Di hari pelepasan santri semester akhir, mestinya aku bahagia, nilai -- nilaiku membuat bapak dan mamak yang duduk di kursi para wali santri tersenyum, tapi ada sesuatu yang mengganjal di sudut lain. Suara jiwaku yang membenarkan kata -- kata bapak tempo hari. Di mataku, ini hari, air mata ibu pertiwi tak hanya berlinang seperti dulu, tapi benar -- benar sudah luruh, dan yang membuatku malu adalah, aku tak bisa segera menghapusnya.
Di penghujung acara, pimpinan pondok memintaku maju kedepan, dengan tenang ia menyerahkan amplop lebar putih, "Qatar University" tulisan di salah satu sudutnya
 "Qathrunnada..selamat, kamu terpilih untuk melanjutkan studi ke Qatar dengan beasiswa" alisku bertaut. Ustadzah Maisak maju langsung memelukku.
"selamat Qathrunnada" bisiknya di telingaku.
"meninggalkan pertiwi yang tertatih, bukankah egois ustadzah?" tangisku pecah, ustadzah Maisak menggeleng.
 "pertiwi memang tengah tertatih di luar sana, tapi pertiwi berkemauan kuat untuk kembali tegak berdiri, generasi kalianlah yang bertugas menopangnya, mulailah dari hal yang paling sederhana, tugas kami, tak hanya menuntun kalian untuk berjalan di jalanNYA, tapi juga menempa kalian agar peka terhadap lingkungan dan memiliki rasa tanggung jawab atas negeri ini"
Bulir -- bulir beningku membasahi jilbab putih ustadzah Maisak, kuseka wajahku, sesak yang menyala berangsur padam.
"berangkatlah ke Qatar, dan pulanglah dengan segudang obat untuk pertiwi ini" ustadzah Maisak merapikan jilbabku, kulirik bapak dan mamak yang duduk di sana, bapak menyeka wajahnya. Ah..lelaki tegas itu bisa melankolis juga, ia  pasti berat melepasku, terlebih perempuan di sampinnya.
Senja Andalas, 17 Dzulhijah 1437 H. 2016
Untuk pertiwiku, pastikan kau baik -- baik saja.
 Â