Udara pagi masih dipenuhi embun ketika para siswa SMA Negeri Harapan mulai berkerumun di halaman sekolah. Di tengah suasana hiruk-pikuk, seorang siswi bernama Nayla berjalan sambil menatap layar ponselnya. Langkahnya perlahan, seperti sedang menunggu sesuatu yang lebih penting dari sekadar bel masuk.
Di layar ponselnya terpampang notifikasi pesan dari Daffa, teman sekelas yang akhir-akhir ini sering berbagi cerita dengannya. Hubungan mereka memang tak terlihat di permukaan namun di balik layar chat, percakapan mereka mengalir tanpa batas mulai dari soal pelajaran hingga hal-hal kecil yang hanya mereka berdua pahami.
Tapi pagi ini, pesan Daffa terasa berbeda. Ia menulis singkat, "Nayla, kita perlu bicara langsung nanti, ini penting." Pesan itu membuat Nayla tertegun, jantungnya berdebar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik kata-kata singkat itu.
Sepanjang pelajaran pertama, pikiran Nayla terus melayang pada pesan singkat dari Daffa. Ia duduk di bangku paling belakang berusaha fokus mendengarkan penjelasan guru sejarah tetapi kata-kata di layar ponselnya tadi pagi terus terngiang. Biasanya Daffa mengirim pesan-pesan ringan atau lelucon khasnya yang membuat Nayla tersenyum di tengah hari-harinya yang sibuk.
Ketika bel istirahat berbunyi, Nayla segera bangkit dan bergegas keluar kelas. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar kantin, berharap menemukan sosok Daffa di antara kerumunan siswa yang sedang asyik menikmati waktu istirahat. Akhirnya ia melihat Daffa duduk sendirian di meja paling ujung, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dengan ragu, Nayla menghampirinya. Daffa mengangkat wajahnya begitu melihat Nayla mendekat dan sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Tetapi sorot matanya tampak serius, bahkan sedikit gelisah.
"Nayla," panggil Daffa pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara riuh kantin. "Terima kasih sudah mau datang." Nayla duduk di depannya, mencoba menyembunyikan rasa gugup. "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"
Daffa menarik napas dalam seolah mencoba merangkai kata-kata. "Ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan padamu. Mungkin kamu merasa kita hanya berteman lewat chat selama ini... tapi buatku, perasaan itu mulai berkembang."
Kata-kata Daffa membuat jantung Nayla berdetak semakin cepat. Ia menatap Daffa dengan pandangan tak percaya sekaligus bingung. Persahabatan mereka memang terasa dekat namun Nayla tak pernah menyangka bahwa semua ini berujung pada perasaan yang lebih dari sekadar teman.
"Daffa..." Nayla nyaris tak bisa berkata-kata. Ia terdiam, tak tahu bagaimana harus merespons pengakuan yang baru saja ia dengar. Apakah ia juga merasakan hal yang sama?
"Nayla..." Daffa kembali memanggil dengan lembut, suaranya terdengar lebih pelan. Namun sebelum Nayla bisa merespons, sebuah suara riang tiba-tiba menyela mereka.
"Hei, kalian berdua lagi ngapain di sini?" seru Fira, teman sekelas mereka yang terkenal ceria dan suka bercanda. Di belakang Fira, terlihat Arman dan Tiara, dua teman dekat mereka yang sering berkumpul saat istirahat. Kedatangan teman-temannya yang lain membuat Nayla tersadar dari perasaan gugupnya dan segera memasang senyum, berusaha menutupi suasana canggung.
"Oh, cuma ngobrol biasa aja, Fir," jawab Nayla sambil tersenyum tipis berharap teman-temannya tak menyadari kegugupannya. Arman yang biasanya blak-blakan, mengangkat alis dan menatap Daffa dengan tatapan menggoda. "Ngobrol biasa atau ngobrol yang lain nih? Kalian berdua sering banget kelihatan bareng, ya."
Wajah Daffa memerah. "Ya ampun, Man, nggak ada apa-apa kok. Cuma ngobrol soal tugas kemarin aja," jawabnya sambil tertawa, meski jelas ada sedikit kebingungan dalam suaranya. Daffa berusaha mengalihkan topik dan Nayla tersenyum kecil melihat usahanya itu.
Tiara yang dikenal pendiam namun selalu memperhatikan, menatap Nayla dengan sorot mata penasaran. "Eh, ngomong-ngomong, Nay, kamu besok jadi datang ke acara ulang tahun temennya Kak Rina kan? Aku dengar dari Kak Rina kalau kamu diundang, loh," ucap Tiara sambil tersenyum ramah.
Nayla mengangguk, sedikit terkejut dengan pertanyaan Tiara yang tiba-tiba. "Iya, aku datang kok. Kalian juga pada mau datang, kan?"
Obrolan mereka pun berlanjut ke hal-hal yang lebih ringan seperti acara ulang tahun dan rencana mereka di akhir pekan. Namun di sela-sela canda tawa itu, Nayla masih bisa merasakan tatapan Daffa yang sesekali mengarah padanya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa ia sampaikan di tengah keramaian.
Saat mereka kembali ke kelas setelah istirahat, Nayla merasa ada sesuatu yang berbeda. Meski Daffa berusaha menutupinya, Nayla bisa merasakan bahwa ada perasaan dalam dirinya yang ingin disampaikan Daffa. Sementara itu, Fira, Arman, dan Tiara tak menyadari apa yang terjadi di balik layar chat antara Nayla dan Daffa, tempat mereka berdua berbagi perasaan yang tak pernah terucap langsung.
Bel istirahat selesai dan para siswa pun kembali ke kelas dengan langkah-langkah yang masih dipenuhi semangat. Nayla, Daffa, dan teman-temannya kembali ke bangku masing-masing dan siap mengikuti pelajaran berikutnya. Kali ini, kelas mereka diisi oleh Pak Rahmat, guru matematika yang tegas namun selalu berhasil membuat siswa-siswinya tertawa dengan lelucon dadakannya.
Pak Rahmat masuk ke kelas dengan senyuman lebar. "Baiklah, anak-anak, sebelum kita lanjut ke materi hari ini, siapa yang masih bingung dengan tugas kemarin?" Nayla melirik Daffa yang sebenarnya semalam baru saja bertanya soal tugas itu lewat chat. Daffa yang menyadari lirikan Nayla hanya bisa tersenyum malu dan segera mengangkat tangannya.
"Pak, saya masih kurang paham di bagian persamaan kuadrat yang nomor tiga itu," ujar Daffa. Pak Rahmat mengangguk sambil tersenyum. "Nah, bagus! Jangan malu bertanya. Kalau kita nggak tanya, kita nggak tahu, ya kan? Biar Pak Rahmat jelasin lagi dari awal. Perhatikan, ya!"
Di papan tulis, Pak Rahmat mulai menjelaskan dengan gaya khasnya yang penuh energi. Suasana kelas langsung menjadi serius namun menyenangkan karena meskipun tegas, Pak Rahmat tak pernah membuat siswanya merasa takut untuk bertanya.
Setelah pelajaran matematika selesai, bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran. Bu Mira, guru bahasa Indonesia yang lembut dan sabar masuk ke kelas dengan langkah tenang.
"Selamat siang, anak-anak," sapanya dengan senyum khas yang selalu menenangkan. "Hari ini kita akan belajar menulis esai pribadi. Nah ini kesempatan kalian untuk menceritakan sesuatu yang penting di hidup kalian. Saya ingin kalian menulis dari hati."
Nayla yang biasanya gemar menulis tampak bersemangat mendengar tugas dari Bu Mira. Pikirannya langsung melayang pada topik yang bisa ia tulis, mungkin tentang persahabatannya dengan Daffa atau tentang perasaannya yang berkembang seiring percakapan mereka di layar chat.
Daffa terlihat sedang asyik mencatat instruksi Bu Mira, sesekali melirik Nayla seolah ingin berbagi pandangan. Fira yang duduk di dekat mereka menyenggol Nayla sambil berbisik, "Ayo, Nay, mungkin kamu bisa nulis tentang 'teman dekat' yang spesial," godanya sambil tertawa kecil.
Nayla hanya tersenyum dan menggeleng pelan tetapi dalam hati ia mulai membayangkan apa yang akan ia tuliskan di esainya nanti.
Saat bel tanda akhir pelajaran berbunyi, Bu Mira menutup kelas dengan pesan lembut. "Ingat, anak-anak, menulis itu cara kita memahami diri. Setiap kata yang kalian tuliskan adalah bagian dari diri kalian yang mungkin selama ini tak pernah kalian ucapkan."
Nayla menatap Daffa sebelum beranjak dari kursinya, berharap esai mereka masing-masing bisa menjadi bagian dari cerita yang mungkin suatu hari nanti akan terungkap.
