Rani namaku. Sebuah nama yang indah pemberian kedua orang tuaku. Tapi orang-orang di sekitar lebih mengenalku sebagai Rano. Nama laki-laki yang kadang membuatku jengkel. Tapi apa mau dikata, nama itu kini melekat padaku seolah Rano adalah namaku yang sebenarnya. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mencegah orang-orang memanggilku demikian.
Mungkin karena tingkah dan tindak-tandukku yang tomboy, membuat nama itu semakin dilekatkan orang kepadaku. Siapa yang belum mengenalku pasti akan menyangka kalau aku ini seorang laki-laki. Kata orang, wajahku ngganteng. Tapi sebutan ngganteng itu lebih cocok bila aku sedang tak sadarkan diri. Dengan kegantenganku, aku serasa bukan lagi perempuan meskipun sejujurnya aku adalah perempuan normal. Masalah uang, dengan mudah dapat kuperoleh. Banyak orang yang dengan sukarela memberikan berlembar-lembar uang merah kepadaku. Kenapa bisa begitu? Mereka berterimakasih karena merasa tertolong olehku meskipun pada awalnya aku tak tahu akan apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti yang kuterima sore tadi, uang dalam jumlah cukup besar pemberian Pak Markus.
Stop! Jangan engkau menuduh aku seorang perayu. Tidak. Jangan salah sangka. Uang itu diberikan Pak Markus karena dia merasa terbantu olehku. Aku sendiri tak tahu apa yang telah kukerjakan kepadanya. Hanya sebentar saja kami berbicara, kemudian aku merasa melayang dan tertidur lalu terbangun di belantara kelam yang sepi dan susah dijangkau oleh manusia.
“Ini dik, sekedar tanda terimakasih saya,” ucap pak Markus ketika menyodorkan lembar-lembar uang itu tadi.
Seperti biasa, aku tak kuasa menolak pemberian laki-laki setengah baya itu. Mungkin memang benar seperti ucapannya, bahwa dia merasa terbantu dengan keanehanku.
Keanehan?
Iya. Setidaknya itulah yang kurasakan. Keanehan yang kini semakin bertubi-tubi dan membuatku jadi bahan pembicaraan sebagian orang.
Dengan kondisiku sebagai pendatang di kota ini, memiliki orang-orang yang begitu menyayangi adalah sebuah anugrah terindah bagiku. Termasuk mbak Andri yang dulu menyayangiku. Mbak Andrilah orang yang pertama kali kukenal sebelum langkahku sampai di kota ini. Tapi semenjak orang-orang menganggapku penting di sini, sikap mbak Andri malah berubah. Ada saja yang membuatnya marah dan memancing keributan denganku. Puncaknya, kami berpisah setelah sekian lama tinggal serumah. Tiga tahun sudah kami tinggal bersama di kota Bogor. Dan kini, telah hampir sebulan aku mengontrak rumah bersama Mbak Wati.
Sore merangkak senja. Kulangkahkan kakiku keluar dari Minimarket. Lega sudah, susu formula khusus untuk keponakanku sudah kubeli. Susu untuk bayi mbak Wati memang tak bisa dipilih sembarangan karena salah-salah dengan susu merk lain, keponakanku enggan meminumnya. Wati adalah teman baik yang kuanggap sebagai kakakku sendiri, dan kami memang telah sepakat untuk saling mengangkat saudara. Wati hadir pada saat yang tepat. Sosoknya seolah menggantikan Mbak Andri yang telah nyata-nyata memusuhiku.
Langkah kakiku terasa ringan menyusuri jalanan kota yang sepi. Wajah mbak Andri tiba-tiba melintas dalam benakku. Wajah yang minggu-minggu terakhir kemarin tampak nyinyir dan tidak senang padaku.