Ada waktu satu bulan untuk menunggu pengumuman. Kami, para santri semester akhir, diizinkan pulang. Senang dan kalut bercampur, senang karena akan pulang dan kalut akan berpisah dengan teman -- teman, teman sekamar khususnya
Tinggal melewati satu gang, aku akan tiba di pelataran rumahku. "Ah.." kuhentikan langkah, mataku menangkap cerobong asap yang menyemburkan kepulan hitam di area perkebunan yang tak jauh dari rumahku, kupercepat langkah.
"Qath!, pulang kok nggak bilang -- bilang, kan bapakmu bisa jemput" Mamak langsung menyerangku di mulut pintu.
 "sengaja, mau bikin kejutan" aku cengengesan "mamak baru pulang ngajar" kulirik seragam mamak.
Kutenggak segelas air putih, mamak menghujaniku dengan pertanyaan seputar Imtihan Nihai,
"mak, kok ada cerobong asap di desa kita" kualihkan pembicaraan, mamak menatapku sesaat.
 "ya..cerobong asap pabrik minyak, mbah Kliwon dengan senang hati melepas tanah perkebunannya, pihak perusahaan berani membeli dengan harga tinggi, teman -- temanmu banyak yang berhenti sekolah, memilih kerja di pabrik itu"
"kok bisa?" aku memburu
"gajinya besar Qath" aku ternganga.
 Pintu depan berderit, bapak baru pulang dari sawah. Bapakku, pensiunan purnawirawan  menengah letnan kolonel, senang menghabiskan waktunya di sawah.
"Pulang kok nggak ngabari, kan bapak bisa jemput Qath" terdengar suara bapak dari ruang tamu.