Topik yang sedang heboh di dunia politik Indonesia menjelang Pilpres 2024 adalah kedekatan Presiden Jokowi kepada Capres Prabowo. Muncul pro dan kontra. Pro adalah pendapat yang bersifat setuju, sementara kontra adalah pendapat yang menyatakan ketidak setujuan.
Di satu sisi PDIP kini sedang gundah gulana, dengan sikon yang ada, terlihat jelas dari statement Sekjen-nya Hasto Kristiyanto, yang mengatakan saat ini partainya dalam suasana sedih dan terluka hatinya.
Banyak kader hingga simpatisan tak percaya terkait kondisi hubungan partai dengan keluarga Presiden Jokowi.
"Ketika DPP partai bertemu dengan jajaran anak ranting dan ranting sebagai struktur partai paling bawah, banyak yang tidak percaya bahwa ini bisa terjadi," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/10/2023).
Hasto mengatakan PDIP memberikan keistimewaan atau privilege kepada Jokowi dan keluarga. Namun, pemberian partai berlambang banteng itu ditinggalkan Jokowi dan keluarga.
PDIP terpukul karena Presiden lebih condong ke Capres Prabowo dibandingkan ke Ganjar, Gibran hengkang, pamit dan dicalonkan Partai Golkar menjadi cawapresnya Prabowo, Kaesang jadi Ketum PSI dan mendukung paslon Prabowo-Gibran.
Suatu keputusan penting politik umumnya diambil jauh hari, tetapi dalam kondisi dinamis seperti pilpres saat ini bisa cepat dan didasari kepentingan parpol, koalisi, bisnis, pengaruh eksternal dan perorangan.
Membaca Kepentingan Jokowi dari Perspektif Intelijen
Kita tahu bersama bahwa Pak Jokowi sebagai pemimpin nasional dua periode, kepentingan utamanya mendatang adalah kesinambungan program strategis yang disusun dan dikerjakannya selama ini, untuk mencapai Indonesia makmur. Presiden menyampaikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045".
Dalam mengelola potensi di dalam negeri, ada kerjasama dan pengaruh luar yang dibutuhkan Indonesia. Jokowi menyatakan salah satunya melakukan sinergi dengan RRT terkait Kereta Cepat, dan berharap ke depannya hal serupa dapat dilakukan terutama dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara, transisi energi, dan hilirisasi industri.
Kedekatan Indonesia dengan RRT jelas tidak disukai oleh Amerika, yang menilai prosperity approach RRT sebagai debt trap (jebakan hutang).
Di sinilah dilema antara kebutuhan pinjaman dari RRT untuk program strategis dengan mewadahi kepentingan AS terhadap stabilitas kawasan.
AS melakukan set up siap mengantisipasi bila terjadi konflik bersenjata dengan RRT yang sangat berambisi menguasai Laut China Selatan dengan strateginya Grey War (Grey Zone Conflict).
Sejak tahun 2009, Presiden Obama pada kebijakan rebalancing menyatakan butuh kemitraan strategis dengan Malaysia dan Indonesia dalam wadah Indo Pacific dengan pendekatan security.
Menlu AS Blinken mengatakan bahwa diplomasi perlu "dilengkapi dengan pencegahan" dan "kekuatan dapat menjadi tambahan yang diperlukan untuk diplomasi yang efektif".
Selama ini Indonesia di bawah Presiden Jokowi mampu berselancar di antara dua kekuatan yang berebut hegemoni di kawasan Asia pasifik, khususnya Laut China Selatan dan Asia Tenggara yaitu Super Power (AS) dengan Great Power (RRT).
Indonesia memiliki MoU kerjasama Maritim dengan AS, antara lain mencakup kerjasama keamanan maritim sumber daya kelautan, konservasi dan pengelolaan perikanan serta keselamatan dan navigasi maritim. Juga adanya kerjasama kesehatan, investasi, perdagangan, infastruktur, perubahan iklim, dan transformasi digital.
Sementara sejak awal, PM Najib menolak dan digarap proxy clandestine hingga jatuh dan masuk penjara.
Ini yang dihitung Jokowi untuk masa depan Indonesia komplikasinya bisa menjadi baik tetapi juga menjadi buruk. Begitu pemimpin yang akan datang gagal paham dengan kondisi geopolitik kawasan, ada risiko di-Najib-kan (dilengserkan).
Kedekatan hubungan Jokowi dengan Prabowo terlihat dengan dipilih dan direstuinya Gibran sebagai Cawapres Prabowo.
Pada acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Solidaritas Ulama Muda Jokowi yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (7/10/2023), meminta masyarakat tidak berselisih berkepanjangan hanya gara-gara berbeda pilihan dalam pemilihan Pemilu maupun Pilpres di 2024 mendatang.
