Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Untuk Menjadi Seorang Ibu, Apakah Harus Sehebat Mamaku?

28 Agustus 2021   18:28 Diperbarui: 28 Agustus 2021   18:34 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hampir lima tahun mama pergi. Tidak seperti sebelumnya, kali ini mama mengingkari janjinya. Sebelum berangkat ke Halmahera, mama janji akan tetap pulang untuk mengunjungi kami. Tapi sejak hari mama keluar dari rumah ini, mama tak pernah pulang. Komunikasi kami hanya melalui telepon, chat atau video call. Lima tahun sampai akhirnya aku menyelesaikan pendidikanku menjadi seorang sarjana K3 seperti yang mama pesankan padaku sejak aku masih duduk di bangku SMA. 

"Pa, aku dapat panggilan kerja. Maluku." 

"Kamu mau pergi untuk kerja atau mau pergi untuk tak pulang lagi?" 

Aku paham apa yang membuat papa menanyakan hal itu padaku. Papa pasti takut aku tak pulang seperti mama. 

"Pa, aku dapat kerjaan di tambang. Ada jadwal on site dan off site-nya, pa. Enam minggu on site -- dua minggu off site aku pulang ke Siantar." 

Aku meneruskan informasi yang sudah aku terima dari perusahaan tempatku akan bekerja. 

"Jangan pergi." Larang papa secepat kilat. 

"Maaf, pa. Nara akan tetap pergi. Ini mimpi Nara. Nara sudah berjuang empat tahun untuk bisa jadi seorang sarjana K3. Nara nggak bermaksud melawan papa, tapi Nara juga sudah dewasa untuk bisa menentukan pilihan." 

"Papa bilang jangan pergi." Suara papa meninggi. 

"Pa, Nara bukan mama yang bisa papa atur sesuka hati papa. Tidak satupun dari kami yang ingin meninggalkan papa, tapi papa yang memaksa kami menjauh dari papa. Nara sudah bilang Nara akan pulang. Nara hanya perlu waktu untuk mengikuti jadwal kerja sesuai ketentuan perusahaan." 

Aku tak berani memberitahu papa kalau aku diterima bekerja di perusahaan tambang yang sama dengan mama. Kami dari kontraktor yang berbeda, yang bekerja untuk perusahaan tambang yang sama. 

"Kak, kakak jadi berangkat? Memang papa ngasih ijin?" 

"Jadi Ko. Kamu baik-baik ya di rumah sama papa." 

"Sudah siap mental digas sama papa? Kakak kan selama ini selalu kalem dan ngikut apa yang papa bilang." Aiko meledekku. 

"Sudah kemarin." 

"Kok aku nggak tau? Kakak kok nggak cerita?" 

"Jelaslah kamu nggak tau. Kamu belum pulang latihan taekwondo kan kemarin." 

Aiko satu-satunya adikku. Tapi kebanyakan orang bilang dia lebih pantas untuk menjadi kakakku. Badannya lebih bongsor dari badanku, dan penampilannya juga lebih dewasa dari penampilanku. 

Tiap melihat Aiko, aku seperti melihat cerminan mama. Melihat Aiko seperti melihat masa muda mama. Sedang aku, mama hanya mewariskan mata bulatnya dan alis tebalnya untukku. Rinduku pada mama selalu tertebus ketika aku melihat Aiko. 

"Nara berangkat, pa. Nara tadi sudah siapin sarapan untuk papa dan Aiko. Nara pamit, pa." 

Papa tak menyambut tanganku yang ingin meminta restu darinya sebelum penerbangan pertamaku. 

"Kak, bawa nih." Aiko menyodorkan kotak makan berisi roti tawar berlapis meses. Katanya untuk mengganjal laparku waktu transit nanti. 

"Kakak berangat ya, Ko. Kalau abis latihan, body protector gantung lagi di balik pintu." 

Aiko menggaruk kepalanya. Menggantung body protector-nya setiap kali pulang latihan taekwondo seolah sudah jadi tanggung jawabku sebagai seorang kakak. 

*** 

"Mau makan malam bareng, Ra? Aku bawa lv hari ini." 

Suara Dodo mengejutkanku. Ini adalah waktu yang paling aku tunggu. Aku bahkan belum mengabari mama kalau aku bekerja di tempat yang sama dengannya. 

"Oh, terima kasih, Pak. Nara naik manhaul aja." 

"Aku Dodo. Sudah tau namaku kan? Panggil aku Dodo saja." 

Aku mengalah. Tempat ini memang baru. Aku butuh waktu untuk beradaptasi. Aku kesulitan mengenali lingkungan di sini karena semua bangunan di sini sama. Sama-sama berbentuk container. 

