Di papan tulis, Pak Rahmat mulai menjelaskan dengan gaya khasnya yang penuh energi. Suasana kelas langsung menjadi serius namun menyenangkan karena meskipun tegas, Pak Rahmat tak pernah membuat siswanya merasa takut untuk bertanya.
Setelah pelajaran matematika selesai, bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran. Bu Mira, guru bahasa Indonesia yang lembut dan sabar masuk ke kelas dengan langkah tenang.
"Selamat siang, anak-anak," sapanya dengan senyum khas yang selalu menenangkan. "Hari ini kita akan belajar menulis esai pribadi. Nah ini kesempatan kalian untuk menceritakan sesuatu yang penting di hidup kalian. Saya ingin kalian menulis dari hati."
Nayla yang biasanya gemar menulis tampak bersemangat mendengar tugas dari Bu Mira. Pikirannya langsung melayang pada topik yang bisa ia tulis, mungkin tentang persahabatannya dengan Daffa atau tentang perasaannya yang berkembang seiring percakapan mereka di layar chat.
Daffa terlihat sedang asyik mencatat instruksi Bu Mira, sesekali melirik Nayla seolah ingin berbagi pandangan. Fira yang duduk di dekat mereka menyenggol Nayla sambil berbisik, "Ayo, Nay, mungkin kamu bisa nulis tentang 'teman dekat' yang spesial," godanya sambil tertawa kecil.
Nayla hanya tersenyum dan menggeleng pelan tetapi dalam hati ia mulai membayangkan apa yang akan ia tuliskan di esainya nanti.
Saat bel tanda akhir pelajaran berbunyi, Bu Mira menutup kelas dengan pesan lembut. "Ingat, anak-anak, menulis itu cara kita memahami diri. Setiap kata yang kalian tuliskan adalah bagian dari diri kalian yang mungkin selama ini tak pernah kalian ucapkan."
Nayla menatap Daffa sebelum beranjak dari kursinya, berharap esai mereka masing-masing bisa menjadi bagian dari cerita yang mungkin suatu hari nanti akan terungkap.
Setelah bel pulang berbunyi, Nayla berjalan menuju mobil yang menunggunya di depan gerbang sekolah. Pak Tio supir keluarga yang setia, menyambutnya dengan senyum ramah. Sesampainya di rumah, Nayla langsung disambut oleh Bik Sarni, asisten rumah tangga yang sudah bekerja di keluarganya sejak Nayla kecil.
"Capek, Neng? Bik Sarni sudah siapkan camilan kesukaan Neng Nayla di meja," ujar Bik Sarni dengan penuh perhatian. Nayla tersenyum dan mengangguk, merasa nyaman dengan perhatian yang selalu diberikan Bik Sarni. Rumah mereka adalah rumah besar di lingkungan elite kota dengan taman yang luas dan interior yang elegan. Meski besar, rumah itu tak pernah terasa sepi berkat kehangatan keluarganya.
Nayla bertemu dengan adiknya, Adit yang sedang asyik bermain di ruang keluarga. "Kak Nayla pulang!" seru Adit tanpa melepas pandangannya dari layer tablet. Nayla hanya tertawa kecil dan mengacak rambut Adit sebelum melangkah ke ruang makan, di sana ada Bunda Rani sedang duduk sambil membaca majalah.