Diharapkan berjalan dengan baik, Insyaallah berjalan dengan lancar, dan kita mendapatkan pemimpin, pemimpin rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat," ujar Jokowi.
"Karena memang sekali lagi ke depan dibutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian, dibutuhkan pemimpin yang bernyali, memiliki nyali yang tinggi, dibutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko karena yang dihadapi ke depan akan makin kompleks," tambahnya.
Dari kondisi pilpres di dalam negeri, kita tahu bahwa, dari tiga paslon sangat jelas terlihat koalisi Perubahan untuk Persatuan (Anies-Imin) terindikasi tidak sejalan dengan kebijakan dan program Jokowi, dengan inti perubahan, berbeda dengan dua paslon lainnya.
Ganjar-Mahfud serta Prabowo Gibran sudah jelas menyatakan akan melanjutkan program-program Presiden. Nah, dalam kondisi ini Pak Jokowi lebih nyaman berbicara dengan ketua-ketua parpol Koalisi Indonesia Maju karena mereka juga pembantunya di kabinet yaitu Menhan, Menko Prekonomian dan Menperdag.
Dalam info intelijen Siabidibame, kata 'me' ini yang harus dijawab, mengapa Jokowi dekat dengan Prabowo dan seakan terlibat dalam pemilihan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Di satu sisi Prabowo mampu meyakinkan bila menang dia akan mengamankan dan melanjutkan Program-program Jokowi seperti pembangunan IKN, hilirisasi, infrastruktur dan lain kebijakan perekonomian.
Hasil Survei Ketiga Calon
Di Sumatera: Anies Baswedan 28,3%; Ganjar Pranowo 21,7%; Prabowo Subianto 39,2%; Tidak tahu 10,8%
Di Banten: Anies Baswedan 30,6%; Ganjar Pranowo 25,3%; Prabowo Subianto 41,9%; Tidak tahu 2,1%
Di DKI Jakarta: Anies Baswedan 40,3%; Ganjar Pranowo 28,4%; Prabowo Subianto 27,0%; Tidak tahu 4,3%
Di Jawa Barat: Anies Baswedan 29,6%; Ganjar Pranowo 20,7%; Prabowo Subianto 48,7%; Tidak tahu 1,0%
Di Jateng-DIY: Anies Baswedan 7,5%; Ganjar Pranowo 64,0%; Prabowo Subianto 26,3%; Tidak tahu 2,1%
Di Jawa Tengah: Anies Baswedan 8,3%; Ganjar Pranowo 63,2%; Prabowo Subianto 26,1%; Tidak tahu 2,4%
Di Jawa Timur: Anies Baswedan 12,9%; Ganjar Pranowo 44,5%: Prabowo Subianto 35,8%; Tidak tahu 6,9%
Penulis mencoba menganalisis pilpres Indonesia 2024 dari perspektif Intelijen Strategis (Intelstrat). Komponen intelstrat terdiri dari 9, yaitu Ipoleksosbud, biografi, demografi, sejarah, dan militer pertahanan. Dasar pemikiran Jokowi yang terlihat pro ke Capres Prabowo jelas berdasarkan komponen tersebut.
Jokowi mampu diyakinkan dan meyakini bahwa paslon Prabowo-Gibran akan berjalan sesuai dengan keinginannya. Perannya sebagai king maker jelas terlihat dari proses terbentuknya koalisi Indonesia Maju serta sang anak menjadi cawapres. Risiko kontra jelas sudah diperhitungkan dan menjadi pertimbangan khusus. Mengapa Prabowo?
Dari sambutannya pada Rapimnas Solidaritas Ulama Muda, Jokowi mengatakan ke depan dibutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian, dibutuhkan pemimpin yang bernyali, memiliki nyali yang tinggi, dibutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko karena yang dihadapi ke depan akan makin kompleks. Sosok yang dikatakannya itu bila melihat track record dua capres, jelas lebih condong ke Prabowo dibandingkan Ganjar.
Prabowo mantan Jenderal, Kopassus, punya pengalaman perang dan pernah sekolah Green Berret di AS serta sekolah anti teror di Jerman. Berani mengambil keputusan sejak muda walau menyerempet kontroversi.
Sebenarnya apa masalah krusial Indonesia masa depan? Pertama jelas masalah perekonomian, yang mana di dunia sedang terjadi persaingan hidup, manusia bertambah, cadangan pangan menipis, ambisi negara-negara besar untuk menguasai Indonesia makin kuat.
Perekonomian kita sedang sulit, utang terus bertambah, kebijakan Jokowi dalam kerjasama dengan RRT yang bisa dipermasalahkan saat mendatang, kebijakan hilirisasi dan tidak mengijinkan ekspor bahan mentah dimusuhi negara di Eropa.