"Kamu tinggal di camp mana, Ra?"

"Aku? Boulevard Camp. C 4-4." 

Untuk lokasi tambang, tempat ini bahkan terlihat begitu indah. Tidak gersang sama sekali seperti yang ada dalam pikiranku. 

"Kita udah nyampe nih. Turun yok." 

Aku menyiapkan mentalku untuk bertemu mama. Sudah tak sabar rasanya. 

"Yok.... Ini namanya messhall, tempat semua karyawan di sini makan." 

Aku mengamati tiap sudut ruangan. Bersih, rapi, nyaman. Makanan yang terpajang begitu segar, membuat perut semakin lapar. Banyak poster informasi nilai gizi tertempel di dinding, hampir di setiap sudutnya. 

"Untuk makanan berat, tim catering yang bantu porsiin. Kamu tinggal tunjuk. Untuk makanan penutup, salad, roti, susu, yang dipajang di depan sini, kamu bebas ambil sendiri." Dodo menjelaskan. 

Jujur aku tak begitu menyimak apa yang Dodo ucapkan. Mataku sibuk mencari mama yang tak juga kulihat. 

"Porsi makan kamu memang seperti ini, Ra?" Dodo sepertinya terkejut melihat porsi makanku yang mengimbangi porsi makan kaum adam. 

"Aku? Kenapa?" 

"Kamu nggak takut gendut? Biasa kan kaum hawa sibuk dengan berat badan?" 

"Waktu aku kecil mamaku sibuk bekerja mencari makan untukku, mana mungkin setelah sebesar ini aku menyia-nyiakan perjuang mama di masa lalu." 

Dodo tertawa mendengar jawabanku. 

"Sampai jam berapa messhall ini buka untuk makan malam?" 

"Jam delapan. Tapi aku biasa makan malam dulu lalu pulang ke camp. Kalau pulang duluan ke camp, biasanya sudah malas mau turun buat makan lagi." 

"Aku boleh di sini sampai messhall tutup, Do?" 

"Boleh. Aku temenin ya." 

"Hai, Do. Baru on site ya? Baru nongol lagi." 

Suara itu membuat air mataku tumpah seketika. 

"Iya, Mbak. Kenalin ini...." 

Aku bangkit dari tempat dudukku, meraih tangan perempuan yang sudah kurindukan selama lima tahun. Kuciumi tangannya penuh haru. Untung saja messhall sudah semakin sepi menjelang jam tutupnya. Aku tak perlu menahan malu karena jadi pusat perhatian.

 "Tunggu mama pulang. Sebentar lagi tugas mama selesai." 

Aku bisa melihat kebingungan menyelimuti wajah Dodo. 

"Mbak Edlynne ternyata mama kamu, Ra? Kok nggak cerita?" 

"Iya, Do. Maaf bukan bermaksud menutupi apapun, tapi..." 

"It's okay, Ra. Kamu nggak harus terlalu cepat seterbuka itu ke aku kok." 

Mama ternyata tak menua sedikitpun. Wajahnya masih tetap terlihat ayu. Tak ada yang berubah dari mama. 

"Ini kamar mama. Di sinilah mama tinggal selama on site. Mama mandi dulu ya." 

Aku duduk di kursi kerja mama. Ada foto kami terpajang di atas meja kerja mama. Tapi kenapa hanya foto kami bertiga, tanpa papa.

 "Gimana ceritanya kamu bisa sampai di tempat ini? Kok nggak bilang mama?" 

"Ma, kenapa mama nggak pernah pulang?" 

Aku mengambi alih topik pembicaraan. Aku sudah tak bisa menunggu lebih lama untuk mendengar alasan apa yang membuat mama tak pernah pulang. 

"Sebenarnya mama sudah menyiapkan mental untuk menceritakan ini semua, tapi mama nggak nyangka kalau harinya akan tiba."

 "Ma, mama tau Nara dan Aiko sudah begitu dewasa. Aiko bahkan punya pemikiran yang lebih dewasa dari Nara. Mama boleh kapan saja berbagi cerita dengan kami." 

Mama menunjukkan sesuatu yang ada di gallery hand phone-nya. Aku menyimak. Seketika ada ombak kesedihan bergulung di dalam hatiku. Air mataku tumpah. Bagaimana mungkin mama bisa menyembunyikan ini semua dari kami. Papa ternyata memiliki perempuan lain. Perempuan lain yang sudah sekian tahun lalu disembunyikannya dari kami. 

"Sampai sekarang mama masih pulang kok, Ra. Hanya saja mama pulang ke rumah Tante Ana. Dan mama rasa sikap mama ini lebih baik ketimbang harus bercerai dengan papamu." 

"Mama tersiksa? Kenapa tak pernah cerita?" Aku memeluk mama dengan erat, menebus lunas semua rindu yang selama ini kami simpan. 

"Satu-satunya hal yang membuat mama tersiksa adalah menahan rindu untuk bisa bertemu kalian." 

"Ma, mama tak perlu selalu menjadi pahlawan buat Nara dan Aiko. Sekarang Nara paham kenapa mama tak pernah ingin kembali. Nara yakin, Aiko juga pasti akan paham." 

"Mama hanya tak punya kekuatan untuk menyudahi semua. Mama takut kalian menyalahkan mama." Tiba-tiba air mata mulai turun membasahi wajah mama. 

"Kalian adalah bagian terpenting di hidup mama." 

"Mama sudah berjuang dengan sangat baik untuk Nara dan Aiko. Mama bertahan menghadapi Nenek dan semua keluarga papa yang selalu merongrong dan memojokkan mama. Mama tak mengeluh waktu papa tak bekerja dan tak menafkahi mama. Dan belakangan ketika papa bekerja kembali, papa justru memberikan nafkahnya untuk perempuan lain, mama pun masih coba bertahan, malahan mama yang mengirimi kami nafkah untuk keperluan kami termasuk biaya pendidikan kami. Sudah, Ma. Sudah cukup. Nara nggak terima mama diperlakukan seperti ini. Mama bukan malaikat, dan mama nggak perlu menjadi malaikat." 

"Mama nggak mau kalian benci sama papa. Mama nggak mau kalian benci sama nenek dan keluarga papa yang lain. Mama mau luka ini selesai di mama. Jalani hidup kalian tanpa luka batin yang kalian dapat dari pengalaman orang tua kalian. Selama mama masih bernapas, mama janji, mama akan mengantar kalian menjemput mimpi kalian. Tak perlu hiraukan yang lain. " 

Mama membiarkan dirinya disalahpahami tanpa perlawanan selama ini. Berdiri tegak menjaga mahkotanya agar tak jatuh tanpa dukungan siapapun. Aku dan Aiko bahkan pernah memojokkannya dan tak menerima keputusannya. Dan mama tak sama sekali membuka luka yang disimpannya begitu rapi. 

"Mama sekarang sedang lanjutin pendidikan lagi loh, Ra. Sudah semester tiga akhir. Kamu kapan mau lanjut S2-mu? Ayok dong buruan rencanain S2-mu, selagi mama masih sehat dan bisa biayai kuliahmu, Ra." 

"Ma, Nara sekarang sudah kerja. Nara bisa bertanggung jawab sama diri Nara sendiri. Bahkan cukup untuk membiayai pendidikan dan latihan taekwondo Aiko." 

"Kamu memang anak pertama mama, Ra. Tapi bukan berarti kamu harus menggendong tanggung jawab mama." 

Mama selalu membuatku kagum. Dilembutnya mama yang selama ini aku lihat, mama ternyata adalah gunung yang tak tergoyahkan. Mama bertahan tanpa perlawanan sampai satu per satu mereka yang menyakit mama menerima sendiri hasil perbuatan mereka. Sejak kecil aku sudah menyaksikan betapa papa mengambil alih hidup mama. Sifat posesif papa membuat mama tak memiliki waktu untuk sekedar santai di coffee shop bersama teman-temannya. Dunia mama hanya kami dan kerjaannya. Tak jarang papa juga melakukan kekerasan mulai dari membanting barang hingga menyakiti kami. Papa membuat mama seperti robot setingannya. Aku tak mampu mencintai sehebat mama. Aku sungguh tak mampu bahkan untuk menjadi separuh mama. Dikangkangi patriarki, bertahan di hubungan yang menyakitkan demi alasan agama dan adat istiadat, tak dinafkahi tapi bahkan menafkahi. Bukan hanya kami, tapi menafkahi keluarga papa juga. Mama membiarkan diri tersakiti karena tak punya keberanian melihat kami tumbuh dari keluarga yang berantakan. 

Ma, tetaplah sehat. Aku tak yakin bisa melatih diriku untuk jauh lagi dari mama setelah kehilangan mama lima tahun lalu. Warisi aku sedikit saja kebesaran dan ketegaran hatimu, ma. Untuk jadi seorang ibu, apakah harus sehebat mamaku? Mama memberiku standar untuk menjadi seorang ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun