"Kak, kakak jadi berangkat? Memang papa ngasih ijin?"Â
"Jadi Ko. Kamu baik-baik ya di rumah sama papa."Â
"Sudah siap mental digas sama papa? Kakak kan selama ini selalu kalem dan ngikut apa yang papa bilang." Aiko meledekku.Â
"Sudah kemarin."Â
"Kok aku nggak tau? Kakak kok nggak cerita?"Â
"Jelaslah kamu nggak tau. Kamu belum pulang latihan taekwondo kan kemarin."Â
Aiko satu-satunya adikku. Tapi kebanyakan orang bilang dia lebih pantas untuk menjadi kakakku. Badannya lebih bongsor dari badanku, dan penampilannya juga lebih dewasa dari penampilanku.Â
Tiap melihat Aiko, aku seperti melihat cerminan mama. Melihat Aiko seperti melihat masa muda mama. Sedang aku, mama hanya mewariskan mata bulatnya dan alis tebalnya untukku. Rinduku pada mama selalu tertebus ketika aku melihat Aiko.Â
"Nara berangkat, pa. Nara tadi sudah siapin sarapan untuk papa dan Aiko. Nara pamit, pa."Â
Papa tak menyambut tanganku yang ingin meminta restu darinya sebelum penerbangan pertamaku.Â
"Kak, bawa nih." Aiko menyodorkan kotak makan berisi roti tawar berlapis meses. Katanya untuk mengganjal laparku waktu transit nanti.Â