Juga perkembangan gepolitik kawasan yang kurang baik, keinginan keras AS agar Indonesia pendulumnya bergeser ke AS, disamping kemungkinan besar AS dan koalisinya akan butuh clearance udara dan penggunaan pangkalan udara militer Indonesia sebagai transit atau pangkalan aju bila pecah konflik militer skala kecil dan sedang dengan RRT.
AS mempunyai pengalaman buruk saat operasi Al Qaeda, USAF tidak diijinkan menggunakan pangkalan AU Pakistan. Selain itu, bukan tidak mungkin akan adanya serangan terhadap kebijakan saat era Jokowi di dalam negeri.
Nah isu-isu tersebut sebagai residu akan menjadi bagian kerja presiden terpilih. Disinilah Prabowo dipercaya oleh Jokowi akan mampu mengatasinya. Prabowo diketahui sebagai salah satu tokoh yang disegani banyak pihak.
Mengapa Gibran? Banyak yang mengatakan ini adalah politik dynasti. Memang dengan diberinya restu oleh sang ayah, publik menilai ini politik dinasti.
Sang anak dari julukan Mas Wali akan menjadi Mas Wapres. Jelas ilmu sang anak sudah diisi oleh sang ayah dan akan terus dikawalnya. Tetapi di balik itu, Prabowo diberi kebebasan mengambil kebijakan tanpa terganggu, bila wakilnya kuat, bisa mengganggu Prabowo.
Sang wakil dalam militer disebut sebagai korps leher. Sebagai wakil, Gibran akan mendapat banyak pengalaman dan wawasan demi masa depan. Disamping itu Jokowi memerlukan bapul yang tiap saat ikut rapat kabinet, dia bisa monitor sang presiden day-by-day.
Apa potensi ancaman bila Prabowo menjadi Presiden? Presiden Jokowi jelas sedikit banyak sudah membicarakan ini dengan kepala-kepala negara lain.
Persoalan kemungkinan timbul bila Prabowo mengambil keputusan yang tidak populer (kontroversi), menyentuh/melanggar demokratisasi dan HAM, bisa terjadi benturan dengan AS atau negara lain yang bisa berakibat ancaman stabilitas keamanan dan perekonomian Indonesia.
Dari sikon politik dalam negeri, elektabilitas Prabowo potensi tertinggi, unggul di 10 wilayah. Walau kini tidak memiliki link ke jaringan Santri dan Islam moderat, dari provinsi di pulau Jawa kebutuhan penambahan suara di Jawa Timur bisa diharapkan dari dukungan sang ayah.
Dengan menguasai Jabar, Jatim dan Luar Jawa, peluang menangnya jago Koalisi Indonesia Maju ini besar walaupun nanti pilpres dua putaran.
Dalam hubungan Jokowi - PDIP, penulis menilai ini adalah blunder kedua bagi PDIP. Pertama saat pilpres 1999, sebagai partai pemenang, dengan 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi yang menjadi presiden adalah Gus Dur.
Kemudian PDIP tidak mencalonkan Ibu Mega sebagai cawapres. Beruntung Alm. Pak Matori Abdul Djalil Ketua Umum PKB yang mencalonkan Bu Mega sebagai Cawapres.
Nah, kini terjadi blunder kedua, pembacaan elit PDIP terhadap Presiden Jokowi meleset, apakah greget Ganjar kurang bernyali, atau komunikasi tersumbat?
Kenapa elit PDIP justru kini menyerang Jokowi yang masih resmi nenjabat presiden. Bila terjadi pertarungan politik di DPR, ada Golkar, Gerindra, PAN dan Demokrat yang siap berdiri di belakang Jokowi.
Menurut penulis, kini Jokowi sang visioner sudah lari jauh, sementara elit PDIP seperti dahulu, tetap kekeuh jalan ditempat. Mestinya link intelijen PDIP jauh hari bisa membaca sikon saat ini sebagai counter langkah pengamanan. Tapi kini nasi sudah menjadi bubur.
Sebagai penutup, bahwa bisnis intelijen sangat sulit, analisis hanya akan berakhir menjadi sebuah prediksi. Pada tahun 2004 saat pilpres, ops clandestine AS di Indonesia tiga bulan sebelum pencobosan melaporkan ke Gedung Putih "The next President is SBY" (valid dan terbukti).
Kini tiga bulan lebih sebelum pilpres, penulis menilai Paslon Prabowo-Gibran mempunyai peluang yang terbesar akan menang, di mana kombinasi Koalisi Indonesia Maju terlengkap.
Satu hal yang bisa menyebabkan kegagalan Prabowo menjadi presiden, adalah takdir Allah, yang mana takdir hanya akan diketahui apabila sudah terjadi. Saran penulis masing-masing banyak-banyak berdoa saja, manusia berusaha tetapi Tuhan yang memutuskan.
Semoga bermanfaat. Pray Old Soldier.
Penulis: Marsda (Purn) Prayitno W. Ramelan, Pengamat Intelijen
Jakarta, 1 November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H