Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Terlarang

4 September 2024   13:50 Diperbarui: 4 September 2024   13:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, Adi mengajak Rina untuk berbicara di bawah pohon mangga di halaman rumah mereka. Dengan hati yang berdebar, mereka memutuskan untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada keluarga besar Raharjo, berharap bahwa cinta mereka akan menemukan jalan, meskipun harus melalui rintangan yang berat.

Dengan hati yang berdebar, Adi dan Rina memutuskan untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada keluarga besar Raharjo. Mereka tahu ini adalah langkah yang berisiko, tetapi kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk menemukan solusi atas cinta terlarang mereka. Setelah makan malam, mereka mengumpulkan keberanian untuk berbicara di ruang keluarga, di hadapan Pak Raharjo, Bu Sulastri, dan saudara-saudara mereka.

"Pak, Bu, ada sesuatu yang ingin kami sampaikan," kata Adi membuka percakapan dengan suara yang tegas namun hati-hati. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ada apa, Nak? Kau tampak serius sekali," tanya Pak Raharjo, merasa ada sesuatu yang penting yang akan diungkapkan.

Rina mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Kami... kami berdua memiliki perasaan yang lebih dari sekadar saudara. Kami saling mencintai."

Kata-kata itu menggema di ruang keluarga, menciptakan keheningan yang mencekam. Wajah-wajah yang tadi ceria berubah menjadi penuh keterkejutan. Pak Raharjo dan Bu Sulastri saling berpandangan, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.

"Bukankah kalian tahu bahwa itu tidak boleh terjadi? Kita satu keluarga besar!" seru Pak Raharjo dengan nada tegas, wajahnya memerah karena marah. Bu Sulastri menggelengkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Bagaimana bisa kalian membiarkan perasaan seperti itu tumbuh? Ini tidak benar, Rina, Adi."

Budi, saudara kedua mereka, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. "Ini gila. Kalian harus menghentikannya sekarang juga sebelum semuanya hancur."

Rina merasa hatinya hancur melihat reaksi keluarganya. Ia tahu ini akan sulit, tetapi melihat kekecewaan dan kemarahan di mata mereka membuatnya merasa sangat bersalah. "Kami tahu ini salah, tapi perasaan ini tidak bisa kami kendalikan. Kami hanya ingin kalian tahu dan mengerti."

"Adi, Rina, kalian harus menghentikan ini," kata Bu Sulastri dengan suara yang gemetar. "Kalian harus berpikir tentang keluarga kita, tentang masa depan kita. Ini tidak bisa diterima."

Adi mengangguk, merasa beban berat di dadanya. "Kami akan mencoba, Bu. Tapi kami juga ingin mencari solusi yang tidak menyakiti hati siapa pun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun