"Iya, Do. Maaf bukan bermaksud menutupi apapun, tapi..."Â
"It's okay, Ra. Kamu nggak harus terlalu cepat seterbuka itu ke aku kok."Â
Mama ternyata tak menua sedikitpun. Wajahnya masih tetap terlihat ayu. Tak ada yang berubah dari mama.Â
"Ini kamar mama. Di sinilah mama tinggal selama on site. Mama mandi dulu ya."Â
Aku duduk di kursi kerja mama. Ada foto kami terpajang di atas meja kerja mama. Tapi kenapa hanya foto kami bertiga, tanpa papa.
 "Gimana ceritanya kamu bisa sampai di tempat ini? Kok nggak bilang mama?"Â
"Ma, kenapa mama nggak pernah pulang?"Â
Aku mengambi alih topik pembicaraan. Aku sudah tak bisa menunggu lebih lama untuk mendengar alasan apa yang membuat mama tak pernah pulang.Â
"Sebenarnya mama sudah menyiapkan mental untuk menceritakan ini semua, tapi mama nggak nyangka kalau harinya akan tiba."
 "Ma, mama tau Nara dan Aiko sudah begitu dewasa. Aiko bahkan punya pemikiran yang lebih dewasa dari Nara. Mama boleh kapan saja berbagi cerita dengan kami."Â
Mama menunjukkan sesuatu yang ada di gallery hand phone-nya. Aku menyimak. Seketika ada ombak kesedihan bergulung di dalam hatiku. Air mataku tumpah. Bagaimana mungkin mama bisa menyembunyikan ini semua dari kami. Papa ternyata memiliki perempuan lain. Perempuan lain yang sudah sekian tahun lalu disembunyikannya dari kami.Â