Setelah bel pulang berbunyi, Nayla berjalan menuju mobil yang menunggunya di depan gerbang sekolah. Pak Tio supir keluarga yang setia, menyambutnya dengan senyum ramah. Sesampainya di rumah, Nayla langsung disambut oleh Bik Sarni, asisten rumah tangga yang sudah bekerja di keluarganya sejak Nayla kecil.
"Capek, Neng? Bik Sarni sudah siapkan camilan kesukaan Neng Nayla di meja," ujar Bik Sarni dengan penuh perhatian. Nayla tersenyum dan mengangguk, merasa nyaman dengan perhatian yang selalu diberikan Bik Sarni. Rumah mereka adalah rumah besar di lingkungan elite kota dengan taman yang luas dan interior yang elegan. Meski besar, rumah itu tak pernah terasa sepi berkat kehangatan keluarganya.
Nayla bertemu dengan adiknya, Adit yang sedang asyik bermain di ruang keluarga. "Kak Nayla pulang!" seru Adit tanpa melepas pandangannya dari layer tablet. Nayla hanya tertawa kecil dan mengacak rambut Adit sebelum melangkah ke ruang makan, di sana ada Bunda Rani sedang duduk sambil membaca majalah.
"Nayla, bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bunda Rani sambil tersenyum hangat.
"Baik, Bun," jawab Nayla sambil duduk di sebelah ibunya. Ia mulai menceritakan sedikit tentang pelajaran esai di kelas Bu Mira tetapi ia menyimpan percakapannya dengan Daffa untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang membuat Nayla merasa lebih nyaman menyimpan perasaan itu sementara untuk dia sendiri.
Beberapa menit kemudian Ayah Nayla, Pak Surya, pulang dari kantor dan langsung menuju ruang makan. Wajahnya yang tenang dan berwibawa langsung menghangatkan suasana rumah. "Wah, putri ayah sudah di rumah. Sudah belajar untuk ulangan, kan?" gurau Pak Surya sambil tersenyum.
Nayla mengangguk. "Iya, Yah. Ini Nayla juga lagi ada tugas esai dari Bu Mira."
Di tengah-tengah percakapan, datanglah Gathan, kakak Nayla yang baru saja pulang dari kampusnya. Gathan adalah sosok kakak yang selalu bisa diandalkan oleh Nayla. Ia menyapa semua orang dengan ceria kemudian duduk di dekat Nayla.
"Adik manisku ini, pasti lagi sibuk nulis tentang teman spesial, ya?" Gathan menggoda sambil tertawa, membuat wajah Nayla memerah. "Astaga, Kak! Siapa yang bilang Nayla punya teman spesial?" Nayla membalas sambil tertawa malu.
Gathan tertawa sambil mengangkat bahu. "Ah, cuma tebak-tebak berhadiah. Tapi siapa tahu kan? Kakak cuma mau tahu kalau Nayla punya cerita yang nggak mau dibagi sama Kakak," godanya lagi.
Di sela-sela canda tawa itu, Nayla merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang hangat dan penuh perhatian. Meski tinggal di rumah besar dan mewah, kehangatan di antara mereka membuatnya merasa selalu dekat dan nyaman. Setelah makan malam, Nayla kembali ke kamarnya. Ia membuka ponselnya dan menemukan pesan baru dari Daffa, yang mengucapkan selamat malam dengan emoji senyuman. Nayla tersenyum kecil sambil membalas pesan itu dengan sederhana namun hatinya berdebar-debar.
Waktu beranjak semakin cepat menuju pagi, saat itu mentari baru saja terbit ketika rumah Nayla mulai dipenuhi kesibukan. Bik Sarni sudah siap dengan sarapan di dapur. Aroma harum roti panggang dan kopi tercium hingga ke lantai atas, tempat kamar Nayla dan keluarganya berada.
Nayla beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi dengan semangat. Ia bersiap mengenakan seragam sekolahnya, memastikan dasi dan pita rambutnya terikat rapi. Selesai berpakaian, ia turun ke ruang makan, di sana keluarganya sudah mulai berkumpul.
Ayah, Bunda, dan Adit sudah duduk menikmati sarapan di ruang makan. "Selamat pagi, Nay," sapa Pak Surya tanpa melepas pandangannya dari koran. "Hari ini ada kegiatan apa di sekolah?"
"Pagi, Yah. Nggak ada yang khusus, sih. Paling nanti ada latihan kelompok buat tugas esai dari Bu Mira," jawab Nayla sambil tersenyum. Ia kemudian menatap Bunda. "Oh iya, Bun, Nayla pulangnya mungkin agak telat sedikit, soalnya mau belajar bareng di rumah Fira."
"Boleh, tapi jangan lupa kabari Bunda kalau mau pulang," ujar Bunda Rani sambil tersenyum lembut. "Nanti biar Bunda atur supaya Pak Tio jemput di sana."
Gathan turun dari kamar dan bergabung di meja makan. Dengan rambut yang masih sedikit acak-acakan, ia mengambil sepotong roti dan menggigitnya sambil bergurau, "Wah, Nayla sekarang sudah rajin belajar, sampai mau latihan kelompok segala."
Nayla hanya tersenyum dan menahan tawa sambil memutar matanya. "Iya, Kak, biar bisa kayak Kak Gathan yang pinter," balasnya bercanda.
Setelah selesai sarapan, Pak Surya berdiri dan berpamitan untuk berangkat ke kantor. "Baik, Ayah berangkat dulu ya. Nayla, belajar yang baik di sekolah, ya." Pak Surya menepuk pundak Nayla dengan bangga, lalu mencium kening Bunda Rani sebelum melangkah keluar. Sesaat setelah Ayah berangkat, Nayla, Aditya, dan Gathan juga bersiap-siap untuk pergi ke sekolah dan kampus. Nayla memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, sedangkan Gathan mengambil helmnya untuk berangkat dengan motor.
"Nayla duluan ya, Bunda. Dadah, Bunda, Bik Sarni!" pamit Nayla sambil melambaikan tangan. Bunda Rani membalas lambaian itu dengan senyum, sementara Bik Sarni berkomentar dengan penuh perhatian, "Hati-hati di jalan, Neng Nayla. Semoga harinya menyenangkan."
Setelah semua anggota keluarga pergi, suasana rumah menjadi lebih tenang. Di rumah besar itu kini hanya ada Bunda Rani dan Bik Sarni. Mereka mulai menyusun rencana untuk membersihkan rumah dan menyelesaikan pekerjaan lainnya. Bunda Rani menyiapkan teh hangat di ruang tengah sambil berbincang-bincang santai dengan Bik Sarni, membahas rencana keluarga di akhir pekan dan juga keseharian anak-anaknya. Meskipun rumah itu kini sepi, kehangatan tetap terasa karena persahabatan yang erat antara Bunda Rani dan Bik Sarni.
Nayla dan teman-temannya sudah berkumpul di kelas, siap untuk memulai pelajaran. Seperti biasa suasana kelas ramai dengan canda tawa pagi dari para siswa yang saling bertukar cerita. Fira sibuk mengeluhkan soal ulangan fisika minggu lalu. "Nay, kamu ngerti gak waktu Pak Haris jelasin rumus gaya? Aku merasa otakku udah jalan-jalan duluan, deh," keluh Fira sambil memegangi kepalanya dengan ekspresi putus asa.
Nayla tersenyum simpul, mengangguk mengerti. "Jangan khawatir, Fir. Nanti kita bisa belajar bareng kok. Aku juga kemarin masih bingung, tapi setelah ulangi lagi di rumah lumayan bisa ngerti," jawab Nayla mencoba menenangkan.
     Mereka terus ngobrol hingga bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Guru bahasa Inggris masuk ke kelas dengan senyum ramah. Bu Lestari adalah sosok guru yang tenang dan sabar serta selalu berhasil menarik perhatian siswa-siswanya dengan metode mengajar yang kreatif.
"Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan belajar tentang conversation atau percakapan dalam bahasa Inggris," ujar Bu Lestari sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. "Tolong buka buku kalian di halaman 45, ya."
Saat Bu Lestari mulai menjelaskan, Nayla teringat percakapannya dengan Daffa semalam. Ia tersenyum kecil sambil membuka buku. Kadang ia merasa canggung sendiri karena setiap kali ada materi soal percakapan atau interaksi, pikirannya selalu mengarah pada chat mereka berdua.
Setelah pelajaran bahasa Inggris selesai, selanjutnya guru biologi masuk ke kelas dengan wajah penuh semangat. Bu Intan terkenal sebagai guru yang antusias dan selalu membawa alat peraga serta cerita menarik ke dalam kelas. Hari itu, ia membawa beberapa gambar struktur sel dan langsung menarik perhatian para siswa.
"Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang sel tumbuhan dan sel hewan. Coba lihat perbedaan antara keduanya di sini," jelas Bu Intan sambil menunjuk papan tulis. Pelajaran berlangsung seru. Bu Intan membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi dan Nayla pun sekelompok dengan Daffa, Fira, serta Rudi. Saat diskusi berlangsung, Daffa melirik Nayla dan berkata dengan nada bercanda, "Kalau nggak ada sel tumbuhan, kita nggak punya makanan, dong, ya? Bisa-bisa nggak ada gorengan favorit kamu, Nay."
Nayla tertawa pelan dan mencoba untuk tetap fokus pada materi meski hatinya ikut berdebar karena perhatian kecil dari Daffa. Setelah bel istirahat berbunyi, mereka keluar dari kelas untuk makan di kantin bersama. Nayla dan Fira duduk di meja biasa, sementara Daffa dan Rudi mengambil makanan. Suasana kantin ramai dengan tawa dan obrolan dari setiap sudut ruangan.
"Nay, aku lihat kamu makin dekat sama Daffa," Fira menyenggol bahu Nayla sambil tersenyum nakal. "Eh, jangan bohong, deh. Aku tahu kalian sering chat kan?" Nayla tersipu, mencoba menyangkal dengan tawa kecil. "Ah, enggak kok, Fir. Cuma teman biasa," jawabnya, meski hatinya tahu bahwa perasaan itu lebih dari sekadar teman.
Percakapan mereka terhenti sejenak saat Daffa dan Rudi kembali membawa makanan. Nayla merasa nyaman di antara teman-temannya saat menikmati waktu istirahat yang penuh canda tawa dan cerita.
Setelah bel pulang berbunyi, Nayla dan teman-temannya beranjak dari kelas. Tapi berbeda dari biasanya, hari ini Nayla tidak langsung pulang. Ia dan beberapa teman sekelasnya, termasuk Fira, Daffa, dan Rudi, sudah sepakat untuk kerja kelompok menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia yaitu membuat mading tiga dimensi. Mereka memilih perpustakaan sekolah sebagai tempat berkumpul dengan harapan suasana di sana lebih tenang dan inspiratif.
Sesampainya di perpustakaan, mereka mulai membagi tugas. Daffa bertanggung jawab membuat kerangka mading, sementara Nayla dan Fira menyiapkan gambar dan artikel yang akan ditempel. Rudi, yang dikenal pandai menggambar sibuk membuat ilustrasi tambahan untuk mempercantik mading mereka.
"Nay, kamu punya ide untuk tema utamanya nggak?" tanya Fira sambil menunjukkan beberapa potongan gambar yang sudah ia siapkan. Nayla mengangguk sambil berpikir sejenak. "Bagaimana kalau tentang 'Cinta Lingkungan'? Kita bisa masukkan gambar dan informasi soal tanaman hias, daur ulang, dan tips menjaga kebersihan lingkungan."
Daffa menimpali, "Bagus, tuh. Selain bermanfaat, mading kita pasti menarik kalau isinya beragam. Apalagi kalau ada tips-tips yang berguna buat kehidupan sehari-hari."
Mereka pun bekerja sama, memotong, menempel, dan menata segala material yang sudah disiapkan. Saat suasana mulai serius, Daffa melontarkan candaan, "Kalau ada lomba mading tercantik, pasti mading kita menang karena ada Nayla yang bantuin."
Nayla tertawa kecil, menimpali dengan senyum, "Aduh, yang penting mading kita selesai dulu, ya. Nanti kalau menang, kita traktir Fira deh." Semakin lama mereka bekerja, semakin terasa kebersamaan dan kekompakan di antara mereka. Meski tugas itu awalnya terasa berat, kehadiran teman-teman membuat segalanya jadi lebih ringan dan menyenangkan. Hingga menjelang sore, mading mereka pun selesai dengan tampilan yang menarik dan penuh warna.
Fira menatap hasil kerja mereka dengan bangga. "Wah, keren banget! Mading kita pasti bakal jadi pusat perhatian di koridor sekolah." Nayla tersenyum puas, merasa senang dengan hasil kerja keras bersama. "Semoga besok Bu Mira juga suka sama mading kita, ya," ujarnya penuh harap.
Esok harinya, mading tiga dimensi karya Nayla dan teman-temannya dipajang di koridor sekolah. Banyak siswa yang kagum dan memuji kreativitas mereka. Bahkan Bu Mira, guru Bahasa Indonesia mereka juga memberikan pujian khusus saat jam pelajaran dimulai. Nayla dan teman-temannya merasa bangga apalagi hasil kerja keras mereka diapresiasi di seluruh sekolah.
Namun ada hal lain yang membuat Nayla merasa berbunga-bunga hari itu. Sepulang sekolah ia menerima chat dari Daffa.
Daffa: Hai Nay, makasih ya udah kerja keras bareng buat mading kemarin. Tanpa ide kamu, nggak bakal jadi sekeren itu, deh.
Nayla tersenyum membaca pesan itu. Ia mengetikkan balasan dengan perasaan gugup. Nayla: Sama-sama, Daf. Kamu juga, lho, yang paling rajin bikin kerangka madingnya.
Percakapan mereka mengalir begitu saja bahkan berlanjut hingga malam. Awalnya obrolan seputar tugas, tapi perlahan-lahan Daffa mulai bertanya hal-hal pribadi, seperti hobi, musik favorit, dan impian Nayla ke depannya. Nayla merasa nyaman berbicara dengan Daffa dan ia menyadari bahwa perhatian kecil dari Daffa membuatnya merasa istimewa.
Hari-hari berikutnya chat mereka berlanjut. Setiap kali ada waktu luang di sela-sela pelajaran atau selepas kegiatan sekolah, Daffa dan Nayla saling berkirim pesan. Nayla merasa ada ikatan khusus yang terjalin di antara mereka, meski itu hanya melalui layar ponsel. Mereka membahas banyak hal mulai dari hobi hingga impian mereka, dari pelajaran hingga cerita tentang keluarga.
Suatu malam, saat Nayla sedang duduk di kamarnya dan mengobrol dengan Daffa, ia menerima pesan yang membuat jantungnya berdebar.
Daffa: Nay, aku mau ngomong sesuatu...
Nayla menahan napas, jari-jarinya gemetar saat membalas pesan itu.
Nayla: Iya, ngomong apa?
Beberapa detik yang menegangkan berlalu. Lalu, balasan dari Daffa muncul.
Daffa: Kamu tahu nggak, dari semua teman yang pernah aku kenal, cuma sama kamu aku merasa nyambung banget. Kamu orang pertama yang bikin aku nyaman kayak gini.
Nayla merasakan wajahnya memanas dan berusaha untuk tetap tenang. Ia menunggu kelanjutan chat dari Daffa.
Daffa: Mungkin ini aneh, tapi aku suka sama kamu, Nay.
Nayla terpaku membaca pengakuan Daffa. Rasa senang, terkejut, dan canggung bercampur jadi satu. Ia ingin segera mengetik jawaban, tapi ia merasa grogi. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk membalas.
Nayla: Aku juga suka sama kamu, Daf.
Malam itu percakapan mereka berlanjut dalam suasana yang penuh kebahagiaan. Nayla merasa seolah-olah segala perasaan yang selama ini hanya ia simpan dalam hati kini terungkap. Ia tak lagi merasa ragu karena perasaannya kini terasa lebih jelas dan nyata.
Hari-hari berikutnya Nayla dan Daffa menjadi lebih dekat. Meski mereka masih menjalani keseharian sebagai teman biasa di sekolah namun di balik layar chat mereka saling berbagi perasaan yang lebih dalam. Mereka saling mendukung dalam kegiatan sekolah, belajar bersama, dan selalu saling memberi semangat.
Nayla dan Daffa sepakat untuk menjaga hubungan mereka dengan sederhana. Mereka tak perlu mengumbar kemesraan di depan orang lain. Bagi Nayla kebahagiaan yang mereka rasakan di balik layar chat itu sudah cukup berharga.
Di penghujung semester saat sekolah libur, Daffa mengirim pesan singkat yang menyentuh hati Nayla.
Daffa: Nay, meski kita jarang ketemu selama liburan, aku cuma mau bilang makasih. Kamu udah bikin tahun ini jadi lebih spesial buatku.
Nayla tersenyum dan hatinya hangat membaca pesan itu.
Nayla: Aku juga, Daf. Semoga tahun depan kita bisa melalui lebih banyak hal bersama.
Mereka sadar bahwa terkadang hubungan istimewa tak selalu harus ditunjukkan di hadapan orang banyak. Justru keindahan di balik layar chat mereka itulah yang membuat hubungan itu istimewa, penuh kejujuran dan ketulusan yang tak pernah terucapkan dengan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H