Kuseka bulir keringat yang merembes dari balik jilbabku, dengan nafas naik turun, kulempar senyum pada Ulum yang duduk di sudut ruangan, Â meleletkan lidah nakal padaku. Kali ini, kutaklukkan Ulum dalam dua set saja, Ulum bangkit mengayunkan raketnya.
"lanjut boi..aku harus menumbangkanmu sore ini juga" Ulum berlagak jagoan, jilbab kausnya berkibar diterpa angin yang menerobos jendela besar  tanpa kaca.
"Harus sore ini?" seringaiku
"mungkin ini pertandingan terakhir kita boi.." Ulum menatap dalam spanduk yang dipasang di muka kelas. "Imtihan Nihai" ujian pamungkas untuk santri semester akhir akan digelar dua minggu lagi.Â
Selama dua minggu kedepan, kami para santri semester akhir akan terbebas dari kelas, kami akan fokus mengulang pelajaran di dampingi ustadzah senior. Sebelumnya, hari libur tiap Jum'at adalah kenikmatan luar biasa bagiku, kali ini, tak ada kelas untuk dua minggu tapi, ck..aku malah resah.
Jum'at senja di penghujung April. Ah..Jum'at yang selalu istimewa bagi kami, tak ada kelas, bisa tidur siang ba'da Dzuhur, meladeni tantangan Ulum bermain bulu tangkis ba'da Ashar, seperti senja ini.Â
Tapi, yang paling ditunggu adalah menu istimewa, ayam, rendang atau ikan plus susu kedelai..aih. Angin sore di penghujung April memainkan spanduk di muka kelas, sorak sorai teman -- teman yang bermain tenis meja di ruang sebelah berangsur reda. "Ah.." aku mendesah, bangkit mengaitkan raket pada paku.
 "sori..waktu mendesak boi..siap -- siap ke Masjid" pelan kutepuk pudak Ulum. Perempuan asal Buyan Kelumbi Bangka Belitung ini hanya mengangguk mengikuti langkahku. Dulu, aku sengit tiap kali di panggil "boi" rupanya boi adalah sapaan akrab daerahnya.
Menjelang Imtihan Nihai, santri semester akhir penghuni asrama putri Assalam terlihat tegang dan kaku. Obrolan dan senda gurau berangsur surut, baik di kamar, saat makan maupun saat mengantri mandi. Bahkan Rubiah, perempuan berperawakan atletis yang sering menghibur kami dengan tingkah kocaknya, tak lagi beraksi.
"Ada yang mau? Obat peredam cemas" Ulum mengeluarkan bungkusan plastik bening dari lemari kayunya sambil cengengesan. "Perempuan Kelumbi ini masih bisa cengengesan" batinku.Â
Sigap Ulum membuka bungkusan di tengah ruangan, sekantung besar kerupuk ikan berbentuk bulat, persis seperti pilus, tapi ukurannya lebih besar, Ulum menyebutnya Getas, makanan khas daerahnya.
Aku duduk bersandar di lemari kayuku, Â usai bimbingan belajar dengan Ustadzah Maisak di aula. Menjelang Imtihan Nihai, aula selalu ramai siang malam. Setiap wajah terlihat lelah, tapi, melihat Ulum asyik mengunyah, kami tak berdaya. Satu persatu penghuni kamar merapat ke Ulum, "tunggu! Ada yang kurang boi!" Komariyah mengacungkan telunjuk.
"apa?" Ulum mendongak.
"apalagi kalau bukan teh manis" aku menimpali.
"Serahkan padaku!" Rubiah bangkit meraih ember hitam di sudut ruangan "aku tahu, tak ada jiwa yang tenang menjelang Imtihan Nihai, tapi, untuk malam ini, mari kita berpesta dan tidur lelap, wahai jiwa yang tak tenang..lupakan sejenak bukumu" Rubiah berlagak penyihir di mulut pintu, lalu melesat ke dapur umum untuk mengambil air panas, kontan seisi kamar riuh meneriaki Rubiah.Â
Nyatanya, malam itu kami benar -- benar tenang dan tidur lelap usai menandaskan sekantung besar Getas dan seember teh manis. Agak gila memang. Â
Imtihan Nihai, alias ujian pamungkas bagi santri semester akhir, dibagi menjadi dua tahapan, ujian lisan dan ujian tertulis. Dua tumpuk buku menantang di hadapanku, buku dari kelas satu, sebagain belum kupelajari, tiba -- tiba cemas menyeruak.
Tiga hari pertama ujian lisan, kulalui dengan tenang. Masuk hari keempat, aku mulai oleng, suhu badanku 380, membuatku tak bisa istirahat semalaman. Ustadzah Ismi datang membawa kotak obat, kutenggak obat penurun panas dan multivitamin.
"Qathrunnada..Tafadhal.." terdengar suara Ustadzah Chumaizah dari dalam, sekuat tenaga kusembunyikan rasa sakitku di depan para penguji. Meski terseok -- seok, ujian lisan selesai kulewati.Â
Jeda dua hari menjelang ujian tulis, demamku berangsur surut, agak tenang istirahatku malam itu. Tak hanya aku yang tumbang menghadapi Imtihan Nihai, beberpa teman sekamar juga diserang demam dan sariawan.
 "Hosh..hosh.." aku terengah bersimbah peluh, sementara Ulum tersenyum puas di seberang net, kondisiku yang tidak fit, mudah saja ditumbangkan Ulum, telak benar. Tapi, aku senang, kurasakan badanku makin segar. Jitu juga cara perempuan Kelumbi ini memulihkanku.
Hingga hari terakhir ujian tulis, aku masih sehat, makin sehat malah, Dengan derai tawa, kami berjalan ke kamar. Lenyap sudah beban yang menggelayut di pundakku setelah dua minggu lebih menghadapi Imtihan Nihai.
Ada waktu satu bulan untuk menunggu pengumuman. Kami, para santri semester akhir, diizinkan pulang. Senang dan kalut bercampur, senang karena akan pulang dan kalut akan berpisah dengan teman -- teman, teman sekamar khususnya
Tinggal melewati satu gang, aku akan tiba di pelataran rumahku. "Ah.." kuhentikan langkah, mataku menangkap cerobong asap yang menyemburkan kepulan hitam di area perkebunan yang tak jauh dari rumahku, kupercepat langkah.
"Qath!, pulang kok nggak bilang -- bilang, kan bapakmu bisa jemput" Mamak langsung menyerangku di mulut pintu.
 "sengaja, mau bikin kejutan" aku cengengesan "mamak baru pulang ngajar" kulirik seragam mamak.
Kutenggak segelas air putih, mamak menghujaniku dengan pertanyaan seputar Imtihan Nihai,
"mak, kok ada cerobong asap di desa kita" kualihkan pembicaraan, mamak menatapku sesaat.
 "ya..cerobong asap pabrik minyak, mbah Kliwon dengan senang hati melepas tanah perkebunannya, pihak perusahaan berani membeli dengan harga tinggi, teman -- temanmu banyak yang berhenti sekolah, memilih kerja di pabrik itu"
"kok bisa?" aku memburu
"gajinya besar Qath" aku ternganga.
 Pintu depan berderit, bapak baru pulang dari sawah. Bapakku, pensiunan purnawirawan  menengah letnan kolonel, senang menghabiskan waktunya di sawah.
"Pulang kok nggak ngabari, kan bapak bisa jemput Qath" terdengar suara bapak dari ruang tamu.
 "katanya mau bikin kejutan pak" mamak menimpali dari dapur.
"ck..anak muda zaman sekarang, sukanya bikin kejutan, tapi nggak siap terkejut" bapak menyindirku. Kudapati bapakku yang masih kokoh meski sudah pensiun, duduk bersandar di kursi kayu, kuraih punggung tangannya. "Jangan pulang, kalau nggak siap terkejut" lagi -- lagi bapak menggodaku,
Mentari sore beranjak, memadamkan siang dan menggantinya dengan temaram. Bapak tengah memasang kain sarung hijau motif garis, "pak, tunggu" aku setengah berteriak dari kamar, "nggak usah ikut, sholat di rumah saja sama mamakmu " lho?" aku kaget keluar kamar, "malam hari di desa kita sekarang, tak aman untuk perempuan Qath, lebih baik hindari fitnah" bapak menghilang di balik pintu.
Usai Sholat Maghrib, Aku duduk bersila dengan alis bertaut di samping mamak, "kupikir hanya cerobong asap" aku berkata datar, mamak mendesah, "sekarang, pemuda -- pemudi desa ini tak lagi berminat mendatangi Masjid, hanya para sepuh dan bapakkmu yang sholat di masjid, pemuda -- pemuda lebih suka berkumpul di alun -- alun sambil mendengar musik, nongkrong Qath, seperti anak kota" terang saja perasaanku makin keruh.
"Warung bik Saodah nggak berubah kan mak?" candaku sambil terkekeh, saat mamak memintaku membeli kelapa parut. Kulewati berbagai tanaman perdu kesayangan mamak di halaman depan yang masih diselimuti embun.
Meski banyak berubah, setidaknya udara pagi masih melegakan.
"Nada!" suara serak itu menghentikan langkahku, tanpa menoleh pun, aku ingat benar suara itu, Nilam, teman semasa SD dan SMP, hanya dia yang memanggilku Nada
"kapan pulang?" Nilam menjabat erat tanganku,
"dua hari yang lalu Lam, bagaimana kabarmu? Sehat?" kuamati wajah teman kecilku itu, aku hampir tak mengenalnya, rambut yang dulu keriting, kini lurus tergerai dimainkan angin pagi, wajah yang dulu tak mengenal make up, kini dipoles make up maksimal, celana jeans ketat dipadu kaus pink lengkap dengan tas mungil di tangan Â
"aku sehat Nad, malah kamu seperti habis sakit, capek ya tinggal di pesantren?" Â kusembunyikan gemuruh hatiku.
Beberapa saat Nilam memperhatikan penampilanku dengan air muka tak menentu "Nad, kamu harus berpakaian tertutup seperti ini terus ya? Kasihan benar kau Nad, padahal zaman  sudah berubah, kita, para perempuan punya kedudukan yang sama dengan lelaki, sekarang kita bebas mengekspresikan diri" Nilam berkata datar tanpa tekanan, tapi menohok ulu hatiku. Ah..bagaimana bisa Nilam..
Motor merah dengan suara knalpot yang menghujam ditunggangi lelaki muda berambut gondrong menghampiri Nilam, sang lelaki mengedipkan mata nakal ke Nilam.
"Nad, aku cabut dulu ya" Nilam menepuk bahuku.
"kemana?" tanyaku tergeragap
"biasalah Nad, anak muda" Nilam mengulum senyum, motor merah meraung meninggalkanku, dengan perasaan hancur lebur aku melangkah pulang. Beginikah rupa pemuda desaku sekarang, ah..mungkin bukan hanya pemuda desaku, tapi sudah merambah ke seluruh tanah pertiwi ini. Kutatap lekat gambar bunga mawar merah di pinggiran piring.
 "selera makan Qath agaknya mengendur bu, karena terlalu banyak kejutan" bapak melirikku.
Hamparan padi yang ranum diterpa mentari di awal Juni, cericit burung pipit kegirangan. Aku tersenyum puas duduk bersandar di salah satu tiang pondokan yang beratap rumbia, kubiarkan angin yang menerpa dari segala arah, tak kuhiraukan kakiku yang berlumur lumpur, usai membantu bapak menutup saluran air, "satu minggu lagi, siap panen Qath" bapak melepas caping biru, duduk disampingku.
Aku berjalan menuju sungai Kanal, sungai yang membatasi sawah kami dengan sawah wak Juhai. Dulu, aku dan Nilam sering mandi dan mencari ikan Seluang di sungai Kanal.Â
Tiba di bibir sungai, kudapati air yang keruh kecoklatan, tanah pinggiran sungai longsor, tersisa beberapa pohon kerdil saja di bibir sungai, pohon yang dulu menghutan.
Gulungan air hitam menghantam dari hilir mengagetkanku, "pak! Air hitam dari mana?" aku menjerit sambil menunjuk air sungai, "limbah dari pabrik minyak" bapak menjawab tenang dari bawah pohon randu.Â
Dadaku bergemuruh, seolah bisa kudengar rintihan sungai dan pohon yang nestapa. Kakiku lemas, gulungan air hitam serasa menghujam.
"Pak, besok Qath kembali ke pondok, makin hari makin banyak kejutan" kataku pelan usai makan malam, bapak hanya mengangguk, mamak mendesah.
 "lusa saja Qath, besok kan minggu, temani mamak belanja ke pasar" mamak mengusap bahuku, aku menyerah.
Pasar Selabung sesak, asoi hitam besar penuh belanjaan kutenteng, sempoyongan langkahku dibuatnya. "Mumpung kamu di rumah, ada yang menemani mamak belanja" mamak setengah berbisik di telingaku. Â Â
"Fiuhhh.." angkutan umum tak kalah sesak, kursi sudah penuh, tapi, sang supir berkumis tebal belum juga menginjak gas. Beberapa ibu -- ibu nggerundel jengkel.
 "kursi tembak masih kosong buk!" sang supir menoleh ke belakang, menembakkan tatapan kesal. Tak lama, lelaki ramping naik tergopoh -- gopoh, menenteng karung goni yang diikat rapat, sigap ia duduk di kursi tembak
"tarik!" lelaki ramping berteriak, mata bulatnya bergerak lincah, berpindah -- pindah. "Apa isinya?" perempuan berambut putih di sebelahku menyentuh karung goni
"ular mak" Â lelaki ramping tersenyum, perempuan di sebelahku bergidik
"tenang, udah jinak mak"
"Korek bang" lelaki ramping mengulurkan tangan ingin meminjam korek ke supir, "habis..ini saja" supir mengulurkan rokoknya yang tinggal setengah dengan ujung menyala.Â
Cukup satu gerakan, lelaki ramping berhasil menyulut kreteknya, dengan wajah puas, ia menghisap dalam kretek dengan mata setengah terpejam, menyemburkan kepulan asap yang membuatku kian sesak.
Merasa tak enak, lelaki ramping menyemburkan asap kreteknya ke pintu.
"Bisnis ular?" supir bertanya tanpa menoleh.
"ya.. kerja sampingan bang, sore ngojek, sebelumnya saya kerja di pabrik karung, tapi dipecat" lelaki ramping menyeka dahi, "kenapa?" supir menoleh sebentar.
 "ketahuan mencuri barang perusahaan bang" lelaki ramping cengengesan.
 "biasa itu.." sang supir terkekeh
"anakku juga gitu, sejak menikah ia mulai berani, demi kebutuhan rumah tangga katannya, padaha belum waktunya menikah" perempuan berambut putih di sampingku ikut nimbrung, lelaki ramping mengangguk tanda setuju
"Ck..anak muda zaman sekarang, punya cara jitu biar dinikahkan buk, menikah hanya bermodalkan cinta" kata -- kata sang supir itu disambut tawa oleh perempuan di sampingku.
Mamak pasti mengerti benar perasaanku di siang terik ini. Bagaimana bisa membanggakan keburukan, bagaimana bisa rasa cinta di pandang amat dangkal hanya sebatas cinta kepada lawan jenis, pekik hatiku.
Kubenahi barang -- barang, besok aku kembali ke Assalam.
 "Qath..bapak mau bicara" suara bapak terdengar tegas, aku langsung duduk di sampingnya.
 "bapak agak kecewa, sudah bertahun -- tahun kamu tinggal di pesantren, tapi, sikapmu ini menunjukkan kamu belum siap hidup di luar pesantren Qath" aku menunduk, bapak langsung ke inti pembicaraan, "kamu selalu menyesalkan setiap perubahan buruk tanpa menawarkan perbaikan,Â
setidaknya untuk desamu ini saja, coba lontarkan pertanyaan ke dalam dirimu, apa yang sudah kau perbuat dan kau berikan untuk desamu ini, terlebih untuk pertiwi yang katamu tengah meregang nyawa" makin dalam aku tertunduk.
"jika lingkunganmu tak lagi bersahabat, kaulah yang bertugas menyembuhkannya, jika rasa malu telah pudar, Â jika rasa cinta dan kasih telah menipis dan dinilai dangkal, Â kaulah yang bertugas menebar benih dan membagikannya, sejak dulu kita semua tahu, air mata ibu pertiwi berlinang, maka, kaulah yang bertugas mencegah air matanya luruh" kata -- kata bapak bagai anak panah yang dilepas dari busurnya, tepat mengenai sasaran. Kutumpahkan segala akumulasi rasa di pelukan mamak.
Di hari pelepasan santri semester akhir, mestinya aku bahagia, nilai -- nilaiku membuat bapak dan mamak yang duduk di kursi para wali santri tersenyum, tapi ada sesuatu yang mengganjal di sudut lain. Suara jiwaku yang membenarkan kata -- kata bapak tempo hari. Di mataku, ini hari, air mata ibu pertiwi tak hanya berlinang seperti dulu, tapi benar -- benar sudah luruh, dan yang membuatku malu adalah, aku tak bisa segera menghapusnya.
Di penghujung acara, pimpinan pondok memintaku maju kedepan, dengan tenang ia menyerahkan amplop lebar putih, "Qatar University" tulisan di salah satu sudutnya
 "Qathrunnada..selamat, kamu terpilih untuk melanjutkan studi ke Qatar dengan beasiswa" alisku bertaut. Ustadzah Maisak maju langsung memelukku.
"selamat Qathrunnada" bisiknya di telingaku.
"meninggalkan pertiwi yang tertatih, bukankah egois ustadzah?" tangisku pecah, ustadzah Maisak menggeleng.
 "pertiwi memang tengah tertatih di luar sana, tapi pertiwi berkemauan kuat untuk kembali tegak berdiri, generasi kalianlah yang bertugas menopangnya, mulailah dari hal yang paling sederhana, tugas kami, tak hanya menuntun kalian untuk berjalan di jalanNYA, tapi juga menempa kalian agar peka terhadap lingkungan dan memiliki rasa tanggung jawab atas negeri ini"
Bulir -- bulir beningku membasahi jilbab putih ustadzah Maisak, kuseka wajahku, sesak yang menyala berangsur padam.
"berangkatlah ke Qatar, dan pulanglah dengan segudang obat untuk pertiwi ini" ustadzah Maisak merapikan jilbabku, kulirik bapak dan mamak yang duduk di sana, bapak menyeka wajahnya. Ah..lelaki tegas itu bisa melankolis juga, ia  pasti berat melepasku, terlebih perempuan di sampinnya.
Senja Andalas, 17 Dzulhijah 1437 H. 2016
Untuk pertiwiku, pastikan kau baik -- baik saja.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H