Motor merah dengan suara knalpot yang menghujam ditunggangi lelaki muda berambut gondrong menghampiri Nilam, sang lelaki mengedipkan mata nakal ke Nilam.
"Nad, aku cabut dulu ya" Nilam menepuk bahuku.
"kemana?" tanyaku tergeragap
"biasalah Nad, anak muda" Nilam mengulum senyum, motor merah meraung meninggalkanku, dengan perasaan hancur lebur aku melangkah pulang. Beginikah rupa pemuda desaku sekarang, ah..mungkin bukan hanya pemuda desaku, tapi sudah merambah ke seluruh tanah pertiwi ini. Kutatap lekat gambar bunga mawar merah di pinggiran piring.
 "selera makan Qath agaknya mengendur bu, karena terlalu banyak kejutan" bapak melirikku.
Hamparan padi yang ranum diterpa mentari di awal Juni, cericit burung pipit kegirangan. Aku tersenyum puas duduk bersandar di salah satu tiang pondokan yang beratap rumbia, kubiarkan angin yang menerpa dari segala arah, tak kuhiraukan kakiku yang berlumur lumpur, usai membantu bapak menutup saluran air, "satu minggu lagi, siap panen Qath" bapak melepas caping biru, duduk disampingku.
Aku berjalan menuju sungai Kanal, sungai yang membatasi sawah kami dengan sawah wak Juhai. Dulu, aku dan Nilam sering mandi dan mencari ikan Seluang di sungai Kanal.Â
Tiba di bibir sungai, kudapati air yang keruh kecoklatan, tanah pinggiran sungai longsor, tersisa beberapa pohon kerdil saja di bibir sungai, pohon yang dulu menghutan.
Gulungan air hitam menghantam dari hilir mengagetkanku, "pak! Air hitam dari mana?" aku menjerit sambil menunjuk air sungai, "limbah dari pabrik minyak" bapak menjawab tenang dari bawah pohon randu.Â
Dadaku bergemuruh, seolah bisa kudengar rintihan sungai dan pohon yang nestapa. Kakiku lemas, gulungan air hitam serasa menghujam.
"Pak, besok Qath kembali ke pondok, makin hari makin banyak kejutan" kataku pelan usai makan malam, bapak hanya mengangguk, mamak mendesah.