"Kamu memang anak pertama mama, Ra. Tapi bukan berarti kamu harus menggendong tanggung jawab mama."Â
Mama selalu membuatku kagum. Dilembutnya mama yang selama ini aku lihat, mama ternyata adalah gunung yang tak tergoyahkan. Mama bertahan tanpa perlawanan sampai satu per satu mereka yang menyakit mama menerima sendiri hasil perbuatan mereka. Sejak kecil aku sudah menyaksikan betapa papa mengambil alih hidup mama. Sifat posesif papa membuat mama tak memiliki waktu untuk sekedar santai di coffee shop bersama teman-temannya. Dunia mama hanya kami dan kerjaannya. Tak jarang papa juga melakukan kekerasan mulai dari membanting barang hingga menyakiti kami. Papa membuat mama seperti robot setingannya. Aku tak mampu mencintai sehebat mama. Aku sungguh tak mampu bahkan untuk menjadi separuh mama. Dikangkangi patriarki, bertahan di hubungan yang menyakitkan demi alasan agama dan adat istiadat, tak dinafkahi tapi bahkan menafkahi. Bukan hanya kami, tapi menafkahi keluarga papa juga. Mama membiarkan diri tersakiti karena tak punya keberanian melihat kami tumbuh dari keluarga yang berantakan.Â
Ma, tetaplah sehat. Aku tak yakin bisa melatih diriku untuk jauh lagi dari mama setelah kehilangan mama lima tahun lalu. Warisi aku sedikit saja kebesaran dan ketegaran hatimu, ma. Untuk jadi seorang ibu, apakah harus sehebat mamaku? Mama memberiku standar untuk menjadi seorang ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H