"Dek, dokter bilang kan kamu nggak boleh makan cokelat. Ayo, simpan cokelatnya. Kita buka puasa dulu."
Alya mengajak Nada bergegas ke dapur. Alya masih bisa sedikit mengenali lelaki paruh baya itu.
Lelaki yang hampir sebelas tahun meninggalkan mereka.
"Kau tak ingin mengajakku makan bersama kalian?" suara Bram menghentikan langkah Dahayu.
"Kami tak punya apa pun yang pantas untuk kau makan. Pergilah cari rumah makan di depan sana. Dan, tolong, jangan kembali dengan alasan apa pun."
Dahayu menutup pintu kayu rumahnya. Membiarkan Bram berdiri di sana.
"Ma, Om tadi itu siapa? Apa mama kenal? Kenapa dia kasih dedek cokelat, Ma?" pertanyaan polos Nada membuat pedih hatinya.
Dia bukan Om, Dek. Dia bapakmu.Â
Pagi sekali, sepulang dari pasar, Dahayu bergegas ke klinik BPJS untuk menebus obat Nada. Hatinya begitu haru ketika menerima tiga botol sodium valproate untuk Nada. Setidaknya dua tahun masa pengobatan ini, dokter bilang Nada tidak boleh kejang sama sekali sampai akhirya nanti EEG kembali dan dinyatakan bebas kejang.
"Mbak Dahayu...." suara asing itu menghentikan langkah Dahayu.
Dia menoleh ke arah suara itu. Matanya memperhatikan sosok yang ada dihadapannya. Mengingat-ingat apakah dia pernah mengenal sosok itu.