Dahayu mengalihkan langkahnya ke lemari kecil tempat dia biasa menyimpan obat Nada. Ini botol terakhir. Sebelum botol ini habis, dia sudah harus mendapatkan obat.
"Ma, tadi dedek nonton spongebob sama mbah." Suara ceria Nada selalu jadi penyemangat bagi Dahayu.
"Mbah-mu itu rupanya masih kenal spongebob, Dek?" Dahayu melempar canda.
Anak bungsunya itu berumur sebelas tahun, berjarak enam tahun dengan anak sulungnya. Nada terlahir sehat, tumbuh pun sehat. Tapi empat bulan belakangan, dia sering kejang tanpa sebab. Dahayu sudah kehilangan separuh harapan hidupnya ketika dokter menyatakan Nada positif menderita epilepsi.
"Cuci tanganmu. Setelah itu duduklah yang manis di sini..." Dahayu meletakkan piring berisi nasi dan lauk pauk untuk Nada tepat diposisi mana Nada harus duduk nantinya.
Mereka makan dengan lauk seadanya. Tapi mereka selalu sangat menikmati itu. Hanya Dahayu yang masih sangat sibuk. Iya Masih sangat sibuk dengan pikirannya. Masih sangat sibuk menyembunyikan air matanya.
"Dek, minum obatmu. Setelah itu, berwudhulah." Dahayu tak pernah lupa mengingatkan Nada untuk meminum obatnya.
Selesai makan mereka bergegas mengambil wudhu. Dahayu merapikan mukena putih usang yang sudah robek di sana sini.
Pagi sekali Dahayu sudah bangun menyiapkan makanan untuk mereka sahur. Hanya telur dadar dan nasi putih. Dia terburu-buru membereskan pekerjaan rumah, memastikan Nada sudah meminum obatnya, lalu mandi dan berpakaian rapi seperti biasa. Agar anak-anaknya tak curiga.
Dahayu melangkahkan kakinya ke pasar pagi. Dia berharap bisa menemukan pekerjaan apa pun di sana. Dia menawarkan tenaga ke kios-kios yang ada. Akhirnya ada kios penjual bawang yang bersedia menerima jasanya. Dia diterima bekerja. Sebagai buruh kupas bawang. Upahnya lima ratus rupiah per kilo bawang.
Dahayu menahan lelahnya sepanjang hari. Sudah senja. Kios sudah hampir tutup. Saatnya menimbang hasil kerja sepanjang hari.