 02 (Prabowo-Gibran), walau sulit untuk satu putaran.
Apabila Pilpres dua putaran, posisi Prabowo-Gibran bisa melemah apabila dijadikan musuh bersama. Ibu Mega, pak JK dan Surya Paloh adalah kawan lama sebagai politisi senior. Mereka bisa menyatukan Gajar-Mahfud dengan Anies-Imin, siapapun yang akan bertarung di putaran kedua.
Aproval kecintaan rakyat kepada Jokowi akan tambah tergerus dengan kekeliruan pembantunya, seperti menyebut para Guru Besar sebagai partisan dan sesat.
Di masa Orde Baru, hal itu terlihat kala akademisi menyampaikan keresahan mereka atas krisis politik di pemerintahan Suharto dan kemudian membuat mahasiswa dan buruh turun ke jalan berhasil menggulingkan pak Harto.
Jokowi secara resmi akan selesai pada 20 Oktober 2024. Apakah Jokowi bisa jatuh? Kini peluangnya sixty-fourty.
Jangan anggap remeh peran asing dengan cawe-cawenya. Kalau doktrin Rumsfeld di-approve, kita akan lihat hasil pengondisian mereka.
Bagaimana peluang Prabowo-Gibran? Bila Jokowi jatuh, mereka kemungkinan akan kalah diputaran dua. Kini di era transparansi, bila hasil Pilpres putaran pertama dimainkan di KPU maka dipastikan akan bocor dan Indonesia akan "GEGER".
Aparat keamanan akan sulit dan tidak mampu mengatasi bila terjadi chaos, korban akan berjatuhan.
Nah, demikian analisis pertaruhan seorang Jokowi, dari perspektif intelijen. Saran penulis, untuk adviser intelijen di belakangnya, bila asing mereka jelas tidak memikirkan Indonesia, pecahpun tidak peduli, dan bila lokal, sekaligus menyarankan pak Jokowi, penulis sarankan sikon kritis, mohon 'cooling down', jangan teruskan.
Kerusakan persatuan sebuah bangsa dibayarnya akan mahal dan butuh waktu lama. Sejarah menulis Bung Karno dan Pak Harto setelah jatuh menjalani hari-hari yang nenyakitkan.
Sebagai penutup artikel, kita sama-sama faham yang berbahaya selain lawan lokal, ada asing yang juga bermain, tolong baca beberapa artikel penulis beberapa waktu terakhir yang mengingatkan pak Jokowi.
Semoga bermanfaat. Pray Old Soldier...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI