Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertiwi Jatuh di Mata Santri

27 Januari 2018   10:00 Diperbarui: 27 Januari 2018   10:08 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "katanya mau bikin kejutan pak" mamak menimpali dari dapur.

"ck..anak muda zaman sekarang, sukanya bikin kejutan, tapi nggak siap terkejut" bapak menyindirku. Kudapati bapakku yang masih kokoh meski sudah pensiun, duduk bersandar di kursi kayu, kuraih punggung tangannya. "Jangan pulang, kalau nggak siap terkejut" lagi -- lagi bapak menggodaku,

Mentari sore beranjak, memadamkan siang dan menggantinya dengan temaram. Bapak tengah memasang kain sarung hijau motif garis, "pak, tunggu" aku setengah berteriak dari kamar, "nggak usah ikut, sholat di rumah saja sama mamakmu " lho?" aku kaget keluar kamar, "malam hari di desa kita sekarang, tak aman untuk perempuan Qath, lebih baik hindari fitnah" bapak menghilang di balik pintu.

Usai Sholat Maghrib, Aku duduk bersila dengan alis bertaut di samping mamak, "kupikir hanya cerobong asap" aku berkata datar, mamak mendesah, "sekarang, pemuda -- pemudi desa ini tak lagi berminat mendatangi Masjid, hanya para sepuh dan bapakkmu yang sholat di masjid, pemuda -- pemuda lebih suka berkumpul di alun -- alun sambil mendengar musik, nongkrong Qath, seperti anak kota" terang saja perasaanku makin keruh.

"Warung bik Saodah nggak berubah kan mak?" candaku sambil terkekeh, saat mamak memintaku membeli kelapa parut. Kulewati berbagai tanaman perdu kesayangan mamak di halaman depan yang masih diselimuti embun.

Meski banyak berubah, setidaknya udara pagi masih melegakan.

"Nada!" suara serak itu menghentikan langkahku, tanpa menoleh pun, aku ingat benar suara itu, Nilam, teman semasa SD dan SMP, hanya dia yang memanggilku Nada

"kapan pulang?" Nilam menjabat erat tanganku,

"dua hari yang lalu Lam, bagaimana kabarmu? Sehat?" kuamati wajah teman kecilku itu, aku hampir tak mengenalnya, rambut yang dulu keriting, kini lurus tergerai dimainkan angin pagi, wajah yang dulu tak mengenal make up, kini dipoles make up maksimal, celana jeans ketat dipadu kaus pink lengkap dengan tas mungil di tangan  

"aku sehat Nad, malah kamu seperti habis sakit, capek ya tinggal di pesantren?"  kusembunyikan gemuruh hatiku.

Beberapa saat Nilam memperhatikan penampilanku dengan air muka tak menentu "Nad, kamu harus berpakaian tertutup seperti ini terus ya? Kasihan benar kau Nad, padahal zaman  sudah berubah, kita, para perempuan punya kedudukan yang sama dengan lelaki, sekarang kita bebas mengekspresikan diri" Nilam berkata datar tanpa tekanan, tapi menohok ulu hatiku. Ah..bagaimana bisa Nilam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun